Anto-Apriyanto,-M.E.I.GELIAT perkembangan Ekonomi Islam di tanah air, yang lebih dikenal dengan istilah Ekonomi Syariah, semakin hari semakin pesat. Dukungan masyarakat luas terhadap sistem ekonomi alternatif yang diyakini sejalan dengan Al-Quran dan As-Sunnah ini terbukti semakin kuat. Minat masyarakat untuk mempelajari Ekonomi Syariah atau pun berekonomi secara syariah menunjukkan bahwa kehadirannya memang dibutuhkan dan menjadi tumpuan harapan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik lagi.

Oleh: ANTO APRIYANTO, S.Pd.I M.E.I

Posisi pemerintah yang awalnya dianggap belum mendukung sepenuhnya Ekonomi Syariah ditepis oleh langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang secara mengejut­kan mencanangkan Gerakan Eko­nomi Syariah (Gres!) di Lapangan Silang Monumen Nasional, Jakar­ta, Minggu (17/11/2013) silam. Pen­canangan program ini diharapkan mampu mendorong misi Indone­sia untuk menjadi pusat Ekonomi Syariah dunia. SBY berharap Gres! dapat meningkatkan akselerasi masyarakat pada Ekonomi Sya­riah. Sebab ia menilai sistem Eko­nomi Syariah merupakan sistem ekonomi yang harus diperkuat di Indonesia mengingat saat pereko­nomian dunia mengalami gejolak, Ekonomi Syariah terbukti mampu bertahan. Ia juga mengatakan bahwa sistem bagi hasil dalam Ekonomi Syariah memiliki akar yang serupa dengan budaya Indo­nesia di masa lalu, semisal sistem membagi empat dan membagi dua. (ranahberita.com, 17/11/2013)

Saat itu pencanangan Gres! juga dihadiri oleh Ibu Ani Yudhoyo­no, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo serta Menteri Agama Suryadharma Ali dan Men­teri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Sayangnya, sepeninggal SBY men­jabat program Gres! ini tidak ter­dengar lagi hingga sekarang. Meski tidak dipungkiri bahwa ketika Pres­iden Joko Widodo dilantik secara resmi menjadi Presiden RI ketujuh Ekonomi Syariah ternyata masih dibutuhkan membantu tugas-tugas negara dengan mengangkat Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro sebagai Menteri Keuangan.

Dari sekelumit kecil perjala­nan perkembangan Ekonomi Sya­riah tersebut di atas terdapat satu bagian yang berkaitan dengan se­jarah yang mungkin terlupakan. Bahwa sejatinya Ekonomi Syariah yang dewasa ini tengah booming di Indonesia tidak akan pernah memulai perkembangan yang begitu massif jika perjuangannya tidak pernah diawali dari kota hu­jan, Bogor. Tulisan ini mencoba mengingatkan kembali peran dan posisi Bogor dan warga Bogor se­bagai bagian yang tidak terpisah­kan dari sejarah perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia. Ya, sejarah adalah cerminan di masa lalu yang bisa dijadikan ba­han monitoring dan evaluasi agar kehidupan di masa depan bisa lebih baik lagi. Apalagi manusia dan kehidupannya tidak akan per­nah lepas dari sejarah. Bukankah Presiden Soekarno telah mengin­gatkan JASMERAH!, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, yang disampaikannya dalam pidato HUT RI Tanggal 17 Agustus 1966?

