PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2015 ini resmi memulai pelaksanaan program Wajib Belajar 12 Tahun.
Oleh: AMICH ALHUMAMI
Dijelaskan dengan sanÂgat gamblang di dalam Rencana PembanguÂnan Jangka MenenÂgah Nasional (RPJMN) 2015-2019, melalui program ini pemerintah berkomitmen untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak usia 7-18 tahun sampai jenjang menengah. Karena itu, Wajib Belajar 12 Tahun harus dimaknai sebagai upaya peningkaÂtan layanan pendidikan mulai dari SD/MI sampai SMA/ SMK/MA.
Program Wajib Belajar 12 TaÂhun merupakan upaya perluasan dan pemerataan pendidikan. Kita tahu, bahwa program Wajib BeÂlajar Sembilan Tahun yang sudah dilaksanakan sejak 1994 telah berhasil meningkatkan partisiÂpasi pendidikan anak-anak usia 7-15 tahun. Peningkatan itu tecerÂmin pada angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs yang telah menÂcapai 96,9% (Kemendikbud 2013). Dengan keberhasilan ini, cukup beralasan bila pemerintah beriniÂsiatif untuk memulai program WaÂjib Belajar 12 Tahun, terutama di daerah-daerah yang sukses melakÂsanakan Wajib Belajar Sembilan Tahun.
Tujuan Utama
Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun dinilai penting untuk memÂberikan layanan pendidikan bagi para lulusan SMP/MTs sesuai denÂgan kebutuhan individual setiap penduduk Indonesia. Program ini bertujuan utama untuk: (i) memperluas pemerataan pendiÂdikan dan mewujudkan keadilan sosial di bidang pendidikan; (ii) mengurangi kesenjangan capaÂian pendidikan tingkat menenÂgah antarkelompok masyarakat berstatus ekonomi berbeda; (iii) meningkatkan kualitas dan daya saing bangsa melalui pengembanÂgan pengetahuan, keahlian, serta keterampilan bagi penduduk usia muda; dan (iv) mempersiapkan anakanak didik dengan landasan keilmuan yang lebih baik untuk melanjutkan ke jenjang pendidiÂkan tinggi.
Selain itu, Wajib Belajar 12 TaÂhun juga bernilai strategis, terutaÂma untuk (i) menciptakan lapisan critical mass-suatu kelompok maÂsyarakat berpendidikan menenÂgah ke atas–sebagai basis sosial untuk membangun masyarakat demokratis, toleran, dan inkluÂsif; dan (ii) mempersiapkan penÂduduk usia produktif memasuki masa transisi antara meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi atau langsung masuk ke pasar kerja.
Menurut Bank Dunia (2012), satu dari tiga lulusan sekolah menengah meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi, selebihnya meÂmilih bekerja.Bagi anak-anak didik yang memilih untuk memasuki pasar kerja, Wajib Belajar 12 TaÂhun akan membekali mereka denÂgan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan yang lebih baik seÂhingga diharapkan lebih produktif di dunia kerja.
Kesenjangan Partisipasi
Wajib Belajar 12 Tahun meruÂpakan program strategis untuk melakukan percepatan dalam upaya meningkatkan partisipasi pendidikan pada jenjang menenÂgah, yang ditargetkan sekitar 92% pada 2020. Sejalan dengan upaya perluasan dan pemerataan pendiÂdikan menengah, sangat penting melihat disparitas partisipasi penÂdidikan antar kelompok masyaraÂkat yang tecermin pada angka parÂtisipasi sekolah (APS) anak-anak usia 16-18 tahun.
Data Susenas 2012 menunjukÂkan kesenjangan partisipasi penÂdidikan antara pen duduk kaya dan miskin sangat mencolok. APS penduduk usia 16-18 tahun pada kelompok kuantil pertama (20% termiskin) baru mencapai 42,9%, sementara pada kelompok kuantil lima (20% terkaya) sudah mencaÂpai 75,3%. Fakta itu menjadi dasar yang sangat kuat bagi pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun, yang diÂmaksudkan untuk meningkatÂkan layanan pendidikan jenjang menengah, terutama untuk siswa-siswa dari keluarga tidak mampu sehingga kesenjangan partisipasi pendidikan dapat dikurangi.
