PRESIDEN RI Joko Widodo dalam beberapa kunjungannya ke Papua dan Papua Barat, benar-benar membawa angin segar bagi masyarakat di kedua provinsi tersebut. Ada dua peristiwa penting yang sangat menyentuh hati rakyat Papua sejak Joko Widodo menjadi presiden RI yang ke-7.
Oleh: FREDDY NUMBERI,
Tokoh Masyarakat Papua
Pertama, pada perayÂaan Natal Nasional di Jayapura, 27 DesemÂber 2014, Presiden mengatakan: â€Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi keÂkerasanâ€.
Kedua, pada kunjungan tangÂgal 9 Mei 2015, di mana Presiden mencanangkan beberapa proyek pembangunan di Papua, Jokowi juga membebaskan lima naraÂpidana politik dengan memberiÂkan grasi bagi mereka. Presiden mengatakan: “Kita ingin menÂciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera. Kalau ada masalah di provinsi ini segera diguyur air dan jangan dipanas-panasi lagi sehingga persoalan tersebut terus menjadi masalah nasional, bahkan internasional.â€
Hadir dalam pemberian grasi kepada lima narapidana politik tersebut antara lain Menko PolÂhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Menkumham Yasonna HamonanÂgan Laoly, Panglima TNI (saat itu- Red) Jenderal Moeldoko, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, dan Wagub Papua Klemen Tinal.
Harapan Baru
Pernyataan Presiden untuk menciptakan Wilayah Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) sebagai wilayah yang damÂai, adil, dan sejahtera merupakan suatu kerinduan rakyat Papua sejak awal integrasi dengan InÂdonesia pada 1 Mei 1963. Selama 52 tahun integrasi, Wilayah TaÂnah Papua (WTP) terus bergolak dan masyarakatnya hidup dalam cengkeraman ketakutan di bawah kekerasan aparat keamanan.
Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan ada empat akar permasalahan Papua, yaitu; (1) Marjinalisasi dan diskriminasi; (2) Kegagalan Pembangunan; (3) Kekerasan Negara dan PelanggaÂran HAM; (4) Sejarah dan status politik Papua(Muridan S Widjojo, dkk, 2010).
Masyarakat Papua berharap Jokowi tersebut akan membebasÂkan mereka dari rasa ketakutan yang harus dihadapi selama ini dan dapat bangkit kembali untuk membangun diri dan lingkunÂgan mereka dalam keberagaman jati diri Indonesia. Menko PolÂhukam dalam kesempatan yang sama juga mengatakan “Masalah Papua harus dilihat dengan hati. Jadi,tidak ada lagi istilah OrganÂisasi Papua Merdeka. Yang ada sekarang adalah “Orang Papua Membangunâ€. Demikian juga pernyataan Panglima TNI JenderÂal Moeldoko: “Mudah-mudahan kebijakan Presiden membuka haÂrapan baru untuk menciptakan stabilitas keamananâ€.
Di samping itu terkait kebiÂjakan Presiden tersebut, Panglima TNI juga menegaskan bahwa TNI akan mengedepankan tindakan yang lebih humanis ketimbang represif: “Tidak ada lagi tindakan prajurit yang menyakitkan hati rakyatâ€. Bagi masyarakat Papua baik amanat Presiden, pernyataÂan Menko Polhukam maupun Panglima TNI jelas memberikan harapan, namun juga menimbulÂkan berbagai tanggapan.
Di antaranya adalah: PerÂtama, perasaan lega karena terÂbebas dari kebisuan dan boleh menyampaikan aspirasi mereka dalam suasana yang lebih deÂmokratis. Kedua, peranan aparat keamanan (TNI & Polri) yang seÂlama ini pendekatannya adalah represif/kekerasan dan menjadi sumber konflik maupun keteganÂgan di tengah-tengah masyarakat, perlu diubah menjadi pendekaÂtan kesejahteraan yang lebih huÂmanis. Ketiga, kesenjangan sosial ekonomi antara orang asli Papua dan pendatang harus diubah dengan pendekatan diskriminasi positif bagi orang asli Papua.
Gagasan Presiden Joko Widodo
Gagasan Presiden Joko WidoÂdo untuk menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil dan sejahtera merupakan langkah awal di bawah leadership Presiden yang perlu diapresiasi oleh semua piÂhak dalam mencari solusi bersaÂma. Tujuannya agar rakyat Papua dapat hidup dalam ketenangan dan membangun diri dan neÂgerinya dalam bingkai NKRI. Pemerintah (pusat dan daerah) selanjutnya harus berupaya unÂtuk menyelesaikan konflik-konflik yang ada secara lebih arif dan biÂjaksana. Menurut penulis, meraÂjut Wilayah Tanah Papua yang damai, adil dan sejahtera terdiri dari sembilan kerangka utama.
Pertama, mengakui hak-hak dasar orang Papua, dan mengÂhormati harga diri mereka. Kedua, membangun rasa keberÂsamaan di antara sesama rakyat Papua maupun dengan mereka yang datang dari luar Papua. KeÂtiga, menjadikan rakyat Papua “tuan di tanahnya sendiri†dalam arti mandiri. Pentingnya untuk men-ciptakan kemandirian rakyÂat Papua agar orang Papua tidak dijadikan “objek†oleh orang lain, dan dipandang perlu untuk memÂberdayakan mereka agar dapat hidup lebih sejahtera dari waktu ke waktu. Keempat, membangun sikap toleransi dan saling mengÂhargai baik antara rakyat Papua maupun pendatang. Hal ini pentÂing agar tidak timbul isu-isu yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kelima, menghindari kekerasan yang seÂlama ini terjadi akibat berbagai pelanggaran HAM di tanah PapÂua. Keenam, menegakkan keadiÂlan dan kebenaran dalam kehiduÂpan sosial masyarakat Papua agar lukaluka yang mendalam akibat masa lalu dapat terobati, melalui advokasi, pengungkapan fakta, negosiasi dan lain sebagainya Ketujuh, menegakkan hukum dengan adil, baik dan benar, agar rakyat Papua dapat hidup dengan tenteram,aman dan tidak merasa terancam perlakuan sewenang-wenang oleh pihak manapun. Kedelapan, menumbuhkan siÂkap saling percaya (trust) anÂtara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun maÂsyarakat Papua, agar terhindar dari penyakit curiga dansyak-waÂsangka yang selama ini membuat kita terkurung dalam sengketa separatisme. Kesembilan, semua pihak terkait perlu membangun dialog damai dan rekonsiliasi unÂtuk merajut Papua tanah damai, adil, dan sejahtera.
Berdasarkan amanat Presiden Joko Widodo tersebut, solusi daÂmai, adil, dan sejahtera dengan didukung oleh hasil penelitian LIPI, perlu dilakukan melalui diaÂlog dan rekonsiliasi. Tentu, guna menyelesaikan masalah Papua secara permanen, adil, bermarÂtabat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. (*)