Oleh: A HELMY FAISHAL ZAINI
Ketua LPPNU; Anggota Komisi X DPR RI
Secara epistemik, dua terminologi tersebut sesungguhnya jika direnungkan memiliki makÂna berbeda. Bangsa ialÂah sebuah kelompok masyarakat yang terikat sebab memiliki rasa kesamaan antara satu dan yang lain. Sementara negara ialah orÂganisasi pada sebuah wilayah yang memiliki supremasi tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Jika terma pertama merujuk pada rasa, terma kedua lebih bernuansa administratif dan legal formal.
Dalam perjalanan `melaÂhirkan’ Indonesia, penetapan Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu modal pentÂing, sebab suatu transformasi buÂdayalah yang tidak mudah untuk memadupadankan sekaligus meÂnyatukan adanya kepelbagaian. Bahkan, jika melihat fakta-fakta historis, bangsa Nusantara telah memiliki modal sosial yang sanÂgat berharga, suatu karakter keÂpribadian yang khas. Karakter itu tecermin dari adanya kekayaan etnisitas, suku, ras, agama, dan golongan yang begitu plural.
Di samping itu, Indonesia juga merupakan negara yang mengikuti dinamika perkembanÂgan modernitas sebagai sebuah tuntutan global. Dengan demikiÂan, keunikan dari karakter keÂpribadian Nusantara yang khas ini dapat menggabungkan tiga pilar penting, yakni pertama, IsÂlam sebagai sistem nilai dan agaÂma yang dianut oleh mayoritas. Kedua, adanya sistem demokrasi Pancasila yang menjamin adanya kedaulatan di adanya kedaulatan di tangan rakyat sepenuhnya, dan ketiga tantangan adanya moderÂnitas di sisi yang lain. Sekali lagi, penggabungan tiga aspek penting dalam suatu harmoni kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tidaÂklah mudah.
KH Mahfudz Siddiq (1906- 1944) pada 1935 menginisiasi suatu konsep yang sangat menÂarik terkait karakter kepribadian Nusantara.Konsep itu ia namakÂan mabadi’ khairi ummah (pilar-pilar masyarakat ideal). Pada awalnya, konsep itu hanya menÂcakup tiga pilar. Kemudian pada masa sesudahnya dikembangkan menjadi lima pilar, yaitu ash-shidqu (pilar kejujuran dan keÂbenaran), al-amanah walwafa’ bil `ahdi (pilar kesetiaan dan komitÂmen), al-’adalah (pilar keadilan), at-ta’awun (pilar solidaritas), serta al-istiqamah (pilar kedisÂiplinan dan konsistensi). Melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan tempatnya berÂnaung dan mendarmabaktikan diri, Mahfudz mengampanyekan pembentukan karakter bangsa yang bersendi pada pilar-pilar tersebut.
Jalan Terjal
Sekali lagi kita patut untuk bersyukur atas ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila pada hakikatnya ialah kontrak sosial dan titik temu di antara para pendiri bangsa.
Jauh setelah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara tersebut, kita tahu banyak jalan terjal yang harus dilalui. Aneka riak-riak ketidaksetujuan yang disebabkan kekurangdalaman memahami sebuah persoalan, menyebabkan banyak gerakan-gerakan yang berusaha untuk merongrong Pancasila. Sebut saja gerakan sporadis Kartosoewirjo dengan Darul Islamnya atau juga gerakan-gerakan ormas Islam yang mengajak untuk mendiriÂkan sistem khalifah yang masih kita rasakan denyutnya, bahÂkan sampai hari ini, termasuk di dalamnya ialah NIIS (Negara IsÂlam Irak dan Syiria).
NU sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia didasari pemahaman yang jernih denÂgan sangat lantang mengatakan bahwa NKRI ialah bentuk final dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Dua keputusan tersebut sesungguhÂnya tidak lepas dari alasan histoÂris bahwa pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari ialah pencetus dan pengÂgerak resolusi jihad. Pada titik ini sesungguhnya nasionalisme NU tidak bisa diragukan lagi. BahÂkan, pada muktamar ke-27 1984 di Situbondo, secara tegas NU memutuskan bahwa NKRI denÂgan Pancasila dan UUD 1945 ialah bentuk final perjuangan umat IsÂlam Indonesia.
Lebih jauh, dalam menjaga na sionalisme tersebut, Kyai AhÂmad Shiddiq (19261991) kemuÂdian merumuskan tiga model ukhuwwah yang sangat terkenal, yaitu ukhuwwah islamiyyah (perÂsaudaraan umat Islam), ukhuwÂwah wathaniyyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwwah basyariÂyyah (persaudaraan umat manuÂsia). Ketiga model ukhuwah yang diformulasikan ini patut kita renungkan dan amalkan dalam kehidupan berbangsa dan berÂnegara.
Dalam pada itu, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, dalam arÂtikelnya `Mendahulukan Cinta Tanah Air’ mengatakan bahwa ukhuwwah wathaniyah (perÂsaudaraan bangsa) harus didaÂhulukan di atas ukhuwwah isÂlamiyyah. Hal ini sesungguhnya pernyataan retorik sekaligus penÂegasan sikap bahwa cinta Tanah Air dan menjunjung tinggi nasionÂalisme serta menjaga warisan keÂsepakatan founding fathers ialah hal yang tidak bisa ditawar lagi, apalagi di tengah pelbagai isu gerÂakan yang semakin hari semakin berusaha untuk menggerogoti nasionalisme kita. NU, berkomitÂmen mempertahankan, menjaga, sekaligus merawat warisan luhur tersebut. Walhasil, pada momenÂtum muktamar ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus yang menguÂsung tema `Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban InÂdonesia dan dunia’, sekali lagi, kita tunggu terobosan serta sikap NU dalam merespons fenomena kebangsaan yang sedang kita alaÂmi hari ini. (*)