Untitled-14KEMENTERIAN Keuangan mencatat ada sekitar 2.000 perusahaan berkategori Penanaman Modal Asing (PMA), yang ngemplang pajak 10 tahun terakhir. Perusahaan tersebut terbagi pada banyak sektor. Pemilik modal beralasan bangkrut, namun kenyatannya tidak.

YUSKA APITYA AJI
[email protected]

Kami juga melaporkan ada ham­pir 2.000 PMA di Indonesia yang selama 10 tahun tidak membayar pajak,” kata Menkeu, Bambang Brodjonegoro, usai rapat kabi­net terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/3/2016).

Alasan yang selalu disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah perusahaan tersebut rugi. Akan tetapi kenyataannya berbeda dengan hasil perhitungan dan pemeriksaan DJP. “Selalu mengklaim dirinya rugi. Padahal menurut perhitungan atau pemerik­saan pajak, harusnya perusahaan terse­but membayar rata-rata Rp 25 miliar setahun,” ujarnya.

Menurut Bambang, hal tersebut merupakan bagian dari penggelapan pajak. Pemerintah memastikan akan segera melakukan penindakan tegas terhadap para pihak tersebut. “Ini juga bagian dari penggelapan pajak yang ha­rus dibereskan,” tegas Bambang.

Bambang mengaku telah memiliki data rekening semua orang Indonesia yang berada di luar negeri, dengan nilai mencapai ribuan triliun rupiah. Reken­ing tersebut berada di berbagai negara. “Kami sudah punya data mengenai rek­ening orang Indonesia di luar negeri,” tegas Bambangnya.

Bambang menuturkan, pada satu negara ada sekitar 6.000 rekening yang dimiliki orang Indonesia. Namun, Bam­bang tidak menyebutkan lebih rinci nama negara maupun bank yang dimak­sud. “Bahkan di satu negara ada reken­ing lebih dari 6.000 WNI punya rekening di negara tersebut,” terangnya.

Data ini yang jadi landasan bagi Bambang, untuk menelurkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Akan tetapi sayang, RUU Tax Amnesty masih butuh pembahasan dengan De­wan Perwakilan Rakyat (DPR). “Tentu­nya nanti dengan skema yang kita ha­rapkan bisa mulus yaitu pengampunan pajak, itu bisa kembali ke Indonesia atau paling tidak di-declare secara te­gas,” papar Bambang.

Bila tax amnesty disahkan men­jadi UU, maka pemilik rekening di luar negeri bisa punya kesempatan untuk memulangkan uangnya ke Indonesia dengan tarif yang rendah.

Bambang juga memaparkan pola penggelapan pajak yang berlangsung di Indonesia sejak dulu. Sampai ternyata ada banyak orang Indonesia yang me­letakkan dana di luar negeri dengan ni­lai mencapai ribuan triliun rupiah.

BACA JUGA :  Bejat, Cabuli 2 Bocah Laki-laki, Pemilik Bengkel di Solok Ditangkap

Bambang menjelaskan, polanya adalah dengan mendirikan suatu badan dengan tujuan khusus (special purpose vehicle/SPV) di salah satu negara mi­tra, atau dengan berbagai cara lainnya sebagai suatu saluran atas penghasilan yang diperoleh di negara mitra lainnya.

Tujuannya SPV atau perusahaan ‘bentukan’ ini adalah, untuk meman­faatkan dan menikmati fasilitas perpa­jakan yang disediakan dalam tax treaty antara Indonesia dengan treaty partner. “Polanya biasanya dibentuk special pur­pose vehicle (SPV) yang ada di berbagai tempat di dunia,” terang Bambang, usai rapat kabinet terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/3/2016).

Satu negara yang disebut Bambang sebagai area penerapan pola tersebut adalah British Virgin Island. Negara ini diketahui memang dikenal sebagai tax haven country atau daerah dengan pajak sangat rendah, sehingga banyak menjadi tujuan orang Indonesia. “Paling populer untuk Indonesia adalah British Virgin Island,” jelasnya.

