AKHIRNYA para pemudik itu di kampung halaman masing-masing juga sudah capek. Mereka telah mengurus segenap urusan penting yang mereka rencanakan sejak masih di Jakarta.
Oleh: MOHAMAD SOBARY
Boleh jadi juga di kota-kota besar lain di mana mereka meranÂtau. Sesudah segenap urusan itu selesai, lalu apa? Rasanya tak ada lagi yang harus mereka kerjakan. Di Jakarta sekali lagi atau di kota besar lainÂnya pekerjaan sudah menanti.
Mereka sudah dinantikan oleh sebuah rutinitas. Untuk sekadar dibayangkan saja rutinitas itu sudah mencekam dan menimÂbulkan kejenuhan. Kecuali bagi mereka yang sungguh kreatif dan pandai melawan segenap kejenuÂhan itu dengan kapasitas pribadi yang tak bisa dipahami orang lain. Jangan salah, di antara para pemudik tadi boleh jadi ada yang bukan kembali ke rutinitas kerja, melainkan kembali ke suasana tiÂdak bekerja. Dengan begitu, bagi mereka kembali ke Jakarta juga ke kota-kota lain bukan kembali pada pekerjaan, melainkan kemÂbali mencari pekerjaan.
Semangat mereka tak pernah patah. Kali ini mereka bicara tenÂtang â€kemungkinan†yang kaya, yang tak bisa dijajaki dengan perÂhitungan rasional kita. Juga tenÂtang â€nasib baik†yang tak pernah teraba sehingga kalkulasi hidup didasarkan pada sikap yang seoÂlah menyerah seperti setengah menyerah: â€siapa tahuâ€.
Memang. Kata â€siapa tahu†itu gambaran lautan kehidupan yang dalamnya bahkan tak bisa sekadar dibandingkan dengan palung Mariana di dekat Filipina yang dianggap laut yang paling dalam di dunia. Mereka yang suÂdah sampai ada perhitungan â€siaÂpa tahu†seperti ini tak mungkin patah. Semangat hidupnya akan tetap tegak. Dia tak terkalahkan. Bagi mereka kelihatannya hidup bukan untuk dikalkulasi secara cermat dan dalam, dengan ruÂmus-rumus yang mungkin bisa ditemukannya.
Bagi mereka hidup untuk diÂjalani. Selesai. Ada yang bilang untuk â€dinikmatiâ€. Belum tentu. Mampukahkita menikmati nasib yang sama sekali tidak nikmat? Bisakah kita menjalani dengan sikap â€nrimo†apa yang sungguh tidak enak. Lebih khusus bisakah kita â€menikmati†apa yang sama sekali tidak nikmat? Anggapan bahwa hidup, apa pun wujudnya, kita nikmati agaknya akan terasa berlebihan.
Hidup bukan tak selalu untuk dinikmati, tapi sudah pasti unÂtuk dijalani. Menghadapi suatu keadaan tertentu mungkin kita pun tak bisa menerimanya denÂgan baik. Jadi, hidup yang sering tidak nikmat itu yang selalu kita jalani. Hidup yang tak selamanya bisa kita terima itulah yang kita jalani. Mungkin ada rasa frustrasi yang kita sembunyikan dari mata orang lain. Mungkin ada yang kita hadapi dengan sikap tidak bisa tidak diterima. Tapi, apa boleh buat. Hidup harus berlangsung. Boleh jadi kita tertekan. Boleh jadi hidup ini membuat kita menderita. Bahkan di rantau, di â€rumah†yang kita huni berpuÂluh-puluh tahun tetap tak terasa adanya jaminan masa depan. Itu yang sudah lewat. Di masa deÂpan? Kita, sekali lagi, bicara tenÂtang â€siapa tahu†tadi.
â€Siapa tahu†itu terasa sepÂerti sikap skeptis. Tapi, salahkah bisa kita menganggapnya sebuah optimisme? Mungkin optimisme itu sendiri tak harus punya lanÂdasan. Kalau segala hal ada alaÂsannya dan rasionalitas kita bisa mengalkulasinya dengan baik, itu perkara biasa.
Ibaratnya, kalau kita bicara bahwa esok pagi matahari pasti terbit, kita tak bisa menyebutnya optimisme karena itu sudah terÂlalu pasti. Sekadar contoh, sikap optimistis itu dimiliki seorang pemudik yang dalam kelelahanÂnya menghadapi kemacetan dan rasa lapar, tapi wajahnya tetap ceria. Di dalam hatinya lirik-lirik lagu Koes Ploes itu bergema. Lalu keluarlah dari lisannya yang fasih berucap. Terampil pula diamÂdiam â€menertawakan†nasibnya sendiri tanpa luka di hati.
Di sana rumahku Dalam kabut biru Hatiku sedih Di hari minggu Di sana kasihku Berdiri menungÂgu Di batas waktu Yang telah terÂtentu Kemudian inilah tekadnya yang paling menggetarkan jiwa, yang paling penuh optimisme: ‘Ke jakarta aku kan kembali WaÂlaupunapayang kanterjadi’ Kita membayangkan seleret cahaya kegetiran yang sejenak melintas di wajahnya.
Tapi, hanya sejenak. Sejenak kemudian kegetiran itu telah ditelannya dengan segenap opÂtimisme tadi. Segenap kegetiran dikunyah-kunyah habis sampai tuntas, menjadi sesuatu yang lebÂih punya nuansa sedikit â€manis†dan â€bersahabatâ€. Segenap keceÂmasan diganyang mentah-menÂtah menjadi sesuatu yang punya makna sedikit â€harapanâ€.
Tiap jenis ketakutan dihanÂtam tanpa ampun menjadi sesÂuatu yang tak harus menakutÂkan. Kata â€takut†tak pernah ada lagi di dalam kamus hidupnya. Dia menjadi sang penakluk. SeÂgala rintangan ditaklukkannya. Pemudik seperti inilah petarung sejati. Kalau kita bicara tentang mereka yang sudah sukses dan mapan hidupnya, kita jenuh karena orang sukses punya banÂyak rumus dan dalil kehidupan yang begitu tegas dan baku. Apa yang baku kelihatannya memboÂsankan. Lagipula dalil suksesnya tak berlaku bagi orang lain. Bagi pemudik optimistis, yang akan kembali ke Jakarta, apa pun yang akan terjadi, dalil sukses tadi tak bisa di-copy paste. Dalil itu tak berarti baginya. Bagi dia, hidup tak ada dalilnya. Hidup itu sebuah percobaan yang harus dilalui dalam gelap. Tak pernah ada kepastian. Tak pernah ada jaminan. Dalil sukses akan datang kelak, sesudah dia â€mengalami†segenap pahit getirnya perjuanÂgan hidup ini. Dia baru akan bisa bicara tentang hidup sesudah dia pernah â€hidup†dalam makna seÂjatinya.
Di bumi ini dia merasa tidak ada tempat baginya. Di kampung halamannya sendiri bahkan seÂbenarnya tidak ada pula tempat yang menggembirakan. Tapi, dia tak berkecil hati. Dia merasa puÂnya tempat di Jakarta. Maka, berÂdendanglah dia: â€Ke Jakarta aku ‘kan kembali.†Tak peduli akan apa yang terjadi. Pokoknya, ‘ke Jakarta, dan bukan ke kota lain, aku ‘kan kembali’.
 # Penulis adalah Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi