Posman-Sibuea--Opini-1

TAHUN 2015 genaplah usia Hari Kebangkitan Nasional (HKN) 107 tahun. Peringatan yang berlangsung 20 Mei, kali ini perayaannya di tengah masa pemerintahan Jokowi-JK yang usianya belum satu tahun, itu ditandai dengan semangat kerja keras untuk memperbaiki negeri.

Oleh: POSMAN SIBUEA

Semangat ini kembali diingatkan lewat tema yang diusung ”Melalui Hari Kebangkitan Nasional Kita Bangkitkan Semangat Kerja Keras Mewujudkan Indonesia Maju dan Sejahtera”. Nafas tema ini sejalan dengan janji Jokowi-JK membangun Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan memiliki pribadi yang kuat sebagai bangsa. Janji ini dikemas dalam bungkus Nawacita atau sembilan citacita utama, salah satu program aksi utamanya adalah membangun kedaulatan pangan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi kerakyatan.

Kemiskinan

Indonesia yang dipuja-puji sebagai negeri yang subur dan makmur ternyata belum berdaulat atas pangan meski usia kemerdekaannya sudah 70 tahun. Teknologi pertanian di era globalisasi ini mengalami kemajuan yang signifikan, namun Indonesia masih bergantung pada pangan impor dan sebagian warganya masih menghadapi persoalan kemiskinan dan kelaparan. Lebih dari 120 juta orang Indonesia saat ini tergolong miskin absolut dan hampir miskin. Lebih dari 60% pekerja Indonesia berada di sektor informal. Mereka umumnya tidak memiliki keterampilan khusus dan sebagian besar pendidikan mereka hanya maksimal sekolah dasar. Dari 250 juta penduduk Indonesia, sekitar 60 juta orang tergolong miskin yang setiap bulannya mengharapkan bantuan pangan dalam bentuk beras rakyat miskin. Bagi rakyat Indonesia, soal pangan tidak bisa dianggap sepele. Kaum miskin kota dan desa akan mudah mengalami kegelisahan sosial (social unrest) yang cenderung liar jika mereka acap mengalami kelaparan. Negara maju memahami masalah perut yang satu ini. Petaninya pun disubsidi secara signifikan sehingga mereka mampu mengusai pangan dunia. Kepiawaian negara maju mengelola pangan mengalahkan Indonesia sebagai negara agraris yang dikenal subur dan makmur. Indonesia kini terperangkap dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Kredibilitas Indonesia di mata dunia sebagai negara agraris kiaFn terpuruk. Pemerintah dinilai tak mampu membangun ketahanan pangan (food security) yang mandiri dan berdaulat di tengah sumber daya pertanian yang melimpah. Selama ini kita lupa membangkitkan pembangunan pertanian yang digagas Bung Karno. Dalam pidatonya saat peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia di Bogor, enam puluh tiga tahun lalu, Presiden pertama RI ini bersabda ”… apa yang hendak saya katakan itu adalah amat penting, bahkan mengenai soal mati-hidupnya bangsa kita di kemudian hari … oleh karena, soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat. ” Namun, keinginan Bapak Proklamator ini untuk mewujudkan ketahanan pangan yang kuat belum terealisasi di Indonesia. Rawan pangan kerap terjadi pada era Orde Lama yang mengharuskan orang antre berjamjam hanya untuk mendapatkan 1-2 kg beras. Sebagian bahkan harus rela menunggu sampai besok atau lusa. Soekarno pun turun tahta sebagai presiden karena kurang piawai mengelola pangan. Indonesia belum serius membangkitkan industri pertanian meski presidennya sudah beberapa kali berganti. Peristiwa krisis pangan terulang pada pemerintahan Soeharto. Krisis ekonomi 1997 memicu langkanya bahan pangan. Harga beras dan bahan pangan lainnya meningkat tiga kali lipat. Masyarakat kota tidak saja menyerbu supermarket untuk memborong bahan pangan, tetapi sebagian mereka juga melakukan penjarahan karena tidak mampu lagi membeli kebutuhan dasar tersebut. Salah satu penyebab turunnya Soeharto dari singgasana kepresidenan pada 1998 karena tidak mampu mengatasi krisis pangan.