Bogor: Kota Sejarah Ekonomi Syariah

Tidak dapat disangkal bahwa Bogor menyimpan berjuta kenan­gan dan sejarah yang berkaitan dengan negara Indonesia mau­pun dunia. Jika memang tidak bisa dikatakan sering, beberapa kali bahkan Bogor menjadi saksi suatu sejarah dan dengan senang hati menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan suatu sejarah. Misalnya Konferensi Panca Neg­ara II yang dihelat di Bogor pada 22–29 Desember 1954, sejatinya menjadi cikal bakal Konferensi Asia-Afrika yang beberapa waktu lalu diperingati ke-60 di Band­ung. Namun akhirnya terlupakan. Padahal inilah bukti nyata salah satu sumbangsih Bogor untuk dunia internasional. Atau kiprah dan kontribusi perjuangan rakyat Bogor Barat dalam melawan kolo­nialisme serta mempertahankan kedaulatan Indonesia yang dip­impin oleh Mayor TNI-AD KH. Sholeh Iskandar, pun mengalami hal serupa, terlupakan dari pen­tas sejarah nasional. Banyak bukti data dan saksi sejarah yang berbi­cara namun hingga detik ini peng­hargaan terhadap Sholeh Iskandar dan pasukannya sebagai pahlawan nasional tidak pula diberikan oleh pemerintah. Padahal ia merupak­an sahabat karib KH. Noer Alie, Mohammad Natsir, dan Sjafrud­din Prawiranegara, yang baru berhasil diakui sebagai pahlawan nasional masing-masing berturut-turut pada 2006, 2008, dan 2011. Dengan demikian, tanpa disadari warga Bogor mewarisi darah para pejuang dan pahlawan nasional.

Sebagai warga dan putra Bo­gor ‘ketururan’ para pejuang dan pahlawan, sudah saatnya melurus­kan sejarah dari segala hal upaya pembelokan atau penghapusan sejarah. Satu sejarah lain yang di­maksud adalah mengenai sejarah perkembangan Ekonomi Syariah di tanah air. Tidak banyak yang tahu bahwa ternyata perjuangan penegakkan Ekonomi Syariah di Indonesia secara nasional dan for­mal dimulai dari Kota Bogor. Apa saja yang menjadi bukti dan saksi bahwa Kota Bogor adalah Kota Se­jarah Ekonomi Syariah?

  1. Pusat Studi Ekonomi Islam
BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Lembaga yang secara concern meneliti dan mengkaji Ekonomi Is­lam pada masa Orde Baru berkua­sa bisa dikatakan masih sedikit. Apalagi aroma islamophobia pada waktu itu begitu menyengat. Maka sulit sekali melacak keberadaan kelompok studi Ekonomi Islam. Namun pada sekitar 1982 salah satu lembaga tersebut ternyata sudah ada di Kota Bogor. Lembaga itu bernama Pusat Studi Ekonomi Islam, didirikan A.M. Saefuddin di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Dari lembaga inilah A.M. Saefud­din mulai menyebarkan ide ten­tang ekonomi Islam, baik secara konsepsi maupun aksi ke seluruh Indonesia. Di belahan Indonesia lain menyusul berdiri pula Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam (FKEBI) pada tahun 1990 di IAIN Sumatera Utara, yang menurut klaim Agustianto merupakan Per­guruan Tinggi paling awal dalam pengembangan kajian ekonomi Islam di Indonesia. (agustianto. com, 14/04/2011)

Tentu dilihat dari sumber oten­tik Kota Bogor lebih awal menjadi perintis studi Ekonomi Islam sebab pada 1982 sudah berdiri Pusat Studi Ekonomi Islam di Perguruan Tinggi Swasta Tertua di Bogor tersebut. Sedangkan di Kota Medan FKEBI baru berdiri 8 tahun setelahnya di IAIN-SU. Jelas, Kota Bogor adalah kota pertama yang mengkaji dan menggaungkan Ekonomi Syariah ke seluruh pelosok nusantara.

  1. Pengukuhan Bank Syariah Pertama Indonesia

Di kalangan masyarakat umum tanah air, Ekonomi Islam dikenal secara luas sejak mulai beroperasinya Bank Muamalat In­donesia (BMI) pada 27 Syawal 1412 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Mei 1992. Pada perkembangan selanjutnya lebih dikenal dengan Bank Muamalat saja. Tidak ban­yak pula yang mengetahui behind the scene pendirian bank syariah pertama tersebut. Ternyata kesuk­sesan Muamalat sebagai lembaga pelopor perbankan syariah di In­donesia tidak bisa dipisahkan dari Kota Bogor. Ya, Istana Bogor men­jadi saksi pengukuhan dan peng­umpulan saham Bank Muamalat untuk pertama kalinya.

