Oleh: MARSELLI SUMARNO
Pemerhati Film
Sejumlah karya audio-visual yang telah dibuat dalam usaha mendorong rekonsiliasi nasional jusÂtru mengundang konÂtroversi dan berhadapan dengan beberapa persoalan baru. Sebagai catatan, kontroversi tragedi 1965 belakangan ini dipicu munculnya dua film dokumenter garapan sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer: Jagal (The Act of Killing, 2013) dan Senyap (Look of Silence, 2014). Di satu pihak, Komisi Nasional Hak Asasi MaÂnusia (Komnas HAM) telah menÂjadikan film Senyap sebagai titik tolak untuk mendiskusikan rekonÂsiliasi nasional atas tragedi nasiÂonal 1965. Di lain pihak, Lembaga Sensor Film (LSF) telah melarang pemutaran film Senyap untuk umum.
“Kata yang tak terucapâ€
Deklarasi Universal HAM diterima dan diumumkan Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948. Tentang kebebasan berekspresi termaktub dalam Pasal 19: “SeÂtiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-ketÂerangan dari pendapat dengan cara-cara apa pun dan dengan tiÂdak memandang batas-batas.â€
Selanjutnya PBB telah meratiÂfikasi berbagai kovenan ataupun konvensi yang merupakan tuÂrunan dan penjabaran Deklarasi Universal HAM. Pada 28 Oktober 2005, Pemerintah Indonesia mengesahkan Kovenan InternasiÂonal Hak Ekonomi, Sosial, dan BuÂdaya menjadi UU No 11/2005 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik jadi UU No 12/2005.
Dewasa ini di Indonesia terÂdapat UU No 33/2009 tentang PerÂfilman. Sementara LSF yang dibenÂtuk dengan Peraturan Pemerintah No 18/2014 melakukan penyenÂsoran dengan berpedoman pada asas, tujuan, dan fungsi perfilman sebagaimana dimaksud dalam UU Perfilman. Menjelang akhir 2014, mulailah “perang†antara Komnas HAM dan LSF. Komnas HAM menÂdukung pemutaran film Senyap di seluruh Indonesia, dengan alasan ini bagian dari kerja pendidikan HAM sebagai dukungan terhadap program prioritas pemerintah saat ini, yang dikenal luas sebÂagai program Nawacita, terutama agenda ke-9, yaitu “Memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidiÂkan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.â€
Di pihak lain, LSF tetap berÂsikukuh bahwa keputusannya terkait film Senyap sudah final, yaitu menolak film tersebut diÂpertunjukkan kepada khalayak umum, tetapi tak menolak untuk kalangan terbatas. Sebenarnya taÂwaran LSF tersebut masih menyÂisakan ruang kebebasan bagi film yang kontroversial ini, yaitu untuk diputar di kampus-kampus atauÂpun komunitas-komunitas tanpa memungut bayaran.
Namun, kenyataannya, peÂmutaran bagi kalangan terbatas pun dibayang-bayangi pelarangan karena argumen-argumen yang diajukan LSF mengesankan adÂanya film yang terlarang. Padahal, argumen LSF itu tak sepenuhnya valid, semisal, “yang melakukan wawancara kepada pelaku adalah anak kandung PKI.†Tentu kalau orangtua sang tokoh yang mencaÂri keadilan bagi kakaknya itu juga terlibat PKI, mereka pasti sudah ikut terbunuh.
Dalam film Senyap dikisahkan sosok lelaki 40-an tahun bernama Adi Rukun, yang hidup dan dibeÂsarkan di daerah Deli Serdang, SuÂmatera Utara. Kakak kandungnya, Ramli, tewas terbantai karena diÂtuduh komunis dalam pergolakan 1965, sewaktu Adi belum lahir. Adi yang kini berprofesi sebagai ahli pembuat kacamata kir mendatanÂgi satu per satu para penjagal yang kebanyakan adalah pasiennya.
