rupiah-melorot-130909bJAKARTA, TODAY — Nilai tukar rupiah tak hanya melemah terhadap dolar Amerika Seri­kat (USD), tapi juga lemah terhadap dolar Singapura. Kamis (18/6/2015) dolar Singapura tembus Rp 10.000.

Seperti dikutip dari data perdagangan Re­uters, Kamis (18/6/2015), posisi tertinggi dolar Singapura berada di Rp 10.005. Nilai tukar dol­ar Singapura itu sudah melampaui titik saat In­donesia mengalami krisis moneter (Krismon) pada 1998 silam. Pada waktu itu, dolar Singapura sempat mencapai Rp 9.950. Padahal di tahun sebelumnya masih berada d kisaran Rp 1.700 sampai Rp 2.000 saja.

Hingga menjelang Kamis sore, dolar Singapura diperdagangkan di Rp 9.978 setelah pagi tadi sempat naik tinggi. Rupiah juga hari ini me­lemah terhadap USD, yaitu ada di posisi Rp 13.340.

Nasib rupiah sepertinya sangat bergantung pada pergerakan kondisi ekonomi Amerika Serikat. Normal­isasi kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) cukup membuat rupiah terus tertekan.

Isu kenaikan suku bunga The Fed berhasil membuat semua mata uang negara di dunia berguguran, tak ter­kecuali Indonesia. Di awal tahun, ru­piah masih berada di posisi sekitar Rp 12.000, saat ini dolar AS menekan rupiah di level sekitar Rp 13.300.

Apa penyebab sebenarnya? Analis Pasar Uang Farial Anwar mengungkapkan, banyak faktor yang membuat mata uang Garuda tertekan. Hal paling berkontribusi adalah isu kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed.

BACA JUGA :  RPJPD Kota Bogor 2025 - 2045, Kota Sains Kreatif, Maju dan Berkelanjutan

“Isu ini sudah muncul 2 tahun terakhir, kita terombang-ambing nggak jelas, kapan mereka mau me­naikan suku bunganya, kita semakin lama dibuat tidak pasti. AS terus menguat, rupiah terus tertekan,” jelas dia kepada detikFinance, Kamis (18/6/2015).

Selain itu, ekonomi Eropa yang juga dalam tekanan karena Yunani ti­dak mampu membayar surat utang­nya, membuat USD perkasa ter­hadap euro. Jepang dan China juga demikian, kondisi perekonomiannya tengah melambat. “Ekspor kita ter­hambat, ini juga menekan rupiah,” katanya.

Dari dalam negeri, Farial menye­butkan, Indonesia masih menang­gung defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD). Meskipun neraca perdagangan mu­lai membaik, namun belum mampu mendorong penguatan rupiah.

“Belum lagi masih banyak orang kita transaksi di dalam negeri pakai USD. UU No.7/2011 tentang mata uang itu tidak efektif karena tidak dijelaskan transaksi apa saja yang di­larang pakai dolar, ini sangat meng­ganggu rupiah, nah dengan PBI yang baru diharapkan bisa membantu,” terang dia.

Ditambah lagi, lanjut Farial, banyak eksportir yang menyimpan uangnya di perbankan Singapura karena dianggap sebagai surga pe­nyimpanan uang.

Karena Indonesia dan Singapura tidak memiliki kerjasama ekstradisi, hal ini dinilai aman bagi para ekspor­tir jika di kemudian hari ‘ada ma­salah’ dengan uang simpanan mer­eka.

“Eksportir kita menempatkan dolarnya di Singapura yang dianggap sebagai surga penyimpanan uang. Mereka menganggap lebih aman, jadi kayak koruptor menyimpan duit di sana, itu nggak bisa dikejar, tidak bisa ditangkap,” kata Farial.

BACA JUGA :  Baliho di Jalan Raya Sawangan Depok Roboh Diterjang Hujan Deras, Timpa Innova

Karena situasi ini, banyak orang memilih memegang dolar dan ti­dak mau melepasnya. Pasar dibuat terombang-ambing dengan keti­dakjelasan The Fed tersebut. Atas dasar itu, para investor enggan me­lepas dolarnya, mereka berharap USD terus menguat sehingga bisa mendapatkan keuntungan lebih tinggi dari dolarnya.

“Apa penyebab rupiah tertekan? Saya tanya kalau keadaan lagi begini, perkiraan dolar AS juga masih akan naik terus, siapa yang mau jual dolar? Mereka pasti pilih dolar,” ucap Farial.

Dia melihat, suku bunga The Fed diperkirakan akan naik di tahun de­pan. Hal itu setidaknya bisa menjadi pegangan para investor untuk tetap menyimpan dolarnya.

“Isu kenaikan suku bunga AS sudah 2 tahun terakhir terombang-ambing nggak jelas. Sekarang ada usulan ditunda sampai tahun depan, jadi baru tahun depan dinaikkan, ini jadi masalah, spekulan sudah melakukan buy on rumor, AS terus menguat,” jelasnya.

Farial mengatakan, pemerintah perlu agresif dalam menangani ma­salah mata uang yang merupakan kedaulatan bangsa.

Peraturan Bank Indonesia (PBI) soal kewajiban transaksi di dalam negeri menggunakan rupiah, di­harapkan sedikit membantu mengu­rangi tekanan terhadap rupiah.

“Untuk pemerintah, saya sa­rankan buat rezim devisa terkendali, bukan devisa bebas, jangan biarkan asing keluar masuk secara bebas,” tegasnya.

(Alfian Mujani)

============================================================
============================================================
============================================================