Oleh: AZYUMARDI AZRA
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;Â Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI (2015-2020)
Kaum beriman tentu saja wajib percaya takdir. Namun, jika keÂjadian berujung maut yang terus berulang sejak musibah Terowongan Mina pada 1990 yang menyebabkan 1.426 orang meninggal, orang patut bertanya apakah kejadian mengenaskan itu lebih disebabÂkan kelalaian dan salah urus tata kelola ibadah haji di Arab Saudi dan di negara-negara lain tempat asal jemaah haji.
Jika sementara tidak meliÂbatkan soal takdir, sedikitnya ada tiga faktor utama penyebab musibah. Pertama, ketiadaan atau kurangnya pengaturan yang jelas (prosedur tetap) arus lalu lintas jutaan anggota jemaah haji di loÂkasi rawan tabrakan antaranggota jemaah dari Mekkah menuju AraÂfah, Muzdalifah, Mina, dan kemuÂdian kembali ke Mekkah. Untuk menghindari tabrakan jemaah yang pergi-pulang dari melontar jumrah (jamak: jamarat) khusus, Pemerintah Arab Saudi sepatutÂnya menetapkan alokasi waktu bagi jemaah negara-negara. KaÂlaupun ada, ketentuan itu terlihat tidak ditegakkan tegas sehingga jemaah calon haji berbondong-bondong pergi melempar jumrah di pagi hari, waktu yang dianggap paling utama.
Kedua, dalam gelombang jeÂmaah yang sangat banyak, petugas lapangan Arab Saudi tampak tidak siap dan tidak sigap memisahkan jemaah yang pergi dan yang puÂlang dari jamarat. Jumlah mereka di lapangan tidak memadai unÂtuk bisa mengendalikan jemaah dalam jumlah demikian besar.
Ketiga, banyak anggota jemaah tidak atau kurang disiplin. Jemaah berombongan cenderung tidak disiplin dan lebih mendahulukan kepentingan sendiri daripada keÂamanan bersama dan kekhusyuÂkan beribadah.
Memandang berbagai penyeÂbab musibah, jelas perlu pembeÂnahan tata kelola pelaksanaan prosesi ibadah haji di Arab Saudi dan pengelolaan jemaah di setiap negara. Hanya dengan perbaikan tata kelola, kemungkinan musibah pada musim haji selanjutnya dapat dikurangi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Harus diakui, Pemerintah Arab Saudi sangat sensitif dalam tata keÂlola penyelenggaraan ibadah haji yang tidak hanya bermakna keÂagamaan, tetapi juga politis. Bagi Pemerintah Arab Saudi, khususÂnya raja, pengelolaan ibadah haji adalah hak istimewa yang tidak dapat dipersoalkan karena raja adalah ’al-khadim al-haramayn— pelayan dua haram (Mekkah dan Madinah).
Bagi Arab Saudi, penyelenggaÂraan ibadah haji di Mekkah—yang dilengkapi ziarah dan shalat 40 waktu (shalat Arbain) di Madinah— sepenuhnya tanggung jawabnya. Oleh karena itu, Arab Saudi cendÂerung menutup diri dan tidak mau melibatkan negara-negara lain pengirim jemaah haji ke Tanah Suci. Bagi Arab Saudi, keikutserÂtaan negara lain adalah isu politik terkait posisinya vis-à -vis negara Islam atau mayoritas Muslim lain.
Penyelenggaraan ibadah haji tidak steril dari politik. Sejak akhir abad ke-19, misalnya, Mekkah dan Madinah menjadi pusat perÂtukaran dan penyebaran gagasan Pan-Islamisme menghadapi koloÂnialisme sejumlah negara Eropa terhadap banyak wilayah Muslim. Karena itu, negara kolonialis EroÂpa, seperti Belanda yang menjajah Indonesia, memiliki kantor konÂsulat di Jeddah untuk memantau jemaah calon haji dari Hindia BeÂlanda.
Bagi Arab Saudi, ibadah haji memberikan posisi tawar pentÂing dalam hubungan dengan duÂnia Muslim. Sejak 1960-an, Raja Faisal menjadikan ibadah haji sebagai kunci melobi negara-negara Muslim lain mewujudkan dan menguasai Organisasi KonfeÂrensi Islam (kini Organisasi Kerja Sama Islam/OKI). Melalui OKI dan Rabitah ’Alam Islami, Arab Saudi mendapat dukungan negara-negaÂra Muslim lain dalam pengelolaan haji tanpa harus mengompromiÂkan kedaulatan penuhnya atas Haramayn. Negara-negara Muslim penganut Sunni umumnya tidak mempersoalkan kedaulatan Arab Saudi atas Haramayn. Saat sama, mereka berusaha mendapat perÂhatian khusus dari Pemerintah Arab Saudi atas jemaah masing-masing.
Seperti dicatat Robert R BianÂchi dalam bukunya, Guest of God: Pilgrimage and Politics in the IsÂlamic World (2004), Pemerintah Arab Saudi akhirnya menemuÂkan diri harus mendengar suara negara pengirim jemaah calon haji dalam jumlah besar. Negara-negara ini—Indonesia, Turki, MaÂlaysia, Pakistan, dan Nigeria—yang mengembangkan tata kelola haji modern dengan institusi pengeloÂla profesional melalui lobi berhaÂsil mendorong Pemerintah Arab Saudi meningkatkan fasilitas dan pengelolaan ibadah haji.
Kepada pihak lain, Iran (dan Libya pada masa Khadafy) sudah sejak lama menggaungkan ide tentang â€internasionalisasi†tata kelola ibadah haji di Haramayn; penyelenggaraan dilaksanakan inÂstitusi khusus bentukan bersama negara-negara Muslim. Presiden Iran Mohammad Khatami pada musim haji 1997 pernah mencoba menggalang internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan MadiÂnah. Usaha Khatami gagal karena ditolak Arab Saudi yang didukung kebanyakan negara Muslim lain. Namun, gagasan Iran ini tak perÂnah padam. Untuk menangkis manuver Iran, Arab Saudi selalu berhasil mendapat dukungan dari negara-negara yang kian penting dalam OKI dan dunia internasiÂonal, yaitu Indonesia, Turki, MaÂlaysia, Pakistan, dan Nigeria.
Musibah Mina (24/9) kembali memberikan momentum bagi Iran untuk berargumen, Arab Saudi gagal menyelenggarakan ibadah haji secara baik, aman, dan nyaman. Kini saatnya PemerÂintah Arab Saudi menerima interÂnasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Sekali lagi, gagasan tersebut pasti ditolak Arab Saudi dan mayoritas negara Muslim lain, termasuk Indonesia.
Indonesia dapat memainkan peran lebih kontributif untuk perÂbaikan tata kelola prosesi ibadah haji di Haramayn. Indonesia meÂmiliki leverage untuk melakukan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan. Penerimaan PresÂiden Joko Widodo dalam kunjunÂgan ke Arab Saudi (11/9) secara luar biasa oleh Raja Salman dapat menjadi entri penting bagi IndoneÂsia untuk meningkatkan diplomasi dan lobi guna perbaikan pelaksaÂnaan ibadah haji ke depan. (*)