Oleh: ANTON HENDRANATA
Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia (Tbk)
Daya ledak yuan ini begitu dahsyat, hampir semua mata uang dunia jatuh lunglai dengan depresiasi yang begitu tajam. Dalam waktu singkat, sebagian besar mata uang, termasuk rupiah, beÂrada dalam zona undervalue (nilai mata uang di bawah nilai fundaÂmental ekonominya). Kehebohan yuan seakan mengubur diskusi panjang-hampir setahun-tentang kenaikan suku bunga AS. Dunia sekarang terfokus dan terserap energinya serta sibuk menghitung apa dampak pelemahan yuan terÂhadap perekonomian global dan regional. Situasi ini menimbulkan pertanyaan kritis: berapa besar lagi Tiongkok akan melemahkan yuan? Wacana perang mata uang (currency war) pun kembali munÂcul ke permukaan.
Soal Daya Saing
Menarik disimak, ada perbeÂdaan gaya pendekatan kebijakan ekonomi negara maju-terutama AS-dibandingkan Tiongkok. AS cenderung mengomunikasikan dan selalu melihat reaksi pasar ketika mau mengambil kebiÂjakan, seperti quantitative easÂing (QE), tapering off, dan yang terakhir rencana kenaikan suku bunga The Fed. Dengan harapan, negara lain dan investor dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan baik. Walaupun pada kenyataannya, setiap kebijakan moneter AS cenderung membuat pasar finansial dan valas menjadi berfluktuatif. Sementara TiongÂkok yang kental dengan budaya Asia, cenderung diam, senyap dan tenang, serta sedikit bicara. Tiba-tiba saja yuan didevaluasi yang menghebohkan peta perÂekonomian global.
Melihat respons dunia atas aksi Tiongkok ini, tersirat jelas dunia melegimitasi kiprah TionÂgkok sebagai negara yang sangat berpengaruh di dunia. Saya kira sangat wajar karena perekonomiÂan Tiongkok termasuk ketiga terÂbesar dunia, dengan total produk domestik bruto sebesar 10.360 miliar dollar AS, di bawah AS dan Eropa masing-masing 17.869 miliar dollar AS dan 13.402 miliar dollar AS. Sementara Jepang hanÂya 44 persen dari total perekonoÂmian Tiongkok.
Supernya Tiongkok juga terÂlihat dari cadangan devisa yang paling besar di dunia, yaitu 3.651 miliar dollar AS (32 persen dari total cadangan devisa dunia), diiÂkuti Jepang yang hanya sepertigÂanya (1.187 miliar dollar AS). DitÂambah lagi, Tiongkok memegang surat utang negara adidaya AS sebesar 1.270 miliar dollar AS (9,7 persen dari total utang AS).
Pengalaman krisis ekonomi global 2008 menunjukkan beÂtapa digdayanya Tiongkok sebÂagai penyangga perekonomian global agar tak terperosok terlalu dalam. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok masih tumbuh positif 9,2 persen pada 2009. Bahkan, pada tahun pemulihan perekoÂnomian global, Tiongkok masih tumbuh dua digit, yaitu 10,4 persen pada 2010. Sebaliknya, perÂekonomian negara Barat, seperti AS, Eropa, dan Rusia, mencatat pertumbuhan negatif, masing-masing 2,8 persen, 4,4 persen, dan 7,8 persen pada 2009. BeÂgitu juga perekonomian di negara Asia, seperti Jepang (-5,5 persen), Singapura (-0,6 persen), dan MaÂlaysia (-1,5 persen).
Melihat krisis ekonomi global ini, sangat kasatmata terlihat Tiongkok menjadi dewa penyÂelamat dunia dan peranannya sangat berpengaruh, bahkan mungkin sudah mulai mengambil peran penting AS di kancah perÂekonomian global.