BACA JUGA :  TETAP GAS POL MESKI PUASA SAAT MASUK SEKOLAH

Penjajahan Pangan

Hingga kini pangan tidak bisa mencapai setiap orang. Angka kemiskinan yang masih besar di negeri agraris ini mengundang tanda tanya, mengapa itu bisa terjadi? Ternyata kemajuan ilmu dan teknologi pertanian hanya monopoli negara- negara maju, sementara negara berkembang seperti Indonesia berkutat dengan teknologi tradisional guna memproduksi bahan pangan. Petani miskin yang belum mampu mengakses teknologi kerap korban gagal panen dan menjadi pangsa pasar pangan negara-negara maju. Penjajahan dalam bentuk kekerasan fisik sudah ditinggalkan negara maju untuk mengendalikan negara miskin. Namun, penjajahan bentuk lain kini berlangsung secara determinan yakni mengendalikan pangan dunia lewat penguasaan ilmu dan teknologi pangan. Tren baru ini menjadi kegiatan ekonomi antarnegara yang ujung-ujungnya selalu menguntungkan negara-negara maju. Demi kepentingan bisnis segelintir konglomerat di bidang bioteknologi pangan, benih hasil rekayasa genetik (GMO) seakan dipaksakan ke petani negaranegara berkembang dalam bentuk ”program bantuan pangan”. Benih GMO disalurkan sebagai bantuan bagi petani miskin yang mengalami gagal panen misalnya. Setelah ditanam dan panen, baru disadari bahwa benih hasil panenannya ternyata tidak boleh ditanam lagi, tanpa membayar royalti kepada produsen benih. Bukan itu saja, benih tersebut ternyata juga hanya bisa tumbuh jika memakai pupuk, insektisida, dan herbisida yang juga diproduksi oleh produsen yang sama. Ideologi pasar bebas telah menjebak petani masuk dalam perangkap ketergantungan di tangan konglomerat agrobisnis negara maju. Liberalisasi pertanian semakin menghancurkan usaha tani lokal. Mereka acap terancam kelaparan dan mendorong petani dari desa berimigrasi ke kota karena di desa hanya ada kemiskinan dan busung lapar. Saatnya Indonesia pada era pemerintahan Jokowi-JK bersatu membangkitkan pertanian untuk penguatan kedaulatan pangan (food sovereignty) di tengah perkembangan industri pertanian yang berbasis kapitalistik. Pemerintah harus memfasilitasi warga perdesaan, termasuk petani, untuk menentukan sendiri konsep pemenuhan pangannya yang berbasis sumber daya lokal seiring dengan kenyataan bahwa hak atas pangan semakin terabaikan oleh pemain liberalisasi perdagangan. Kuncinya harus ada cetak biru tentang industri pangan yang menjadi andalan Indonesia. Lalu, manusia seperti apa yang harus disiapkan untuk mengawal itu. Hanya dengan pemimpin yang jelas visinya dan memiliki kemauan kuat melaksanakannya, Indonesia maju, sejahtera, berkeadilan, dan lepas dari penjajahan pangan bisa terwujud. Tanpa kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian, makna HKN dikhawatirkan akan menjadi hambar. Perayaan peringatan HKN harus mampu memperbarui tekad bangsa untuk meningkatkan upaya mempercepat penciptaan kemakmuran sebagai tujuan utama perjuangan kemerdekaan. Untuk bisa menjadi negara industri pangan yang disegani masyarakat internasional, Indonesia harus menguasai industri dasar pertanian. Tidak mungkin Indonesia hanya mengandalkan komoditas primer yang tidak diolah.

BACA JUGA :  BULAN RAMADHAN ADALAH  BULAN  AL QURAN

# Penulis adalah Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan; Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research; Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang Sumatera Utara

============================================================
============================================================
============================================================