KEPALA Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Camelia Wilayat Sumaryana, menyatakan bahwa masyarakat kabupaten terancam gila massal dan rawan penyakit jiwa. Selain gangguan jiwa, Bogor juga terancam wabah ‘filariasis’ atau penyakit kaki gajah.
RISHAD NOVIANSYAH|YUSKA APITYA
[email protected]
Sesuai laporan Puskesmas ada 26 pasien jiwa yang berobat ke praktik pengobatan atlernatif ilegal di Ciseeng,†kata Kadinkes Kabupaten Bogor, Camelia Wilayat Sumaryana saat rapat koordinasi terÂbatas bidang kesehatan di CibiÂnong, Jumat (26/6/2015).
Ia mengatakan, pasien penyakit jiwa dan kaki gajah semakin banyak di KabuÂpaten Bogor. “Kecamatan yang paling banyak memiÂliki pasien kesehatan jiwa dan kaki gajah ada di Kecamatan CisÂeeng, Tajur Halang, Klapanunggal, dan beberapa kecamatan yang jauh dari pusat kota,†katanya.
Sementara ke-26 pasien kesehatÂan jiwa kini sudah mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit MarzoeÂki Mahdi. Namun, kata dia, beberÂapa pasien kesulitan mendapatkan pengobatan karena tidak memiliki administarsi yang lengkap. Persyaratan administrasi itu antara lain pasien tidak memiliki Kartu Keluarga (KK), Kartu TanÂda Penduduk (KTP) dan belum masuk program BPJS. “Pasien masih ada yang telÂantar dan belum tertangani dengan baik,†katanya.
Camelia mengatakan, pihaknya terus melakukan peningkatan koordinasi denÂgan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di Kabupaten Bogor.
Sedangkan untuk menyelesaikan kaÂsus pasien yang telantar, Dinkes akan berkoordinasi dengan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Dinkes juga melakukan upaya penceÂgahan penyakit jiwa dan kaki gajah dengan melakukan sosialisasi, mulai dari tingkat kecamatan, puskesmas, pelatihan hingga distribusi obat.
Camelia mengatakan obat sudah didisÂtribusikan kepada Puskesmas untuk penceÂgahan penyakit kaki gajah di Kabupaten Bogor. “Kalau ada tanda-tanda pasien kaki gajah ‘filariasis’ minum obat karena bisa mencegah penyakit itu,â€katanya.
Ia mengatakan, Dinkes akan melakuÂkan kegiatan pelaksanaan pencegahan penyakit kaki gajah mulai dari pencananÂgan, pelaksaan, ‘sweeping’ pemantauan kejadian hingga cakupan kejadian yang akan selesai hingga tahun 2015.
Peran serta lintas sektoral OPD KaÂbupaten Bogor juga dibutuhkan untuk melakukan pencegahan penyakit jiwa dan kaki gajah.
Diskominfo, Yansos Setda, BPPKB, rumah sakit, kecamatan, desa dan TNI/Polri akan membantu untuk sosialisaÂsi, pengawasan, dan evaluasi program Belkaga. “Saya sangat berharap kepada Bappeda bisa memastikan pendanaan opÂerasional untuk program Belkaga selama lima tahun,†katanya.
Rumah sakit juga diimbau untuk tidak menolak pasien kaki gajah yang mengalaÂmi keluhan kesehatan setelah minum obat penyakit ‘filariasis’ atau kaki gajah.
Sementara itu, Bupati Bogor Hj Nurhayanti telah menyatakan akan menÂsukseskan bulan eliminasi penyakit kaki gajah di kabupaten berpendduk 5,3 juta jiwa ini. “Kami sudah koordinasikan denÂgan seluruh muspika di Kabupaten BoÂgor,†kata dia.
Dipicu Beban Ekonomi
Jumlah penderita gangguan jiwa (orang gila) di Bogor terus meningkat. Beban hidÂup yang semakin berat, sementara kondisi perekonomian yang tak stabil karena keÂnaikan harga BBM dan kebutuhan pokok, menjadi salah satu penyebab banyak warÂga yang stres hingga gila massal.
Selain perkara ekonomi, ada faktor lain pemicu stres adalah interpersonal, pendidikan, dan asmara. Menurut data dari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM), per Oktober 2014 tercatat sebanyak 450 orang pasien gangguan jiwa berat dirawat. Jumlah ini meningkat dibandingkan data Oktober 2013 yang jumlahnya 231 pasien. Secara medis, umumnya pasien gangguan jiwa berat yang dirawat menderita skizoÂpernia, gangguan skizonpal, psikotik akut dan sementara.
Sementara itu, dari segi usia, usia produktif mulai dari 20 tahun mendomiÂnasi terkena gangguan jiwa. Dengan beÂragam penyebab, pasien gangguan jiwa di usia produktif ini akan terus berobat di rumah sakit jiwa hingga usia senja.
Data dari Kemenkes RI menyebutkan, masalah gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan dan depresi pada orang dewasa secara nasional mencapai 11,6 persen. “Situasi ekonomi yang tidak menentu, ini berlaku bagi pengusaha-penÂgusaha yang kini sedang mengalami krisis keuangan. Kalau masyarakat kecil lebih banyak dimobilisasi oleh faktor beban keÂbutuhan, sembako yang naik terus harganÂya. Beragam lah, kebanyakan faktor ekoÂnomi,†kata Pakar Psikologi Universitas Indonesia (UI), Dewi Arimbi, kemarin. (*)