Profesi Adi itu telah mencipÂtakan metafor agar para pemÂbunuh itu, dalam usia lanjut merÂeka, dapat “melihat dengan lebih fokus†atas peristiwa-peristiwa mengerikan masa silam yang telah melibatkan mereka. Pertanyaan-pertanyaan Adi terhadap orang-orang yang diajaknya berbincang mengalami eskalasi kegeraman pada diri mereka yang tidak terÂtuju kepada Adi, melainkan tudinÂgan tangan dan sebutan “Joshua†yang tidak tampak dalam layar.
Ini menimbulkan pengandaian yang serius yang bersifat etis, yaitu apakah Adi ini murni berkehendak sebagai seorang pencari keadilan, ataukah ia sekadar “boneka†bagi sutradara? Bagaimanapun, Senyap memiliki keunggulan-keunggulan. Tanpa memperlihatkan tetesan darah dan tulang-belulang atauÂpun tengkorak manusia, film ini cukup menggetarkan. Adegan-adegan kekerasan hanya sebatas “kata yang terucapâ€.
Soal Pilihan dan Tindakan
Kebebasan berekspresi diÂjamin oleh UU HAM. Titik-titik ketegangannya antara kebebasan dan kepastian hukum. Kebebasan adalah ciri hakiki manusia sebagai manusia rasional dan berkehenÂdak. Pada manusia, kebebasan tak pernah mutlak. Oleh karena itu, kebebasan dan tanggung jawab terkait satu sama lain. Kebebasan tanpa tanggung jawab akan menÂjurus ke anarki.
Memang, pada akhirnya keÂbebasan menyangkut soal pilihan dan tindakan. Dalam hal ini, saraÂna untuk melakukan pilihan tindaÂkan itu adalah ekspresi seni beruÂpa film Senyap. Uniknya, baik LSF maupun Komnas HAM sama-sama lembaga dalam pemerintahan. Apakah negara berperan dalam memecahkan persoalan ini, atau justru memilih diam alias absen?
Sementara UU HAM, Pasal 70, telah menentukan batas-batas HAM secara padat: “Dalam menÂjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh UU dengan maksud untuk menÂjamin pengakuan serta penghorÂmatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.â€
LSF telah menolak film Senyap, sedangkan Komnas HAM justru ingin menggunakan film tersebut sebagai dukungan terhadap proÂgram pemerintah tentang masalah rekonsiliasi. Menurut saya, persoaÂlan timbul karena LSF menerapkan prinsip utilitarisme (yang dikemÂbangkan John Stuart Mill) dalam perspektif HAM, sekurang-kurangÂnya demi “ketertiban dalam maÂsyarakatâ€, yang mengatasnamakan orang banyak, sungguhpun belum tentu menjamin penghormatan terhadap HAM.
Maka, dalam penerapan huÂkum untuk memberikan batas-batas kebebasan berekspresi seni, khususnya dalam studi kasus film Senyap, muncul dilema: positivÂisme hukum (diwakili oleh LSF) dan idealisme kehendak (diwakili oleh Komnas HAM). PertanyaanÂnya, apakah batas-batas kebebasan ekspresi itu ditentukan oleh model atau kualitas etika atas bentuk esÂtetisnya? Konsepsi etika manakah yang paling relevan untuk mendekati film Senyap? Menurut saya, itu adalah etika “wajah orang lain†dari Emmanuel Levinas. Inti pendekatan fenomenologisnya adalah ingin menunjukkan bahwa pembentukan identitas “saya†selalu sudah berdasarkan suatu peristiwa asali yang terjadi setiap kali bertemu dengan orang lain.
Apakah “fenomenologi orang lain†Levinas meyakinkan? MeÂmang menjadi masalah jika yang etis bagi Levinas ini menyangkut orang banyak, karena itu memaksa kita untuk bersikap adil terhadap mereka. Dan justru dalam peristiÂwa keseharian, apakah selalu muÂdah untuk bersikap adil terhadap banyak orang? Akan tetapi, dalam peristiwa yang lebih serius seperti dalam tindakan kekerasan samÂpai tingkat pembunuhan bahkan genosida, etika kepekaan Levinas mencapai tataran “kemanusiaan untuk orang lainâ€. Dengan gagasÂan-gagasan demikian, film Senyap akan terbuka lebar bagi wacana perikemanusiaan yang adil dan beradab, bahkan untuk tujuan rekonsiliasi nasional. (*)