DAMPAK EKONOMI TIONGKOK MELEMAH
AUSTRALIA TODAYÂ – Australia telah mencatat defisit perdagangan bulanan terÂburuk dalam sejarah, dengan total impor melebihi ekspor hampir sebesar 3,9 miliar dolar (atau Rp 39 triliun).
Data Biro Statistik Australia menunjukÂkan, defisit 3.888 juta dolar (atau Rp 38,8 triliun) pada bulan April lalu naik tipis dari rekor sebelumnya pada bulan Februari 2008, yakni sebesar 3.881 juta dolar (atau Rp 38,1 triliun), saat harga komoditas meroÂsot selama puncak krisis keuangan global.
Hasil ini mengejutkan para ekonom, yang telah memperkirakan hasil buruk tetapi tak seburuk data sebenarnya. PerkiÂraan dalam survei Reuters menyebut deÂfisit 2.25 miliar dolar- yang hampir menÂcapai dua kali defisit perdagangan bulan sebelumnya.
Hasil sebenarnya ternyata 3 kali lipat lebih dari defisit musiman bulan Maret- yang telah direvisi- yakni sebesar 1.231 juta dolar (atau Rp 12,31 triliun).
Nilai ekspor barang dan jasa turun 6%, atau lebih dari 1.56 miliar dolar (atau Rp 15,6 triliun), yang disesuaikan secara musiÂman, sementara nilai impor melonjak 4%, atau hampir senilai 1,1 miliar dolar ( Rp 11 triliun).
Para pedagang bereaksi terhadap keÂjutan negatif ini dan penjualan ritel yang mengecewakan dengan menjual dolar Australia, yang turun dari sekitar 77,8 seÂbelum pembukaan jam 11:30 (waktu MelÂbourne) ke 77,1 tak lama setelah itu terhaÂdap dolar Amerika.
Ekonom JP Morgan, Tom Kennedy, menggambarkan data perdagangan itu seÂbagai sebuah “bencanaâ€, seraya menyebut bahwa ini menjadi defisit terbesar setelah tahun 1971.
Kepala ekonom UBS, Scott Haslem, menunjukkan bahwa beberapa defisit seÂlama krisis keuangan global- sebagai proÂporsi ekonomi –lebih buruk, yang kemudiÂan telah berkembang sejak saat itu. “Data perdagangan hari ini memukul pelaku pasar, dengan realitas jatuhnya perdaganÂgan Australia,†sebutnya mengacu pada rasio harga yang Australia dapatkan untuk ekspor dibandingkan apa dibayarkan unÂtuk impor, yang jatuh 2,9% lagi pada kuarÂtal Maret.
Hambatan terbesar pada ekspor berÂasal dari batu bara dan bijih besi. Kategori ABS- yang meliputi batubara- merosot 22%, atau sebesar 859 juta dolar (Rp 8,59 triliun), sedangkan kategori bijih logam dan mineral didominasi oleh penurunan bijih besi sebanyak 13%, atau senilai 808 juta dolar (Rp 8,08 triliun).
Untuk bijih besi, jatuhnya nilai ini diseÂbabkan penurunan kecil dalam jumlah yang dikirim dan penurunan besar dalam harga yang diterima dari ekspor tersebut.
Untuk batubara, kemerosotan jauh lebih parah disebabkan penurunan tajam dalam volume ekspor, sementara harga sedikit jatuh.
Ekonom senior NAB, David de Garis, mengatakan, data tersebut adalah refleksi dari perlambatan dan transisi pada perÂekonomian China.
“Ini menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi China mempengaruhi jumlah uang tunai yang masuk ke ekonomi AustraÂlia. Berarti pertumbuhan ekonomi sedikit lebih lambat dan pertumbuhan pendapaÂtan lebih lambat juga,†terangnya.
(Yuska Apitya/net)