Oleh: IQBAL HARAFA, S.Ag.
Disampaikan sebagai khutbah di Masjid Jami Asy-Syuja’iyah
Pesantren Modern Daarul Uluum, Kampus 1, Kota Bogor
Hadirin yang, semoga, selalu dirahmati AlÂlah; Sebagai pembuÂka kata, perkenankÂanlah khatib untuk mengingatkan kita semua terhadap salah satu firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 208:
“Hai orang-orang yang beriÂman! Masuklah kamu ke dalam kedamaian (islam) secara menyÂeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. SesungÂguhnya ia (syetan itu) musuh yang nyata bagimu.â€
Al-Imâm Ismâ’îl Ibn Katsîr, salah seorang ulama besar tafsir, menerangkan bahwa yang diÂmaksud dengan kata “as-silmu†(kedamaian) dalam firman Allah tersebut adalah “al-Islam.†SeÂcara bahasa, “al-Islam†adalah, ketuntukan dan kepatuhan atau al-khudhû wa al-inqiyâd. Seorang muslim adalah seseorang yang telah tertanam dalam jiwanya siÂkap tunduk dan patuh kepada seÂluruh ketentuan Allah swt., baik berupa perintah-perintah-Nya maupun larangan-larangan-Nya. Sementara itu, yang dimaksud dengan “khuthuwâtis syaithân†adalah segala perilaku yang bertentangan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah swt.
Untuk dapat mencapai kebaÂhagiaan hakiki di dunia, baik maÂterial maupun spiritual, dan unÂtuk mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat kelak, seorang muslim dituntut untuk secara total dalam ber-islam: Artinya, seluruh perÂintah dan larangan Allah swt. senantiasa menjadi imam dan pengarah dalam seluruh lapanÂgan kehidupan.
Hadirin yang, semoga, selalu dirahmati Allah; Lapangan keÂhidupan kita mencakup dimensi “hablum minallâh,†yaitu hubungan ubudiyah langsung antara kita, al-makhlûq, dengan Allah, al-khâliq, dan “hablum minan nas,†yaitu hubungan antar kita dengan sesama makhluk Allah.
Dengan demikian, seorang muslim adalah seorang “mukalÂlaf,†yaitu makhluk individual yang wajib, misalnya, menjalankÂan perintah shalat lima waktu, sekaligus juga mendalami, menyÂelami, dan mempraktekkan nilai-nilai shalat itu dalam kehidupan sosial dan kemasyaratannya seÂhari-hari. Seorang muslim adalah seorang makhluk individual yang wajib menunaikan ibadah haji, jika telah berkemampuan, sekalÂigus juga mendalami, menyelami, dan mempraktekkan nilai-nilai haji itu dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatannya. Ibadah individual harus selalu sebangun dengan ibadah sosial.
Hadirin yang, semoga, selalu dirahmati Allah; Inilah yang diÂmaksud dengan al-akhlâq dalam ajaran luhur islam. Membangun makârimul al-akhlâq, keluhuran budi atau prilaku, adalah tujuan sesungguhnya dari pengutuÂsan junjungan kita, Muhammad saw. “Sesungguhnyaâ€, demikian sabda beliau, “aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan prilaku-prilaku.â€
Seorang muslim adalah seorang penebar kedamaian dan ketentraman di lingkungan soÂsialnya masing-masing, atau di manapun ia berada, dan bukan malah sebaliknya. Seorang musÂlim adalah seorang yang selalu menyambung kembali silaturraÂhim (hubungan-hubungan perÂsaudaraan) yang terputus, bukan malah memutusnya. Seorang muslim adalah seorang pedagang yang selalu berusaha keras untuk jujur dan memberikan layanan terbaik, bukan malah memboÂhongi pembelinya. Seorang musÂlim adalah seorang yang selalu menjaga hubungan baik dengan tetangganya dan tidak membiÂarkan suatu terjadinya suatu permusuhan. Seorang muslim adalah seorang pemimpin yang amanah, yang tidak akan pernah bisa tidur dengan nyenyak seÂbelum orang-orang yang dipimÂpinnya sejahtera dan tercukupi. Seorang muslim adalah seorang yang peduli terhadap kesulitan yang sedang menimpa sesamanÂya, membantu fakir miskin, dan memuliakan anak-anak yatim dan terlantar. Bahkan, seorang muslim adalah seorang yang “seÂnyumnya†pun menentramkan dan membuat damai orang-orang yang ada didekatnya.
Hadirin yang, semoga, seÂlalu dirahmati Allah; DemikianÂlah, Islam menawarkan totalitas kedamaian, bukan kekerasan. Seorang mu’min adalah seorang yang senantiasa memenuhkan seluruh ruang dalam jiwanya dengan selalu ingat kepada AlÂlah, kapanpun dan di manapun. Syetan-lah yang terus menerus berusaha memalingkan kita dari Allah. Karena itu, setelah perinÂtah “udkhulû fis silmi kâffah,†AlÂlah menyambungnya dengan perÂintah “wa lâ tattabi’û khuthuwât at-syaithân.â€
Tidaklah mudah menjaga diri kita dari kemungkinan terjebak oleh godaan syetan sehingga kita, sadar atau tidak sadar, melakukan tindakan yang bertentangan denÂgan tuntutan Allah swt. Dalam jiwa seorang mu’min, senantiasa ada “mujâdah, pergulatan diri melawan hasrat dan dorongan hawa nafsu. Di sinilah, Allah swt mengajarkan kita untuk bersÂabar. Sabar, bukan saja pada saat kita menanggung derita karena musibah dan bala, tapi juga sabar dalam ber-islam, sabar dalam menjalankan seluruh perintah AlÂlah dan menjauhi larangan-Nya. Allah berfirman:
“Dan bersabarlah (Nabi MuÂhammad saw) bersama orang-orang yang menyeru Tuhan PemeÂliharanya mereka di waktu pagi dan petang,†(al-Kahfi 18:28).
Dalam surat lainnya, Allah SWT berfirman:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan mengetahui (bersama itu pula) orang-orang sabar,†(Al- Imran, 3:142).
Hadirin yang, semoga, selalu dirahmati Allah; Semoga Allah melimpahi kita kemampuan unÂtuk menyempurnakan keislaman kita dan melaksanakan pesan keÂdamaian di dalamnya. Amin…