Dalam perkembangannya, Tiongkok merasa perekonomianÂnya mulai kurang sehat jika tetap mempertahankan pertumbuÂhan tinggi. Akhirnya, perubahan paradigma menuju era stabilisasi dan berkesinambungan dipuÂtuskan oleh Tiongkok. Di sinilah awalnya yuan dibiarkan menguat secara gradual dan perlahan seÂjak pertengahan 2010, di mana sebelumnya dijaga pergerakanÂnya di kisaran 6,8 yuan per dollar AS. Dari sisi kebijakan moneter juga terlihat ketat untuk menÂgerem pertumbuhan ke titik kesÂeimbangan baru yang lebih berÂkesinambungan.
Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi Tiongkok turun lebih cepat dari perkiraan. Hanya dalam kurun tiga tahun, pertumbuhan ekonomi turun hampir 2 persen dari 9,3 persen pada 2011 menjadi 7,4 persen pada 2014. Ini diperkirakan akan terus berlanjut menuju level di bawah 7 persen pada 2016. Jika ini dibiarkan, tingkat pengangÂguran di Tiongkok berpotensi menukik tajam. Kondisi ini tentu sangat berisiko terhadap stabiliÂtas sosial dan politik pemerintahÂan “Tirai Bambuâ€.
Berdasarkan indeks Real EffecÂtive Exchange Rate yang berada di level 130, produk ekspor Tiongkok sangat tidak kompetitif dibandingÂkan negara lain. Dengan kata lain, produk Tiongkok saat ini jauh lebih mahal 30 persen dibandingÂkan partner dagangnya. Alhasil, pertumbuhan ekspor Tiongkok tergerus tajam ke 6 persen pada 2014, jauh di bawah kondisi norÂmal di atas 20 persen.
Atas dasar kondisi di atas, tampaknya kebijakan moneter dan fiskal Tiongkok sudah tak mampu menahan kemungkinan pertumbuhan yang cenderung melambat. Akhirnya, dipilihlah devaluasi yuan yang sekarang kita hadapi bersama, yang sangat mengagetkan pasar finansial. Jika target utama depresiasi yuan meÂnaikkan daya saing produk TionÂgkok, kemungkinan yuan masih memerlukan depresiasi paling tiÂdak 5 persen lagi. Ini artinya risiko pelemahan mata uang negara lain (termasuk rupiah) tak dapat diÂhindarkan lagi walaupun probaÂbilitas kenaikan suku bunga acuan AS akan mengecil tahun ini.
Menunggu Aksi Nyata
Menghadapi situasi seperti ini, Indonesia akan sulit lepas dari dampak negatifnya (termaÂsuk negara di kawasan regional). Suka atau tidak suka, kita harus siap menghadapi risiko pertumÂbuhan ekonomi domestik yang lebih lambat, gejolak pasar finanÂsial, pasar obligasi dan valas yang mungkin lebih besar kadarnya.
Pengalaman 2008, Indonesia cukup berhasil keluar dari krisis ekonomi global. Perekonomian bisa tumbuh 4,7 persen pada 2009. Berkaca dari pengalaman ini, saya kira Indonesia juga akan mampu mengatasi situasi yang sangat menantang ini. PeromÂbakan kabinet sudah dilakukan Presiden, terutama di bidang ekoÂnomi. Ini menunjukkan pemerinÂtah sangat peduli dengan kondisi perekonomian Indonesia yang hanya tumbuh 4,7 persen pada semester I-2015. Harus disadari dan jangan berharap berlebihan, perombakan kabinet ini mungkin memang diperlukan untuk meÂnambah aura positif yang sebelÂumnya negatif, tapi belum cukup mengatasi masalah struktural yang sudah berakar lama secara instan.
Pelambatan ekonomi sudah di depan mata, rupiah juga terliÂhat terus melemah, pasar saham dan obligasi pun dalam tekanan. Jadi, yang sangat dibutuhkan masyarakat, pelaku usaha, dan investor ialah menunggu aksi riil pemerintah dalam memitigasi risiko buruknya perekonomian bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). KeÂtika pemerintah, BI, dan OJK suÂdah bekerja sangat baik, jauh lebÂih baik daripada sembilan bulan yang sudah dilalui, masyarakat pun akan menoleransi dan bersÂabar dengan kemungkinan situasi terburuk. Semoga kita keluar sebÂagai bangsa pemenang dari ancaÂman domestik dan eksternal yang cenderung makin bergejolak. Amin. (*)