“Tahun 2025 kita lihat, produkÂsi minyak kita tinggal 400.000-an barel per hari, sementara konsumÂsi BBM nasional kita mencapai 1,9 juta barel per hari, ini konsumsi terus menganga semakin besar,†ungkapnya.
Minyak Indonesia Diambang Kritis
Faisal mengungkapkan, IndoÂnesia masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki tata kelola minyak dan gas bumi. Jangan samÂpai Indonesia seperti Brasil yang tata kelola migasnya hancur leÂbur karena dijarah para politikus. “Brasil sedemikian hancur lebÂurnya, seperti Petrobras (BUMN energi) karena penjarahan poliÂtisi,†katanya.
Ia menambahkan, yang utama saat ini harus diselesaikan pemerÂintah adalah menyelesaikan ranÂcangan undang-undang minyak dan gas bumi yang belum kunjung selesai. Ia berharap umur undang-undang baru tersebut nantinya bisa lebih lama, tidak hanya 5-10 tahun harus direvisi.
“Selama saya melakoni (sekÂtor migas) sudah ada 4 perubahan undang-undang migas. Undang-undang migas nanti harus menÂempatkan migas sebagai ujung tombak industrilisasi, migas tidak lagi dikeruk habis-habisan tetapi dijadikan untuk generasi menÂdatang, dan migas sebagai sumber bancakan pemburu rente (mafia migas) menjadi migas untuk rakyat banyak,†tutup Faisal.
Faisal juga mengkritik langÂkah PT Pertamina (Persero), yang membeli kilang minyak di MalayÂsia. “Untuk memenuhi kebutuÂhan BBM memang perlu bangun kilang. Tapi jangan sampai kilangÂnya stand alone, tidak terintegrasi dengan industri petrokimia,†kata dia.
Ia mengatakan, lokasi terÂbaik membangun kilang minyak di Indonesia saat ini hanya ada dua, yakni di Bontang, KalimanÂtan Timur, dan di dekat kilang PT Trans Pacific Petrochemical IndotÂama (TPPI) Tuban, Jawa Timur.
Namun, menurut Faisal, denÂgan kondisi Indonesia seperti saat ini, yang memiliki cadangan operÂasional BBM hanya cukup 18 hari, kebutuhan storage (tangki BBM) lebih penting daripada kilang minyak. “Storage lebih penting dibanding kilang,†tutupnya.
(Yuska Apitya Aji)