Oleh: UMBU TW PARIANGU
BEBERAPA tahun lalu, rakyat juga sempat dihebohkan isu beras plastik. Meski uji sampel beras plastik oleh Puslabfor Polri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, BPOM, dan BPPT hasilnya negatif, pendirian PT Sucofindo tidak berubah lewat hasil uji sampelnya bahwa beras yang ditemukan Dewi Septiani mengandung polyvinyl chlorida (bahan dasar pipa paralon).
Menurut pihak Polri, laboratorium Sucofindo terkontaminasi unsur plastik sehingga hasil ujinya berbeda dengan uji laboratorium pemerintah. Padahal, PT Sucofindo merupakan perusahaan BUMN inspeksi pertama di IndoÂnesia yang tak diragukan kompetensinya.
Sebesar 95% saham perusahaan yang usianya mendekati 60 tahun itu dikuasai negara dan 5% oleh Societe Generale de Surveillance Holding SA (SGS). Karena kredibilitasnya, sangat banyak perusahaan nasional dan multinasional yang menjadi kliennya.
Tidak Bijak
Apalagi, jenis beras yang sama juga ditemukan di Bekasi, Bogor, Gunungkidul (Yogyakarta), Kendari (Sulawesi Tenggara), Kutai Barat (Kalimantan Timur). Sampai kini, tak pernah dijelaskan ke publik alasan argumentatif penyebab perbedaan uji sampel beras terseÂbut.
Untuk antisipasi, aparat kepolisian mestinya bersikap lebih jauh, termasuk mengusut dalang penyebar beras yang diduga palsu. Sebab, menurut aturan hukum pidana, pengedar beras plastik bisa dijerat dengan UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Beras plastik sebenarnya bukan milik Indonesia dan baru kali ini beredar. Di Hong Kong, beras sejenis beredar luas dan membikin heboh pada 2012 dengan bahan campuran kentang, ubi jalar, dan resin sintetis industri yang dapat merusak ginjal manusia.
Awalnya, beras tersebut dijual bebas di Kota Taiyuan, Provinsi Shaanxi, Tiongkok. Menurut kajian dari kesehatan pangan setempat, memakan tiga mangkuk nasi palsu tersebut sama dengan memakan satu kantong plastik (Asianews.it, 9/4/2012). Karena itu, para pengedar beras palsu harus diganjar dengan hukuman berat.
Pada 1950, di zaman kepemimpinan Soekarno, sempat juga beredar beras atom, yang wujudnya sama dengan beras plastik. Beras impor itu dibagi ke masyarakat untuk mengatasi kelaparan dengan jatah 2 kg per keluarga miskin.
Baru pada 1960-an beras atom hilang dari peredaran seiring dengan lengsernya Soekarno. Kita sepakat pengedar beras plastik harus dipenjarakan. Arahan presiden dan wakil presiden, yakni tidak membesar-besarkan berita beras plastik, merupakan respons persuasif yang bagus.
Namun, Menteri Perdagangan tak perlu menyalahkan masyarakat atau pedagang yang tidak meneliti dari mana asal beras itu sebelum mengonsumsinya karena hal itu dirasa berlebihan.
Pemerintah memiliki otoritas penuh mengawasi jalur distribusi perdagangan, termasuk menjamin kualitas dan keamanan konsumsi beras di masyarakat. Secara politis, manajemen perberasan merupakan urusan perut rakyat yang harus diurus serius pemerintah.
Keinginan swasembada demi ketahanan dan kedaulatan pangan khususnya beras pada 2016 lewat penambahan dana alokasi khusus (DAK) bidang pertanian sebesar Rp4 triliun dan komitmen menutup pintu impor beras harus disertai perangkat hukum dan pengawasan yang kuat agar pergerakan mafia pangan dapat diredam.