JAKARTA, TODAY — Kementerian Badan UsaÂha Milik Negara (BUMN) saat ini masih mendata dan mengevaluasi kinerja produktiviÂtas 62 pabrik gula (PG) yang berusia tua. Sementara itu perusahaan-peÂrusahaan BUMN masih belum meÂmiliki niat untuk membangun PG baru dengan alaÂsan investasi yang cukup mahal.
Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Industri Strategis BUMN, Muhammad Zamkhani menÂgungkapkan diperlukan investasi USD 500 juta- 700 juta atau setara dengan Rp 9,1 triliun untuk membangun PG baru dengan kapasitas lahan 15.000 hektare dan produksi rata-rata 10.000 ton tebu per hari (TCD).
“Bangun PG berbasis tebu baru rasanya cukup berat secara komersial karena tadi yang pertama terkait kecukupan bahan baku. Kedua perihal investasi modal cukup tinggi sedangÂkan lahan sendiri sangat tergantung pada petÂani. Kalau kita tidak bisa bekerja sama dengan petani ya nanti juga jangan-jangan kekurangan bahan baku,†katanya saat diskusi pergulaan nasional di Menara KADIN, Kuningan, Jakarta, Kamis (4/6/2015).
Dengan mahalnya investasi pembangunan PG baru, maka yang bisa dilakukan perusaÂhaan-perusahaan BUMN adalah merevitalisasi PG yang sudah ada. Tidak hanya diperbaiki dari sisi peningkatan rendemen gula, namun ke PG diharapkan mampu masuk ke industri hilir seperti memanfaatkan ampas tebus yang dipakai sebagai bahan baku bioethanol hingga kogen sebagai bahan baku pembangkit listrik. “Kita akan ke arah hilirnya termasuk bioethaÂnol dan kogen. Itu yang kita sedang evaluasi, mana yang bisa, “ tuturnya.
Selain itu, fokus utama perusahaan-peruÂsahaan BUMN juga diminta untuk memperluas areal tanam tebu yang sekarang sudah banyak hilang karena kegiatan konversi lahan.
“Kita ketahui juga data dari Kementerian Pertanian konversi lahan pertanian menjadi non pertanian ini juga lajunya cukup tinggi, terutama di Jawa. Sehingga kita berebut denÂgan selain non lahan pertanian, juga dengan komoditas,†sebutnya.
Zamkhani juga menjelaskan, KementÂerian BUMN kini sedang mendata dan menÂgevaluasi kinerja 62 pabrik gula (PG) yang diÂmiliki perusahaan-perusahaan BUMN. Ke 62 pabrik gula tersebut dianggap sudah berusia tua bahkan ada beberapa yang berusia ratuÂsan tahun.
Menurut dia, Evaluasi atas kinerja produkÂsi gula ke 62 pabrik tersebut sedang dilakukan. Bila ke 62 pabrik gula tersebut dianggap sudah tidak efisien, pilihannya hanya 2 yaitu ditutup atau dilakukan revitalisasi dengan nilai investaÂsi yang cukup besar.
“Kita akan konsentrasi bagaimana optiÂmalkan pabrik gula BUMN yang jumlahnya 62 unit. Sama hanya Kemenperin (Kementerian Perindustrian) kita susun roadmap pabrik gula mana yang layak revitalisasi dan pabrik gula mana yang memasuki waktu pensiun. Ada pabrik kita yang usia di atas ratusan tahun,†katanya.
Meski berusia cukup tua, ke 62 pabrik gula tersebut sampai saat ini masih bisa memÂproduksi gula. Namun Zamkhani menilai produktivitas ke 62 pabrik itu dinilai sudha tiÂdak efisien lagi karena tingkat rendemen gula yang dihasilkan cukup rendah. Masalah kemuÂdian timbul, apakah seluruh pabrik gula terseÂbut langsung dihentikan operasionalnya atau tetap dipertahankan dengan catatan perlunya direvitalisasi total. “Tergantung identifikasi. Apakah cukup direnovasi saja,†katanya.
Dari ke 62 pabrik gula itu, mayoritas beropÂerasi di Pulau Jawa. Selain itu persoalan lain yang menghantui pergulaan nasional selain banyaknya pabrik gula yang berusia tua adalah lahan tebu yang terus berkurang karena konÂversi lahan pertanian ke non pertanian.â€Di Jawa 95% merupakan tebu rakyat. Konversi laÂhan pertanian ke non pertanian melaju tinggi di Jawa,†sebutnya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) pernah mendata, dari 62 pabrik gula (PG) yang ada di Indonesia, 40 pabrik telah berusia anÂtara 100-184 tahun atau dibangun sejak pemerÂintah kolonial Belanda seperti PG AssembaÂgoes milik PT PN XI di Situbondo, Jawa Timur, PG Ngadirejo milik PT PN X di Kediri, dan PG Gempolkereb di Mojokerto milik PT PN X.
(Alfian M|net)