Oleh karena itu, tidak heran jika hal ini menjadi pemikiran Perdana Menteri InÂggris David CamerÂon. Dalam kunjungan ke Jakarta, berdialog dengan lima figur Islam Indonesia (Ketua Umum PP MuÂhammadiyah Din Syamsuddin, tokoh NU Alwi Shihab, Direktur Eksekutif Wahid Institute Yenny Wahid, Ketua Pengurus Masjid Sunda Kelapa Aksa Mahmud, dan penulis artikel ini), Cameron menyatakan ingin mempelajari kenapa Islam Indonesia menolak ekstremisme dan radikalisme.
PM Cameron menyebut, dari 255 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 500 orang yang ikut NegaÂra Islam di Irak dan Suriah (NIIS). â€Sementara Inggris yang memiÂliki hanya sekitar 2,5 juta Muslim, lebih dari 1.000 orang bergabung dengan NIIS. Apa kunci keberÂhasilan Indonesia mengatasi paÂham (dan gerakan) radikalisme; meredam meluasnya pengaruh dan keterlibatan warga Indonesia dengan paham NIIS?†(Kompas, 29/7/2015).
Islam Nusantara, Islam Indonesia
Tak ragu lagi, salah satu kunci utama keberhasilan itu adalah eksistensi dan hegemoni ormas-ormas Islam wasathiyah (â€jalan tengahâ€) yang tersebar di seluÂruh Indonesia. Dua ormas Islam Indonesia terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan MuhammadiÂyah, kini sedang melaksanakan hajatan besar; NU dengan mukÂtamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur (1/8/2015), dan MuhamÂmadiyah dengan muktamar ke-47 di Makassar (3/8/2015). Muktamar NU dan Muhammadiyah tak lain merupakan momentum penguaÂtan Islam wasathiyah untuk Islam berkemajuan dengan peradaban Islam rahmatan lil ’alamin—rahÂmat bagi alam semesta.
Islam wasathiyah yang jadi paradigma dan praksis pokok Muhammadiyah dan NU telah menjadi tradisi panjang Islam NuÂsantara. Istilah â€Islam Nusantara†dalam dunia akademis mengacu kepada â€Southeast Asian Islam†yang terdapat di wilayah Muslim Indonesia, Malaysia, Brunei, PaÂtani (Thailand selatan), dan MinÂdanau (Filipina selatan).
Wilayah Islam Nusantara dalam literatur prakolonial diseÂbut â€negeri bawah angin†(lands below the wind). Lebih spesifik dalam literatur Arab sejak akhir abad ke-16, kawasan Islam NuÂsantara disebut â€bilad al-Jawiâ€, negeri â€Muslim Jawiâ€â€”yaitu Asia Tenggara. Umat Muslimin NusanÂtara biasa disebut sebagai â€ashab al-Jawiyyin†atau â€jama’ah al- Jawiyyinâ€. Wilayah Islam NusanÂtara atau bilad al-Jawiyyin adalah salah satu dari delapan ranah reÂligio-cultural Islam. Tujuh ranah agama-budaya Islam lain adalah Arab, Persia/Iran, Turki, Anak Benua India, Sino-Islamic, Afrika Hitam, dan Dunia Barat. Meski memegangi prinsip pokok dan ajaran yang sama dalam akidah dan ibadah, setiap ranah memiÂliki karakter keagamaan dan buÂdayanya sendiri.
Validitas Islam Nusantara tiÂdak hanya secara geografis-kulÂtural. Keabsahannya juga pada ortodoksi Islam Nusantara yang terdiri atas teologi Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf Al- Ghazali. Kepaduan ketiga unsur ortodoksi ini membuat Islam NuÂsantara jadi wasathiyah; teologi Asy’ariyah menekankan sikap moderasi antara wahyu dan akal, fikih Syafi’i bergandengan dengan tasawuf amali/akhlaqi membuat ekspresi Islam jadi inklusif dan toleran.
