HLMAJELIS Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat mendeteksi 144 aliran atau ajaran menyimpang hingga sesat di wilayahnya sejak 2000. “Keberadaan ajarannya menyebar di sejumlah daerah tapi paling banyak ditemukan di Cirebon, Bogor, dan Bandung,” kata Sekretaris Umum MUI Provinsi Jawa Barat, Rafani Achyar, kemarin

Oleh : YUSKA APITYA AJI
[email protected]

Rafani menuturkan dari 144 aliran me­nyimpang/sesat yang cukup meny­ita perhatian ialah aliran “Hidup di Balik Hidup”, “Al -Quran Suci”, “Surga Eden”, “Milah Ibrahim”, “Siliwangi Panjalu” “Lia Eden”, dan “Al- Qiyadah Al-Islamiyah”. “Dan yang cukup menyita perhatian itu ada seorang warga Bandung bernama Sayuti. Dia seorang tu­kang cukur yang mengaku seb­agai nabi,” kata dia.

MUI Jawa Barat, menurut dia, berupaya semaksimal mung­kin mengatasi keberadaan 144 aliran sesat tersebut namun ada sejumlah kesulitan yang di­hadapi pihaknya seperti aliaran/ ajaran tersebut muncul seben­tar ke permukaan publik kemu­dian hilang. “Lalu ada juga yang muncul terus hilang dan terus muncul lagi dengan wajah atau nama yang baru. Itu memang menyulitkan kami,” kata dia.

BACA JUGA :  Komisi III DPRD Kota Bogor Soroti Pembangunan 2 Unit Sekolah Satu Atap

Lebih lanjut ia mengatakan salah satu aliaran sesat yang cu­kup menyita perhatian saat ini adalah ormas Gerakan Fajar Nu­santara (Gafatar). “Sebenarnya kami dari MUI sudah mende­teksi keberadaan Gafatar ini se­jak tahun 2012 dan kami menilai mereka ini reinkarnasi dari Al Qiyadah Al Islamiyah pimpinan Ahmad Musadeq,” pungkasnya.

MUI Jabar telah menginstruksi­kan kepada seluruh MUI di tingkat kabupaten hingga desa untuk se­cara aktif melakukan pembinaan kepada masyarakat lingkungan sekitar. Selain itu, juga berkoordi­nasi dengan aparat setempat dan melibatkan warga.

BACA JUGA :  Kemenangan Timnas Indonesia jadi Modal Penentu Kontra Jordania

Pihaknya pun akan terus beru­paya menyebarkan sosialisasi mengenai fatwa terhadap suatu aliran yang menyimpang. “Aliran yang sesat kan sudah difatwakan, nah itu harus disosialisasikan ke masyarakat,” tutur dia.

Namun, ia mengakui, per­soalannya fatwa itu kerap tidak tersampaikan ke masyarakat. Sebab, peran MUI paling maksi­mal adalah hanya pada tataran mengeluarkan fatwa. Sosialisasi fatwa pun masih menjadi per­soalan karena fatwa tersebut bu­kan bagian dari sistem hukum di Indonesia.

Akibatnya, tidak ada pihak manapun yang memiliki ke­wenangan untuk mengeksekusi mandat dalam fatwa itu. “Senja­ta MUI ini fatwa. Mengeluarkan fatwa pun tidak sembarangan. Misal, perlu lihat dokumennya dulu. Makanya, Gafatar hingga saat ini belum dikatakan meny­impang,” tutur dia.

============================================================
============================================================
============================================================