B2-Dewan-KesenianBOGOR, TODAY – Fungsi Dewan Kesenian Kota Bogor akan diuji di masa mendatang. Sejak empat tahun lalu keberadaannya, fungsi lembaga ini tidak dirasakan oleh masyarakatnya. Termasuk ketika Kota Bogor sibuk mencari potensi kesenian dan kebudayaan dalam gelaran Hari Jadi Bogor ke 533. Idealnya dewan kesenian suatu kota memang tidak berlagak sebagai pelaksana proyek kesenian, melainkan sebagai lembaga strategis yang merancang cetak biru kesenian-kebudayaan kota. Ia adalah lembaga ahli sebagai mitra konsultatif pemerintah sekaligus promotor dinamika kesenian-ke­budayaan kota.

Dalam rasionalitas rezim Orde Baru, berbagai taman budaya dan dewan kesenian adalah agen idealisasi kebudayaan yang diimpikan. Praktik rezimentasi kesenian-kebudayaan ala Orde Baru pada ujungnya menjauhkan masyarakat dari problematika, dinamika, dan wacananya sendiri. Akibatnya, sebagian seniman dan masyarakat apriori atau tak acuh pada praktik kesenian-kebudayaankotanya.

Agaknya berbagai taman budaya dan dewan kesenian itu, se­bagai pendukung kekuasaan rezim, gagal menancapkan penga­ruhnya dalam kehidupan masyarakat kita. Di Bogor, fasilitas itu taman budaya dan gedung kesenian bahkan tidak (belum) ada. Itulah sebabnya, meski terkesan punya wilayah, otoritas, termasuk program tersendiri, alih-alih mereka berelasi dengan realitas kese­nian-kebudayaan yang hidup di masyarakatnya, lembaga ini malah diam seribu bahasa.

Berkaca pada hal-hal itu, mesti diupayakan suatu konstruk masyarakat dan kebudayaan yang padu. Relasi keduanya bukan­lah sesuatu yang berjalan dan bekerja secara otomatis. Masyara­kat dan kebudayaan, sesuai dengan teori konstruksi sosial (Ignas Kleden, 2004), tidak hadir secara alamiah dan tumbuh dari suatu esensinya yang ontologis melainkan adalah buatan, konstruksi, dan produksi manusia sendiri.

BACA JUGA :  Kota Bogor Dilanda Bencana Alam, Tanah Longsor dan Banjir di Beberapa Titik

Maka, sangat rasional jika Kota Bogor—terutama yang telah mempunyai lembaga dewan kesenian—menyiapkan cetak biru kesenian-kebudayaannya secara realistik, namun futuristik. Usaha tersebut memang tak mudah mengingat kurang suburnya wacana atau dialektika kesenian dan mandulnya kritik kebudayaan kita selama ini. Masalahnya, siapa atau lembaga apa yang mampu me­mindai, memetakan, serta menjabarkan keistimewaan atau tan­tangan setiap daerah hingga dihasilkan pemahaman holistik dan pola kerja integral bagi berbagai praksis kesenian yang ada.

Masyarakat seniman dan pekerja seni (termasuk pemikir kebu­dayaan dan kritikus) harus mendesak aparat pemerintah bekerja lebih keras menginisiasi konstruk kebudayaan ideal yang diidam­kan bersama. Juga, segenap pengurus lembaga seni “plat merah”— yang dikucuri dana rakyat via APBD—perlu disemangati agar mau terbuka, serius mengaji dan memetakan potensi kreatif kota, dan menolak berasyik-masyuk atau “berseni-seni” di tubuhnya sendiri.

Pada hemat saya, selain sebagai “think-tank” atau lembaga strategis perancang cetak biru kesenian-kebudayaan kota, dewan kesenian juga berfungsi sebagai pusat data dan dokumentasi, serta mitra konsultatif (yang otoritatif) pemerintah. Selain itu, dewan ke­senian bisa berperan sebagai promotor, dinamisator atau fasilitator praktik kreatif seni kota. Namun, ia bukanlah leveransir atau legiti­mator praktik kuasi-seni. Juga, lembaga ini perlu mengembangkan diri sebagai wahana jejaring seni yang tangguh dan punya penga­ruh luas.

BACA JUGA :  Ciptakan Pilkada Damai dan Kondusif, Pj. Bupati Bogor Ikuti Arahan Kemendagri RI Melalui Zoom Meeting

Untuk merealisasikan fungsi-fungsi ideal tersebut, pengurus harus membenahi tujuan strategis, pola kerja, program sampai dengan—yang amat penting!—paradigma atau dasar filosofis kon­struk kebudayaan kota yang dinamis. Masalahnya, apakah selama ini dewan kesenian telah atau mampu berperan secara ideal?

Yang perlu diberikan perhatian ekstra ialah siapa saja yang pantas mengelola dewan tersebut. Lazimnya lembaga semacam ini dikendalikan oleh kalangan seniman sendiri. Tak jarang unsur per­temanan atau koneksi turut campur yang, bisa jadi, menghambat laju organisasi. Praktik permisif mesti dihindarkan. Pantaslah as­pirasi seniman, pekerja seni, pemikir kebudayaan atau pemangku kepentingan umumnya—termasuk aspirasi birokrasi—diakomodasi dan dijalankan oleh pengurus dewan kesenian. Pimpinan yang dibutuhkan ialah manajer tangguh, bukan figur-figur improvisatif dengan kompetensi manajemen tanggung. Jelas, pengelolaan de­wan adalah domain manajerial. Betapa penting kesenian-kebuday­aan dalam pembangunan karakter bangsa, maka peran dewan ke­senian sangatlah strategis. Harapannya, lembaga ini jangan beraksi sebagai organisasi seni partisan belaka. Amiin.

(Rifky Setiadi)

============================================================
============================================================
============================================================