Lepas dari itu, perdeÂbatan pilkada serentak masih menghangat. Apakah hasilnya akan menjadi lebih baik dan lebih sedikit penyimpanÂgan? Apakah stakeholders terÂkait pilkada berkomitmen kuat menyukseskan setiap tahapan pilkada? Sudah siap pulakah aparat keamanan mengantisipasi kerusuhan akibat pilkada serenÂtak? Dari 1.014 pilkada selama 2005-2014, sebagian besarnya berakhir dengan sengketa dan diselesaikan di Mahkamah Konsti tusi. Beberapa di antaranya juga picu konflik sosial.
Di tataran konsep, pilkada oleh rakyat tak hanya terkait erat dengan praktik desentralÂisasi dan otonomi daerah, tapi juga berkorelasi positif pada terÂwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat. MeskiÂpun secara teoretis argumenÂtasi ini bisa diperdebatkan, tak sedikit akademisi yang percaya pilkada langsung merupakan prasyarat terwujudnya pemerinÂtahan daerah yang partisipatif, transparan, dan akuntabel (good governance). Namun, berhasil tidaknya jelas bergantung pada komitmen stakeholders terkait meminimalisasi kecenderungan perilaku menyimpang.
Peningkatan kualitas pilkada tak hanya ditentukan perbaikan undang-undangnya, tapi juga perÂbaikan pelaksanaannya. Dengan pilkada serentak diharapkan ada penyempurnaan pelaksanaan pilkada. Perencanaan pembanÂgunan antara pusat dan daerah, misalnya, diharapkan dapat lebih bersinergi. Dari segi biaya dan waktu juga ada efisiensi. Bila ada sengketa, penanganannya cukup di pengadilan sehingga tak mengÂganggu tahapan pilkada. Mereka yang terpilih bisa dilantik pula seÂcara serentak oleh presiden dan atau menteri dalam negeri, dan atau oleh gubernur.
Lepas dari itu, sulit dinafikan pula ke kurangannya. Pilkada serentak akan menciptakan banÂyak pejabat (pj) gubernur/bupati/ wali kota. Masa jabatannya yang cukup lama karena menanti wakÂtu pilkada serentak bisa memÂbuat kinerja pemda kurang efekÂtif. Penanganan keamanan juga menjadi persoalan serius bila kerusuhan akibat pilkada terjadi serentak di sejumlah daerah. SeÂjauh ini belum ada referensi peÂnyelenggaraan pilkada serentak di negara lain, di Indonesia ini merupakan hal pertama.
Pilkada serentak harus diduÂkung tekad kuat semua pihak, baik partai politik, KPU, BaÂwaslu, pemerintah /birokrasi, pemda, aparat penegak hukum maupun civil society. Mereka harus berusaha keras mewujudÂkan pemerintahan daerah yang baik. Nilai-nilai demokrasi (salÂing menghormati, saling memÂpercayai, saling mendengarkan, toleransi, egaliterianisme, partiÂsipasi) dan perilaku demokratis menjadi tolok ukur penting sukÂses pilkada. Penegakan hukum adalah keniscayaan. Tanpa itu, pilkada serentak hanya menimÂbulkan kekacauan dan ketidakÂstabilan sosial dan politik. Erat dengan itu, demokrasi yang subÂstantif perlu dibangun di semua daerah. Problemnya, teladan perilaku demokratis, baik yang ditunjukkan para elite, penyÂelenggara pemerintahan daerah maupun tokoh masyarakat masih minim.
Elite acapkali menjadi faktor penghambat proses demokratiÂsasi lokal. Banyak yang tak siap kalah dan menghalalkan segala cara. Sejauh ini kampanye lebih sebagai dagelan politik ketimbang janji tulus menyejahterakan rakyÂat. Rakyat masih dilihat sekadar objek pelampiasan kekuasaan, bukan pemilik pilkada.
Untuk mewujudkan harapan rakyat atas pilkada, ada yang perlu dicermati. Pertama, penÂegakan hukum harus hadir sejak tahap awal pilkada. Aturan main harus jelas, tegas, mengikat. TerÂmasuk sanksi/penalti bagi para pelanggar. Kedua, KPU daerah dan Bawaslu/Panwaslu daerah harus netral secara politik, proÂfesional, dan tidak partisan. KPU dan Bawaslu perlu mengantisipaÂsi parpol yang masih mengalami dualisme kepemimpinan/kepenÂgurusan. Bawaslu/ Panwaslu daerah harus proaktif, tak hanya menunggu laporan. Banyaknya penyimpangan oleh peserta pilkada tak semestinya terulang lagi. KPU dan Bawaslu harus siap, baik secara administratif, subÂstantif maupun anggaran.
Ketiga, partai politik harus solid dan tidak sedang friksi. MerÂeka harus mampu mengusung calon yang amanah yang tidak kontroversi. Keempat, pentingÂnya kesiapan dana pilkada dalam APBD.
Setiap pemda harus menÂdukung terlaksananya pilkada, termasuk pencairan dananya. Ketidaksiapan Papua, misalnya, mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015 dengan alasan waktunya bersamaan dengan acara keagamaan dan liburan seharusnya tak perlu terjadi. KeliÂma, sosialisasi pilkada harus maÂsif, efektif, dan substantif karena ini bagian integral pencerahan dan pendidikan politik warga loÂkal. Media massa, media sosial, dan lembaga survei harus ikut mendorong sosialisasi pilkada dan konsolidasi demokrasi lokal, ikut menyuarakan dan mencegah praktik buruk.
Semakin tinggi tingkat eduÂkasi masyarakat, akan semakin rasional mereka memilih calon kepala daerah. Praktik vote buyÂing yang muncul dalam pilkada harus dikurangi agar pilkada tak beralih dari rakyat untuk elite. Pascapemilu 2014 belum tercipta ruang yang lega bagi partai untuk menghadapi pemilu lagi. Apalagi konsentrasi dan energi para elite partai banyak terkuras mengÂhadapi dinamika dan kompetisi yang tak pernah henti di parleÂmen dan pergantian kepemimpiÂnan di internal partai yang juga tak mudah.
Kisruh berkepanjangan partai tertentu rentan memunculkan instabilitas politik bila tak dianÂtisipasi. Idealnya, parpol siap lahir batin menghadapi pilkaÂda serentak sehingga menjadi peserta yang tak menimbulkan masalah. Parpol juga harus taat tidak menerima mahar dalam pencalonan kepala daerah. PoliÂtik transaksional sudah saatnya tak dipraktikkan lagi bila partai konsisten menjaga integritas dan kualitas hasil pilkada serentak.
Keberhasilan pilkada serentak sangat ditentukan oleh persiapan matang stakeholdersterkait pilkaÂda. Mereka harus menunjukkan perilaku yang dewasa, bersinerÂgi, dan koordinatif. Stakeholders harus selalu menimbang dampak positif dan negatif perilakunya. Negara dan bangsa ini terlalu maÂhal dikorbankan hanya untuk keÂpentingan politik sempit. Dengan ini pilkada serentak yang akan dilaksanakan di 269 daerah diÂharapkan bukan saja dapat mengÂhasilkan kepala daerah yang baik, tetapi juga menjadi role model bagi pilkada serentak nantinya.
Sebaliknya, bila persiapanÂnya masih sangat kurang, sudah seharusnya pilkada serentak tak dipaksakan untuk berlangsung pada Desember tahun ini juga. Demi NKRI, konsolidasi atau kualitas demokrasi lokal dan proses pembelajaran demokrasi, penundaan bukanlah sebuah permaluan. (*)