SETIAP Ramadan, banyak masjid dan musala memutar rekaman mengaji Al- Quran untuk menemani saat sahur dan menjelang berbuka puasa. Tujuannya ingin memberi kekhusyukan dan mendapatkan berkah pada bulan puasa.
Oleh: JUNAIDI ABDUL MUNIF
Pada Ramadan tahun ini, Wakil Presiden JuÂsuf Kalla ( JK) mengimÂbau masjid-masjid tidak memutar rekaÂman lantunan ayat Al-Quran. TaÂhun lalu, JK, yang menjabat Ketua Dewan Masjid Indonesia, pernah melontarkan kritik azan subuh yang menggunakan pengeras suÂara terlalu keras. Bahkan masjid-masjid seolah berlomba menyuÂarakan azan subuh.
Anjuran Jusuf Kalla menuai banyak kecaman. Ada yang menÂganggap JK melarang orang menÂgaji. Di negeri yang masih menÂgidap euforia kebebasan pers, pernyataan JK mudah dipelintir.
Iwan Fals, dalam lagu Si Tua Sais Pedati (Sarjana Muda, 1981), menyinggung maraknya pengguÂnaan teknologi dan mesin dalam kehidupan manusia, termasuk rekaman suara azan. Katanya, seakan suara azan yang dikasetÂkan, sementara itu sang bilal (gaÂwat) pulas mendengkur. Lagu itu menjadi satire Iwan Fals terhadap gejala pemutaran kaset azan dan ayat Al-Quran. Tugas bilal dan qari (pembaca Al-Quran) telah diÂgantikan oleh rekaman.
Memutar rekaman bacaan Al-Quran “dilegitimasi†teks IsÂlam. Kaum muslim lekat dengan hadis Nabi yang mengatakan, pahala orang yang mendengar suara mengaji sama dengan paÂhala orang mengaji. Tentu yang dimaksud tidak hanya mendenÂgar sambil lalu, tapi juga menÂdengar dengan memperhatikan apa yang dibaca.
Di masyarakat beredar anÂekdot, pada hari kiamat, yang masuk surga itu tape recorder, kaset, dan MP3. Sebab, benda-benda itulah yang rajin mengaji. Sedangkan manusia telah merasa puas hanya dengan memutar MP3 Al-Quran, sambil membalas pesan BBM, menjelajah Internet, berbalas komentar di Facebook, dan melakukan sederet kegiatan lain.
Cendekiawan Martin van BruÂinessen (2013) menyimpulkan bahwa masyarakat menganggap fenomena pemutaran kaset menÂgaji dan MP3 dianggap sebagai propaganda dari Yahudi. TujuanÂnya untuk menjauhkan umat IsÂlam dari tradisi mengaji secara langsung. Kebetulan pula, maraÂknya kaset ngaji berbarengan dengan riuhnya isu anti-Zionis di Indonesia.
Tampaknya kritik Jusuf Kalla mesti kita letakkan pada kesimÂpulan bahwa lebih baik mendenÂgar secara langsung orang menÂgaji ketimbang melalui rekaman. Dalam suasana halaqah seperti itu, terjadi hubungan manusia yang paling genuine, pertemuan antarmanusia yang tidak memerÂlukan alat bantu apa pun. Orang berkumpul mendaras Al-Quran, bergantian membaca dengan keras, saling menyimak, dan mengingatkan kalau ada bacaan yang salah, mungkin hanya kita temui setelah salat tarawih. MerÂeka adalah orang yang masih seÂtia tadarus dengan cara “konvenÂsionalâ€.
Kita tampaknya perlu memÂbaca hadis lain bahwa, dalam perkumpulan orang yang saling mendaras kitabullah, Allah akan menurunkan ketenangan dan rahmat. Mereka dikelilingi malaiÂkat, serta Allah akan menyebut nama mereka di sisi-Nya. Begitu indah manfaat dari mengaji berÂsama secara langsung. (*)