Saat segelintir orang memilih jalan pintas dengan membeli ijazah palsu demi gengsi, ada kisah terhormat yang menginspirasi dari seorang Devi Triasari (23). Demi mengubah nasib keluarga, Devi berjuang untuk keluar dari ‘tren’ menjadi TKW di desa tempat tinggalnya di bilangan Ngawi, Jawa Timur.
Oleh :Â (Yuska Apitya Aji)
RASA bangga tak dia ungkapkan dengan berlebihan ketika Devi berÂbagi cerita dengan awak media, Minggu (31/5/2015) siang. Dia hanya mengungkapkan syukur tak henti-hentinya atas pencapaian yang telah dia raih. Bagaimana tidak, dia berasal dari keluarga miskin, namun sukses menggondol gelar sarjana hukum denÂgan predikat Summa Cum Laude. Indeks Pretasi Komulatif-nya 3,99.
“Bapak saya cuma luÂlusan SD, dua kakak saya juga lulusan SD, kalau ibu saya malah tidak luÂlus SD,†kata Devi menÂgawali cerita menjelang sore hari.
Biaya adalah alasan mengapa keluarganya tak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang beriÂkutnya. Untunglah di genÂerasi Devi biaya pendidikan semakin murah dengan adanya program pemerintah.
“Tetapi dulu waktu saya SD juga orang tua kerja keras mencari uang untuk biaya kuliah. Bapak itu buruh tani, kalau ibu pembantu rumah tangga,†ungkap dia.
Sama seperti remaja di kamÂpungnya, Devi sama sekali tak ada niat untuk sekolah tinggi-tinggi. Adalah hal lumrah bagi gadis-gadis seusianya untuk bercita-cita sebagai tenaga kerja wanita. “Pikirannya kaÂlau jadi TKW itu kan dapat uang di luar negeri, terus bisa kirim uang ke keluarga di desa. Uangnya dipakai beli tanah sama rumah,†kata dia.
Negeri Sakura adalah tujuan Devi kala itu. Jepang dianggapnya merupakan negara yang modern dan maju sehingga terlihat menÂjanjikan. Maka dari itu, dia meÂmilih jalur pendidikan ke Sekolah Menengah Kejuruan bidang adÂministrasi perkantoran. Di masa itu dia menganggap sekolah hanÂya sebagai formalitas persyaratan untuk melamar jadi TKW.
“Tapi setelah tanya guru BK (Bimbingan Konseling -red) saya dibilang harus pintar Bahasa JeÂpang dulu sebelum berangkat. HaÂrus kursus dan harganya juga tidak murah. Tidak mungkin saya minta uang ke orang tua saya untuk itu. Ya sudah saya urungkan niat untuk jadi TKW dan pilih kerja di MageÂtan, jadi sekretaris,†tutur dia denÂgan logat Jawa Timur yang khas.
Setahun lamanya dia bekerja di Magetan dengan gaji tak seberaÂpa, namun cukup untuk membanÂtu orang tua. Dari situlah kemudiÂan dia terpikir untuk meneruskan sekolah. “Saat itu saya baru terÂpikir kalau ingin mengubah deraÂjat keluarga, saya harus sekolah yang tinggi. Setiap pulang kerja saya sempatkan ke warnet untuk cari informasi beasiswa. Akhirnya saya pilih jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN),†kata Devi.
Devi diterima di Fakultas HuÂkum UNS di Solo, sekitar dua jam dari kampung halamannya. Begitu kuliah, dia langsung memburu beaÂsiswa dan sukses mendapatkan beaÂsiswa Bidik Misi. BIdik Misi adalah program beasiswa Kemendibud unÂtuk mahasiswa berprestasi dari keluÂarga kurang mampu. Setiap bulan dia mendapat biaya hidup Rp 600 ribu dan gratis biaya kuliah. Tentu saja dia mempertahankan prestaÂsinya untuk terus mendapatkan beasiswa pemerintah itu.
Perjuangan Devi berbuah maÂnis. Devi termasuk dalam deretan lulusan terbaik di Universitas NegÂeri Surakarta (UNS)- dulu UniverÂsitas Sebelas Maret. Tahun 2015 dengan meraih IPK 3,99. “Saya kuliÂah di Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, UNS angkatan 2011. Saya lulus dalam waktu 3 tahun 6 buÂlan, itu termasuk yang tercepat di fakultas saya. Kebetulan saya wisuÂda juga kloter pertama di tahun ini,†ujar Devi.