Toto-Subandriyo-Opini-2

POLEMIK tentang rencana pemerintah mengimpor beras tidak perlu terjadi jika negara ini memiliki data statistik pangan yang akurat. Polemik ini mengemuka setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data angka sementara produksi padi nasional 2014 pada awal Maret 2015. Menurut data tersebut, produksi padi nasional 2014 mencapai 70,83 juta ton GKG (setara dengan 41 juta ton beras).

Oleh: TOTO SUBANDRIYO
Alumnus IPB dan Magister Manajemen UNSOED

Jika diasumsikan jumlah penduduk sekitar 250 juta orang dan angka konsumsi beras mengacu pada standar BPS sebesar 113,48 kilogram per kapita per tahun, kebutuhan beras nasional mencapai 28,37 juta ton. Jika semua data tersebut benar, pada awal 2015 terdapat surplus produksi beras di atas 10 juta ton. Pertanyaannya, mengapa pemerintah mewacanakan mengimpor beras? Mengapa harga beras tetap stabil tinggi hingga kini? Data yang kurang akurat menyangkut produksi dan konsumsi beras dituduh sebagai biang kesemrawutan manajemen beras selama ini. Karena itu, banyak kalangan yang menyuarakan agar pemerintah segera membenahi database beras. Data beras yang kurang akurat telah memunculkan kondisi “swasembada semu”. Jumlah produksi riil beras lebih kecil dibanding angka penghitungan di atas kertas. Selama ini, data statistik konsumsi beras antarkementerian/ lembaga sangat beragam. Kementerian Pertanian mematok angka 139,15 kilogram per kapita per tahun; BPS menggunakan angka 113,48 kilogram per kapita per tahun; sedangkan Data Susenas 2012 mematok angka 98 kilogram per kapita per tahun. Beragamnya data ini sangat menyulitkan penghitungan surplus produksi beras yang sebenarnya. Data produksi beras nasional dihitung dari data kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan BPS. Data yang menyangkut luas tanam, luas panen, dan luas gagal panen (puso), menjadi tanggung jawab Dinas Pertanian. Sedangkan data menyangkut produktivitas menjadi tanggung jawab BPS. Berbagai kendala, seperti kurangnya sarana, terbatasnya pengetahuan petugas, serta usia petugas yang rata-rata sudah tua, membuat pengukuran luasan panen dilakukan hanya dengan perkiraan pandangan mata (eye estimate). Pengumpulan data produktivitas dengan cara “ubinan” juga masih menggunakan peralatan sederhana. Pengumpulan data seperti ini sangat memungkinkan terjadinya human error. Bias data pengukuran luas panen dan produktivitas ini secara berantai berimbas pada data produksi nasional. Pada era digital sekarang ini, cara pengumpulan data produksi dengan perkiraan pandangan mata tidak bisa dipertahankan lagi. Petugas lapangan pertanian dan petugas statistik harusnya sudah dibekali ilmu dan peralatan modern seperti GPS (global positioning system). Teknologi pengindraan jauh menggunakan satelit sudah berkembang pesat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghitung produksi pangan secara akurat. Bagi bangsa Indonesia, komoditas beras tak hanya penting secara ekonomi, tapi juga sangat strategis secara sosial dan politik. Ungkapan Jawa telah mengatakan “beras akeh, pikiran semeleh”. Jika masyarakat memiliki stok beras yang cukup, kecil kemungkinan terjadi gejolak sosial. Semua itu bisa diawali dari upaya membenahi data beras.

BACA JUGA :  BULAN RAMADHAN ADALAH  BULAN  AL QURAN
============================================================
============================================================
============================================================