Ortodoksi Islam Nusantara dengan kepaduan ketiga unÂsur tersebut terbentuk menjadi tradisi yang terkonsolidasi, maÂpan dan dominan sejak abad ke- 17, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah ahlus sunnah wal-jamaah (Sunni). Meski praktis hampir seluruh Muslim IndoneÂsia adalah pengikut ahlus sunnah wal-jamaah, terdapat perbedaan tekanan. NU dengan penekanan pada tradisi ulama menyebut diri pengikut â€Aswajaâ€; istilah ini kemudian jadi brand name NU. Sementara Muhammadiyah sebÂagai pengikut ahlus sunnah wal-jamaah lebih menekankan pada aspek modernisme-reformisme dan ijtihad.
Pasca Perang Dunia II, baik secara istilah maupun substansi, Islam Nusantara agaknya hanya valid untuk Indonesia. Islam NuÂsantara kini harus dipahami sebÂagai Islam Indonesia. Perbedaan posisi dan hubungan Islam denÂgan negara dan politik membuat ekspresi Islam di negara-negara Asia Tenggara menjadi berbeda; apakah tetap inklusif atau malah menjadi eksklusif, misalnya.
Dalam konteks itu, Islam tidak menjadi agama resmi atau agama negara di Indonesia. Oleh karena itu, Islam Indonesia bukan menÂjadi bagian dari politik dan kekuaÂsaan. Sementara di Malaysia, IsÂlam menjadi agama resmi negara dan karena itu ia menjadi bagian integral kekuasaan. Karena itu, di Malaysia, hanya Islam yang boÂleh disiarkan di ranah publik dan bahkan nama â€Allah†hanya boleh digunakan kaum Muslim. SemenÂtara di Indonesia semua agama dapat tampil di ranah publik dan, selain kaum Muslimin, umat KrisÂtiani juga memakai â€Allah†untuk menyebut Tuhan.
Berkemajuan bagi Peradaban
Islam Indonesia, seperti diwakili antara lain oleh NU dan Muhammadiyah, memiliki hampir seluruh potensi untuk berkemajuan guna mewujudkan peradaban rahmatan lil alamin. Modal terbesar untuk berkemaÂjuan adalah sifat dan karakter ormas-ormas Islam yang indepenÂden vis-a-vis negara dan kekuaÂsaan. Mereka punya tradisi tak tergantung pada—apalagi menÂjadi—alat kekuasaan dengan memÂbiayai dan mengatur diri sendiri. Modal besar lain adalah kekayaan dan keragaman lembaga yang dimiliki NU dan Muhammadiyah mulai dari masjid dan mushala, sekolah, madrasah, pesantren, perguruantinggi, rumah sakit dan klinik, panti penyantunan sosial, koperasi, hingga usaha ekonomi lain. Tak ada bagian dunia Muslim lain yang memiliki ormas dengan karakter dan kekayaan lembaga seperti Muhammadiyah dan NU.
Banyak kalangan asing sejak akhir 1980-an, semisal Fazlur Rahman, Guru Besar Universitas Chicago, AS, melihat potensi beÂsar Islam Indonesia untuk berdiri terdepan memajukan peradaban Islam global. Dengan peradaban Islam wasathiyah, Islam IndoneÂsia dapat memberikan kontribusi bagi peradaban dunia lebih damai dan harmonis. Harapan semacam itu pada Islam Indonesia kian meÂningkat di tengah berlanjutnya konflik di negara-negara Muslim di dunia Arab, Asia Selatan, Asia Barat, dan Afrika. Untuk itu, NU dan Muhammadiyah beserta orÂmas-omas Islam wasathiyah lain tidak hanya perlu meningkatkan pemikiran dan amal usaha di dalam negeri, tetapi juga mesti lebih ekspansif menyebarkan IsÂlam wasathiyah ke mancanegara. Dengan begitu, Islam Indonesia dapat berdiri paling depan dalam mewujudkan Islam sebagai rahÂmatan lil alamin.
# Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Ketua Asian Muslim Action Network (AMAN), Bangkok, Thailand