Opini-1-Budi-GunawanPremis yang dilantunk­an Christoper Reeve tersebut terdengar bersahaja. Namun, di balik ketenangannya tersimpan gemuruh yang meng­hadirkan perspektif lain akan makna kepahlawanan.

Aktor pemeran Superman ini tak hendak menggugat makna heroisme yang selama ini kita hidupi. Ia sekadar menyimpul­kan nilainilai baru, dengan per­buatan biasa-biasa saja, namun menginspirasi jutaan lainnya. Baginya, pahlawan adalah orang biasa yang memiliki kekuatan un­tuk bertahan dan teguh mengha­dapi berbagai deraan.

Tesis Reeve ini terasa cukup relevanuntukdiketengahkanse­bagai bahan refleksi di momen Hari Bhayangkara ini. Dengan tugasnya sebagai penegak hukum dan penjaga kamtibmas, bagi se­bagian orang polisi dipandang sebagai pahlawan. Namun, tak sedikit juga yang menganggap se­baliknya.

Dua variabel ini, sebagaimana juga performa yang memberi ha­rapan maupun yang menurunk­an citra, selalu mewarnai perjala­nan Polri. Diskresi yang dimiliki dalam penegakan hukum me­nyediakan banyak peluang bagi polisi untuk menjadi pahlawan dengan bertindak progresif seb­agai penjaga keadilan. Namun, di sisi lain kewenangan tersebut juga dapat menjerumuskan polisi ke lembah kenistaan bila meny­elewengkannya. Profesi kepoli­sian memang sarat dengan ironi dan kontradiksi.

Di antara dualisme inilah polisi harus meniti tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhay­angkara negara. Hanya sakrali­tas pengabdian yang membuat seorang polisi sanggup bertahan dengan teguh menghadapi berb­agai tantangan, dan inilah yang dalam kategori Christoper Reeve di atas membuat polisi layak dise­but sebagai pahlawan. Karena diskresi yang melekat, kerja poli­si menjadi tak mengenal batas, 24 jam sehari, baik siang maupun malam, dinas maupun tidak.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Lingkungan kerja polisi juga bukanlah ruang ber-AC yang nya­man seperti penegak hukum lain­nya. Di jalanan yang terik dan berdebu, polisi harus berhada­pan dengan penjahat yang siap menghunus badik. Celakanya, sekalipun berhadapan dengan para kriminal, polisi dituntut un­tuk menghormati hak asasi mer­eka dan siap dijadikan bulanbu­lanan.

Dilema memang selalu me­warnai tugas polisi. Petugas ke­polisian di lapangan yang bukan profesor diharuskan bertindak seketika, tanpa sempat memba­ca referensi, tanpa ruang untuk berpikir. Jika tindakannya benar, polisi tak akan mendapat aplaus. Bila tindakan yang ditempuh ke­liru, polisi bisa kehilangan nyawa atau berhadapan dengan hukum. Ibarat buah simalakama, satu kaki polisi berada di penjara dan kaki lainnya ada di kuburan.

Dengan pertaruhan semacam ini tak adil rasanya bila orang hanya pandai mencerca kinerja kepolisian, tanpa memahami berbagai kendala yang dihadapi profesi itu sendiri. Publik hanya menilai apa yang tampak di per­mukaan dan berangkat dari pra­sangka. Hal ini tentu saja akan mereduksi kompleksitas profesi kepolisian. Herman Goldstein (1977) dalam Policing a Free So­ciety telah mengingatkan betapa tidak mudahnya mendefinisikan peranan polisi.

Hal ini juga diamini oleh Da­vid H Bayley (1994) melalui Police for the Future yang menyatakan bahwa penilaian terhadap peran polisi sering diwarnai oleh mitos dan stereotip. Tingginya tingkat persentuhan polisi dengan ma­syarakat, dibanding dengan dera­jat persentuhan profesi penegak hukum lainnya, membuat rentan terjadi friksi. Selain itu, polisi juga tak bisa menghindar dari pandangan sinis masyarakat.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Konsekuensinya, prestasi polisi akan dianggap sebagai se­buah kewajaran, sedangkan keg­agalan akan melahirkan deraan yang datang bertubi-tubi. Itulah sebabnya lahir pameo yang me­nyebut polisi sebagai profesi yang jasa-jasanya tak terhimpun dan dosa-dosanya yang tak be­rampun. Sebagai bhayangkara negara dengan pengabdian yang tak mengenal batas, deraan ini diterima sebagai kritik yang di­landasi kecintaan masyarakat ter­hadap polisi.

Karena itu, jika polisi mampu menyikapi deraan ini sebagai kritik yang membangun melalui profe­sionalismenya, seperti kata Reeve di atas, polisi mampu memenuhi harapan masyarakat. Tantangan terbesar bagi segenap jajaran Polri di usia yang telah memasuki 69 tahun ini adalah menjadikan Polri semakin profesional sesuai hara­pan masyarakat. Polri memiliki kekuatan untuk meraih semua itu. Kekuatan yang berasal dari berbagai deraan yang telah men­empa Polri selama ini. Seperti kata George Kirkham, polisi adalah ma­nusia biasa yang luar biasa.

Dengan berperan sebagai penegak hukum dan keadilan, dapat dipastikan friksi dengan masyarakat akan dapat dimini­malisasi dan Polri akan dicintai masyarakat. Fungsi ”ultima ” dari hukum yaitu menciptakan keadi­lan dan kesejahteraan dapat ter­penuhi.

Hal ini tentu dapat menjadi kado istimewa bagi masyarakat di usia Polri yang ke- 69, sesuai dengan tema yang diusung, ”Me­lalui Revolusi Mental, Polri Siap Memantapkan Soliditas dan Pro­fesionalisme Guna Mendukung Pembangunan Nasional.” Dirga­hayu Polri!!!

Oleh: BUDI GUNAWAN
Wakapolri (*)

============================================================
============================================================
============================================================