Perlu menjadi “gila†unÂtuk memimpin KPK. Bisa saja hal itu sifatÂnya subyektif, tapi buÂkan sekadar asumsi. KPK menjadi “mata-mata†yang bertugas mengawasi kinerja penÂegak hukum dan penyelenggara negara agar tidak menyimpang dari undang-undang dengan melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang berpotensi korupsi. Ancaman terÂhadap KPK datang setiap saat. TiÂdak jarang, KPK mendapat perlaÂwanan balik dari oknum koruptor dan antek-anteknya yang merasa terusik dengan kerja KPK (corrupÂtor fight back).
Ketika KPK mulai masuk ke episentrum kekuasaan, baik dalam eksekutif maupun legislaÂtif, serangan berlapis ditujukan kepada KPK, dari menghilangÂkan penyadapan dalam revisi UU KPK, revisi RUU KUHAP-KUHP yang ingin menghilangkan koÂrupsi sebagai delik khusus, hingga kriminalisasi terhadap pimpinan, penyidik, dan pegawai KPK. NaÂmun, tidak seperti pendahuÂlunya, KPK membuktikan diri mampu bertahan di tengah genÂcarnya upaya pelemahan, hingga ancaman pembubaran. Ditopang masyarakat sipil, KPK melawan segala upaya pelemahan melalui rangkaian skenario berlapis.
Bambang Widjojanto dalam kesempatan diskusi di Makassar mengungkapkan ada tujuh tanÂtangan KPK ke depan. Pertama, “corruptor fights backâ€. Muncul perlawanan dari gangs of corrupÂtor, beneficiaries, gate keeper, dan mereka yang memiliki dana tak terbatas, ditopang oleh jarinÂgan politik yang kuat serta punya akses luas dalam kekuasaan dan media.
Kedua, dasar eksistensi KPK terancam mengalami delegitimaÂsi. Sudah lima belas kali kewenanÂgan KPK diuji materi (UU KPK) di Mahkamah Konstitusi. Ketiga, adÂanya revisi UU Tipikor, UU KPK, dan KUHAP-KUHP yang tidak sepenuhnya untuk kepentingan pemberantasan korupsi. KeemÂpat, destruksi konsolidasi SDM di KPK, dengan ditariknya penyidik KPK, dan si penyidik harus berÂasal dari lembaga penegakan huÂkum tertentu.
Kelima, politisasi kinerja KPK. Kasus yang ditangani dipolitiÂsasi seolah hanya untuk kepentÂingan kelompok tertentu serta dinafikannya kerja KPK dalam membangun sistem dan budaya antikorupsi. Keenam, modus opeÂrandi korupsi semakin canggih, memakai seluruh sumber daya dan akses. Ketujuh, menghanÂcurkan kredibilitas KPK personal character assassination melalui cyber army dan jaringan media.
Secara normatif, tidak sulit bagi panitia seleksi KPK untuk menemukan pimpinan KPK sesÂuai dengan kriteria undang-unÂdang. Pasal 29 UU KPK menyeÂbutkan sepuluh kriteria calon pemimpin KPK, antara lain ketÂakwaan, tidak pernah melakukan perbuatan tercela; cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; serta tidak menjadi penguÂrus salah satu partai politik.
Meski di atas kertas kriteria tersebut dianggap cukup, keÂnyataannya belum tentu teruji di lapangan. Selain kriteria di atas, seorang pemimpin KPK mesti meÂmiliki keberanian dalam menguÂsut korupsi tanpa pandang bulu. Karena, tanpa keberanian, KPK hanya ibarat singa tanpa taring, mengaum tapi tak bisa menggigit.
Dibanding pendahulunya, KPK mampu menghapus miÂtos penegakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Beberapa penegak hukum dan petinggi negÂara dijebloskan ke tahanan kareÂna korupsi. Dalam kasus korupsi kepolisian, KPK berani menetapÂkan seorang jenderal polisi aktif sebagai tersangka, bahkan ia diÂjerat pasal TPPU.
Dalam kasus Hambalang, KPK kembali menetapkan menteri akÂtif sebagai tersangka korupsi. Itu belum dihitung dengan jumlah anggota DPR, kepala daerah, penÂgusaha, dan penyelenggara negÂara lain yang sudah merasakan dinginnya lantai penjara. Ketika mengusut kaus korupsi HamÂbalang, Century, dan BLBI, KPK bahkan mampu masuk ke poros kekuasaan dengan mengusut ketÂerlibatan kader partai penguasa.
KPK adalah “anak kandung†reformasi yang diserahi tanggung jawab amat besar: memberanÂtas korupsi yang sudah beranak-pinak selama lebih dari enam dekade. KPK bukan satu-satunya lembaga antikorupsi yang perÂnah dibentuk. Sejumlah sumber mencatat setidaknya ada tujuh lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk sebelum KPK.
KPK dihadapkan pada tanÂtangan kejahatan korupsi yang lebih canggih dan masif pasca- Orde Baru (Orba). Kalau pada masa Orba praktek korupsi terÂjadi karena semata-mata ditopang rezim, korupsi pasca-Orba lebih sistematis. Mereka menyusup ke dalam birokrasi, mempengaruhi regulasi, membangun oligarki dan dinasti, parpol di parlemen ramai-ramai membajak uang negÂara dengan modus dana aspirasi, serta membajak institusi penegak hukum.
Jadi, melihat beratnya tugas KPK, seorang pemimpin KPK mesti menjadi “manusia setengah dewa†yang berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Dan harapan itu melekat di pundak sembilan Srikandi pansel pimpiÂnan KPK saat ini. Akan menjadi apa KPK ke depan, ini bergantung pada ketelitian dan kecakapan mereka dalam memilih figur.
Oleh: WIWIN SUWANDI
Koordinator Riset Anti Corruption Committee/ACC Sulawesi (*)