Dana tersebut kemudian bisa di­tempatkan pada British Virgin Island, namun juga dialirkan ke negara lain. Bambang menyatakan, sejauh ini pi­haknya sudah mampu mendeteksi ali­ran dana tersebut. “Kami sudah iden­tifikasi bahwa baik banknya maupun rekeningnya,” kata Bambang.

Secara akumulasi, Bambang me­nyebutkan ada 2.000 SPV yang terkait dengan warga negara Indonesia. Atas dana yang ada di luar negeri, tidak ada dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak. “Ada 2.000 SPV yang terkait dengan ribuan nama WNI tersebut. Dan tentunya uang yang di sekian disimpan di sana belum tercatat sebagai aset yang dilaporkan di dalam SPT tahunan pajak,” tukasnya.

Ngumpet di Singapura

Singapura sangat menyadari poten­si orang kaya baru Indonesia yang tum­buh berkali-kali lipat setiap tahunnya sehingga Singapura berani menawarkan program perbankan yang lebih bervari­asi, menjamin kerahasiaan nasabah dan mematok bunga bank yang relatif lebih kecil dibandingkan Indonesia.

Ditambah lagi dengan sistem eko­nomi yang lebih mumpuni daripada In­donesia serta adanya stabilitas politik, Singapura menjadi negara yang sangat strategis bagi para miliarder Indone­sia untuk mengamankan uangnya dan menghindari pajak penghasilan.

BACA JUGA :  55 ASN Pemkot Bogor Dilantik, Dedie Rachim: Beri Pelayanan Terbaik untuk Masyarakat

Jumlah aset kekayaan orang-orang kaya Indonesia di Singapura tidak tang­gung-tanggung, mencapai 3.000 triliun rupiah dan ditengarai berkontribusi sebesar 30 persen sektor perbankan Singapura. Nilai itu belum termasuk dana atau aset perusahaan Indonesia yang berinvestasi di Singapura. Bila dit­ambah uang perusahaan bisa jadi USD 300 miliar lebih atau sekitar Rp 3.600-4.000 triliun. Jumlah yang sangat besar apabila digunakan untuk memperkuat cadangan devisa Indonesia

Bahkan, sebuah lembaga survei, Merrill Lynch-Capgemini menyebutkan sepertiga dari orang superkaya Singa­pura adalah warga Indonesia. Dari 55 ribu orang sangat kaya di Negeri Singa dengan total kekayaan sekitar USD 260 miliar, 18 ribu merupakan orang Indo­nesia.

Menariknya lagi, uang itu sebena­rnya tidak berhenti di Singapura, me­lainkan disebar dari Singapura untuk menghidupkan aktivitas bisnisnya di Indonesia.

Sebut saja Martua Sitorus, melalui Grup Wilmar International Limited, pe­rusahaan kelapa sawit yang memiliki pabrik Biodiesel terbesar di dunia yang terletak di Indonesia. Atau Sukanto Tanoto yang mengendalikan PT. Garuda Mas International dari Singapura.

Kondisi ini kemudian melahirkan tu­dingan banyak pihak yang mengatakan bahwa sebenarnya faktor penggerak utama ekonomi Singapura adalah mili­arder Indonesia. Dengan kata lain, para pengusaha yang melakukan aktivitas bis­nisnya dengan mengeruk dalam-dalam sumber daya alam di Indonesia tetapi keuntungannya dimanfaatkan oleh neg­ara-negara jasa seperti Singapura.

Terkait kasus ini, Presiden Joko Widodo memerintahkan tiga langkah yang harus dipersiapkan dalam upaya pencegahan dan pengawasan terhadap aksi penggelapan pajak maupun pencu­cian uang.

Hal ini merupakan hasil rapat terba­tas yang diikuti sejumlah instasi seperti Kementerian Keuangan, Direktorat Jen­deral Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasi­onal (BNN), Kepolisian RI, serta Kemente­rian Perindustrian di Kantor Kepresidenan pada Senin (21/3/2016) petang.

Pramono Anung, Sekretaris Kabinet menjelaskan rincian ketiga hal yang di­perintahkan presiden yakni, pertama PPTAK, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak, serta BNN bersinergi dalam penggu­naan data dan informasi terkait wajib pajak (WP). Keempat instansi ini di­perintahkan menggunakan data yang sama. (*)

============================================================
============================================================
============================================================