Hari itu, 3 November 1991, adalah hari bersejarah ketika Pres­iden Soeharto menyelenggarakan silaturahmi dengan masyarakat Jawa Barat. Dalam suasana sejuk Kota Bogor yang masih diselimuti kabut pagi, samar-samar terlihat berbondong-bondong masyara­kat Jawa Barat memasuki dan memenuhi Istana Bogor. Empat ribu masyarakat Islam Jawa Barat begitu antusias untuk membeli saham bank tersebut. Gambaran inilah yang kemudian dinyatakan Karnaen Anwar Perwataatmadja sebagai janji Allah dalam Al-Quran Surat An-Nashr: 1-2. Pertemuan monumental di Istana Bogor tersebut berhasil meningkatkan jumlah modal dasar dari Rp 85 milyar menjadi lebih dari Rp 110 milyar! Sebuah pencapaian yang spektakuler! Padahal menurut peraturan saat itu cukup dengan Rp 10 milyar saja bank syariah tersebut sudah bisa beroperasi. Bahkan, bukan hanya izin yang diberikan, Soeharto saat itu juga meminjamkan uang dari Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila se­banyak Rp 3 milyar tanpa bunga. Dengan penuh semangat Pak Har­to pun berjanji membantu men­jualkan dan memasarkan bank syariah tersebut. Meskipun be­berapa kali Presiden Orde Baru itu keliru melafalkan nama banknya yang seharusnya Muamalat na­mun ia sebut ‘Mualamat’.

Dari Istana Bogor itulah per­jalanan perbankan syariah di ta­nah air dimulai. Kali ini Kota Bogor menjadi tuan rumah perhelatan akbar muslim Jawa Barat untuk mendirikan institusi keuangan sya­riah. Maka pada perkembangan se­lanjutnya tidak mengherankan bila melihat pertumbuhan Bank Sya­riah di Indonesia umumnya, dan di Bogor khususnya. Di Bogor, se­lain Muamalat bermunculan pula cabang-cabang perwakilan bank syariah lainnya, antara lain Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, BTN Syariah, BJB Syariah, hingga BCA Syariah.

Di tingkat mikro, berkembang pula BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Salah satu BPRS berprestasi dari Bogor di kancah nasional adalah BPRS Amanah Ummah, yang berpusat di Leuwil­iang dan berdiri pada 11 Juli 1992, diprakarsai oleh KH. Sholeh Iskan­dar. Hingga 2014 BPRS Amanah Ummah telah memiliki tiga kantor cabang di luar kantor pusat den­gan total aset mencapai Rp 153 mi­lyar. Sejumlah penghargaan pun diraih, di antaranya adalah peng­hargaan dari Infobank (2012) seb­agai BPRS dengan kategori Sangat Bagus serta dari Karim Consulting Indonesia sebagai The 1st Rank The Most Prudent Islamic Rural Bank, Java Region (2014). Hal ini membuktikan BPRS made in Bo­gor tersebut telah menjadi pelo­por sekaligus teladan bagi BPRS lainnya di seluruh Indonesia.