Perlu juga dilihat kesenjanÂgan partisipasi pendidikan anÂtarwilayah–antarprovinsi, dan antarkabupaten di dalam satu provinsi. Penting dicatat, maÂsih terdapat sebanyak sembilan provinsi dan 177 (32,5%) kabupatÂen dengan angka partisipasi murni (APM) jenjang pendidikan dasar- -SMP/MTs–di bawah rata-rata naÂsional (76,6%). Sekadar menyeÂbut sebagian saja, Sukabumi dan Pangandaran ( Jawa Barat), yakni 54,28% dan 56,85%; Sampang dan Bangkalan (Jawa Timur), yakni 54,56% dan 63,46%; Bangka SeÂlatan dan Bangka Tengah (Bangka Belitung), yakni 41,73% dan 63, 05 % ; Waropen dan Puncak (Papua), yakni 24,87% dan 24,92% (KemenÂdikbud 2013). Tentu saja, kabuÂpaten dengan APM pendidikan dasar yang masih rendah ini haÂrus didorong untuk menuntaskan Wajib Belajar Sembilan Tahun, agar pada waktunya siap melakÂsanakan Wajib Belajar 12 Tahun.
Kualitas dan Relevansi
Upaya mengatasi kesenjangan partisipasi pendidikan-antarkeÂlompok sosial-ekonomi dan anÂtarwilayah–jelas merupakan tanÂtangan serius dalam pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun. Namun, program ini tak akan punya signifiÂkansi sosial-ekonomi bila tak disÂertai upaya peningkatan mutu dan relevansi. Sungguh, perluasan dan pemerataan pendidikan menenÂgah harus dibarengi dengan penÂingkatan kualitas dan relevansi agar Wajib Belajar 12 Tahun dapat memberi manfaat sosial-ekonomi yang tinggi bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan berkembangÂnya perekonomian nasional yang tecermin pada kegiatan usaha/inÂdustri yang terus tumbuh sehingÂga kebutuhan tenaga kerja makin meningkat.
Dengan pendidikan yang lebih baik sampai jenjang menengah diharapkan pasokan tenaga kerja menjadi lebih berkualitas. Data Sakernas (2013) menunjukkan, seÂbagian besar (61,32%) tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SMP ke bawah. Itu berarti sangat minim pengetahuan dan rendah keterampilan. Dengan perekonoÂmian yang semakin kompetitif, dunia usaha/ dunia industri nisÂcaya membutuhkan tenaga kerja yang kompeten untuk mendukung persaingan usaha. Karena itu, pendidikan menengah, terutama SMK harus lebih mengutamakan bidang-bidang keterampilan dan keahlian khusus yang dibutuhkan dunia usaha/dunia industri, agar lebih cepat terserap di pasar kerja. Daya serap yang tinggi di dunia kerja bagi lulusan sekolah menenÂgah merupakan indikator utama relevansi pendidikan menengah terhadap dunia usaha/dunia inÂdustri.
Strategi Pelaksanaan
Agar Wajib Belajar 12 Tahun dapat dilaksanakan dengan baik, perlu strategi implementasi yang dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut, yakni (1) pemetaÂan kesiapan daerah–provinsi dan kabupaten/kota–serta permintaÂan layanan pendidikan menengah di setiap wilayah; (2) penyediaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan (e.g.unit sekolah baru, ruang kelas baru, perpustakaan, dan laboratorium) dengan meÂmanfaatkan berbagai alternatif sumber pembiayaan yang berÂasal dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan swasta (CSR).
Selain itu, (3) penyediaan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu tersebar merata di seluÂruh wilayah; (4) pengembangan kurikulum pendidikan menengah yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan relevan dengan dinamika industri dan pasar kerja, termasuk (5) penyediaan biaya operasional sekolah yang memaÂdai; (6) penyediaan beasiswa bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, bantuan untuk daerah tertinggal, terpencil, dan perbaÂtasan.
(7) pengembangan sistem penÂjaminan mutu pendidikan menenÂgah untuk menjaga kualitas penÂdidikan; dan (8) pengembangan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan program pendidikan menengah didasarkan pada delaÂpan standar nasional pendidikan, sehingga semua satuan pendidiÂkan menengah dapat berkinerja baik dan mencapai standar kualiÂtas yang ditetapkan. Wajib Belajar 12 Tahun tanpa disertai jaminan mutu hanya akan melahirkan luÂlusan-lulusan sekolah menengah tanpa pengetahuan dan keterÂampilan yang memadai sehingga potensial memicu munculnya masalah-masalah sosial baru di masyarakat.
Antropolog-Penekun Kajian Pendidikan;
Bekerja di Direktorat Pendidikan Kementerian PPN/Bappenas