“Dari Sabang sampai MeÂrauke itu kalau difilmkan tidak akan habis. Indonesia ini sangat kaya. Kalau itu bisa diolah denÂgan maksimal, pasti akan meÂnyingkirkan pembuat film-film dengan judul aneh itu,†cetusÂnya.
Sementara mengenai sensor fiilm, Ratna mengungkapkan hal itu tidak akan berimbas pada sajian yang bermutu dan mendidik. “Tuh buktinya maÂsih banyak yang korupsi. SenÂsor terbaik itu ada di keluarga, khususnya orangtua. Karena tidak menjamin Indonesia berÂsih karena ada sensor film,†ujarnya.
Meski tidak mengatakan lembaga sensor film itu tidak berguna, ia mengatakan keÂsadaran masyarakat untuk memilih tontonan yang akan dikonsumsi jauh lebih penting.
“Sekarang begini, kalau maÂsyarakat disajikan dengan film horor berbau seks, meski sudah lolos sensor, tetap saja ditontonkan. Apalagi batasan umur untuk meÂnonton film di bioskop belum begitu ketat,†cetusnya.
Sementara itu, wakil ketua Dewan Kesenian Kota Bogor, Ace Sumanta yang ikut dalam dialog ini berpendapat sensor film harus dilihat sesuai dengan kebutuhan.
“Sensor itu jangan hanya sebagai kepentingan kekuaÂsaan atau golongan. Tetapi untuk kepentingan masyaraÂkat suÂpaya tidak ada lagi pembodohan, pornoÂgrafi, rasial,” tandas Ace.
(Rishad Noviansyah)