  1. Pelopor Pendidikan Eko­nomi Syariah Indonesia
BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Ada yang unik ketika Indo­nesia mengalami krisis moneter pada kurun 1997/1998. Pada saat bersamaan mulai tumbuh subur lembaga pendidikan Ekonomi Syariah. Menurut Agustianto, memang IAIN-SU sejak tahun 1997 telah membuka Program D3 Manajemen Bank Syariah, sebagai Program Diploma Ekonomi Sya­riah pertama di Indonesia yang membuka jurusan bank syariah. Tapi untuk program Strata-1, STEI Yogyakarta yang dirintis Dr. Mu­hammad pada 13 Mei 1996 adalah pelopor pendidikan Ekonomi Syariah pertama yang disusul ke­mudian oleh Dr. M. Syafi’i Anto­nio yang mendirikan STEI Tazkia di Kota Bogor pada 11 Maret 1999. Pada perkembangannya, STEI Tazkia lebih dikenal secara luas dibandingkan STEI Yogyakarta. Kampus Tazkia yang awalnya berpusat di Kota Bogor bagian barat dikembangkan ke lokasi baru di kawasan Sentul City yang lebih representatif. Berbondong-bondong mahasiswa dari seluruh pelosok Indonesia menuntut ilmu Ekonomi Syariah di kampus yang terkenal karena ketokohan Syafi’i Antonio tersebut. Bahkan seka­rang sudah membuka pula untuk jenjang S2 Ekonomi dan Keuangan Islam.

Pada 2004 Universitas Ibn Khaldun Bogor pun membuka S1 Ekonomi Islam, yang sebelumnya sudah diawali dengan membuka S2 Ekonomi Islam terlebih dahulu. Disusul kemudian oleh Universitas Djuanda dan Sekolah Tinggi Aga­ma Islam Terpadu (STAIT) Modern Sahid yang turut membuka S1 Eko­nomi Islam, serta STAI Al-Hidayah yang membuka D3 Perbankan Syariah. Diikuti pula oleh IPB yang membuka S1 lmu Ekonomi Sya­riah. Semua ini menjadi bukti bah­wa Kota Bogor tidak pernah ting­gal diam dalam perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia. Kota Bogor selalu berkontribusi dalam pembangunan Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Yang belum ada adalah SMK Ekonomi Syariah atau SMA yang membuka kelas IPS Ekonomi Syariah, yang di beberapa kota di Indonesia su­dah mulai marak berdiri.

Penutup

Demikianlah paparan menge­nai sekelumit kecil catatan sejarah kiprah Kota Bogor dan warganya terhadap kemajuan Ekonomi Sya­riah di Indonesia. Seyogianya menjadi perhatian bagi pemerin­tah pusat dan khususnya Pemer­intah Kota Bogor untuk dijadikan dasar pijakan bagi pembangunan Kota Bogor ke depannya. Ber­dasarkan tinjauan historical terse­but di atas, sudah saatnya Kota Bogor dicanangkan dan didorong untuk menjadi Kota Ekonomi Sya­riah pertama di Indonesia, meny­empurnakan wacana Kota Halal yang pernah dicanangkan pada masa Walikota Diani Budiarto dan diperjuangkan oleh Almarhum Dr. Fahrudin Sukarno, Ketua Keluar­ga Muslim Bogor (KMB). Terlebih dengan aset-aset SDM Ekonomi Syariah yang tersedia di Kota Bo­gor yang juga telah disebutkan di atas. Sangat disayangkan jika kemudian tokoh-tokoh kunci Eko­nomi Syariah Indonesia tersebut yang berdomisili atau mempunyai kampus di Kota Bogor dibiarkan beraktivitas di luar sementara di kota tempat tinggalnya tidak diberdayakan untuk membantu Pemerintah Kota Bogor dalam mengurai problematika yang be­gitu banyak. Bukankah akan lebih terasa hasilnya kelak jika Pemer­intah Kota Bogor bersama tokoh-tokoh Ekonomi Syariah tersebut bahu-membahu mengerjakan ‘PR’ yang masih menumpuk di meja kerja Walikota dan DPRD Kota Bogor? Harapannya, segala per­masalahan ekonomi dan sosial di Kota Bogor dapat terselesaikan dengan pendekatan Ekonomi Sya­riah yang sesuai aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Inilah sejatinya es­ensi dari memBogorkan Ekonomi Syariah.

Selamat Hari Jadi Kota Bogor ke-533. Semoga menjadi Kota Eko­nomi Syariah yang dapat mewu­judkan Islam rahmatan lil ‘alamin dan terwujudnya Kota Beriman dengan sebenar-benarnya iman dan takwa kepada Allah SWT. Amin. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================