OLEH: AZYUMARDI AZRA
Dukungan itu agaknya penting bagi Trump, terutama bukan dalam konÂteks politik pilpres AS, tetapi lebih terkait bisnis yang sedang dia garap di IndoÂnesia. Kalah atau menang dalam pilpres nanti, Trump yang aslinya pebisnis real estate, hotel, dan kasino, juga aktor reality show TV melalui Trump Hotel CollecÂtion bekerja sama dengan MNC Group pimpinan Hary TanoeÂsoedibjo mengembangkan the largest integrated resort’ di Bali dan Lido, Sukabumi.
Dalam konteks pilpres AS, pertemuan Setya-Trump bisa disebut sebagai dukungan seÂcara tersirat (tacit endorsement), mencerminkan sikap partisan. Sebagai pejabat tinggi yang memÂbawa nama dan lembaga terhorÂmat Indonesia, jika tidak mau partisan, Setya sepatutnya berteÂmu tak hanya dengan bakal calon presiden dari Partai Republik, tetapi juga dari Partai Demokrat. Karena itu, jika ketua dan romÂbongan anggota DPR ini terjadwÂal hanya bisa bertemu salah satu bakal calon—tidak dengan bakal calon dari partai lain—sepatutnya dia membatalkannya. Sekali lagi, pertemuan dengan hanya salah satu bakal calon tak bisa lain keÂcuali hanya mencerminkan sikap partisan atau dalam istilah lain yang populer di AS disebut medÂdling, ’ikut bermain’, dalam poliÂtik dalam negeri AS.
Pejabat tinggi Indonesia jelas secara etis dan diplomatik tidak boleh terbuka bersikap politik partisan terhadap atau meddling dalam politik negara lain, termaÂsuk AS. Mereka mesti bukan hanÂya tidak menunjukkan sikap parÂtisan lewat pertemuan dengan salah satu bakal calon presiden, tetapi juga tak berkomentar tenÂtang politik (political meddling) negara bersangkutan. Memang sikap politik partisan dan medÂdling Ketua DPR dalam politik pilpres AS tidak menjadi berita utama media dan publik AS. Hal itu terkait kenyataan bahwa IndoÂnesia tidak banyak dikenal para pemilih AS.
Satu-satunya negara yang sering melakukan meddling dalam pilpres AS adalah Israel. Hal itu mudah dipahami. Israel memiliki kepentingan besar denÂgan siapa yang bakal menang dalam pilpres AS; bagi Israel sanÂgat penting apakah capres terÂtentu sepenuhnya mendukung kepentingan Israel atau memÂberikan dukungan hanya â€setengah hatiâ€.
Meddling Israel terakhir dalam pilpres AS terjadi pada pilÂpres tahun 2012. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, baik secara implisit maupun eksplisit, menyatakan dukungan kepada capres Partai Republik, Mitt RomÂney. Netanyahu juga menyatakan Romney adalah teman lamanya. Sebaliknya, PM Israel yang terkeÂnal sebagai sangat keras (hawkÂish) ini secara terbuka mengungÂkapkan kejengkelannya kepada kandidat presiden petahana dari Partai Demokrat, Barack Obama, karena menolak bertemu denÂgannya seusai Sidang Umum PBB, September 2012. Netanyahu meÂnyatakan, Presiden Obama tidak bersikap keras dan tegas kepada Iran dalam pengembangan nuklir oleh negara ayatullah itu.
Kalangan petinggi Partai DeÂmokrat mengecam Netanyahu sebagai telah ikut bermain (medÂdling) dan melakukan intervensi terhadap pilpres AS. Partai DeÂmokrat berusaha membangÂkitkan sentimen nasionalisme membendung aksi Netanyahu. Sebaliknya, PM Israel ini menudÂing AS sebagai selalu ikut menÂcampuri pemilu Israel. Berbeda mencolok dengan Netanyahu, meski pertemuan Setya bisa diÂanggap sebagai meddling dalam pilpres AS, jelas dampaknya hamÂpir tak ada bagi pemilih AS. IndoÂnesia tak pernah dikenal sebagai negara yang bisa memengaruhi politik AS. Bagi para presiden AS, Indonesia pasca-Soekarno adalah teman baik yang tidak punya rekam jejak mencampuri politik dalam negeri AS.
Boleh jadi keberatan terhaÂdap politicalmeddling Ketua DPR Setya Novanto datang dari kubu Partai Demokrat. Bakal calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, yang masih meÂmimpin dalam berbagai survei, belum memberikan tanggapan. Hillary jauh lebih lama dan lebih dekat dengan Indonesia sejak suaminya, Bill Clinton, menjabat Presiden AS (1993-2001). Karena itu, jika mempertimbangkan keÂpentingan Indonesia secara kesÂeluruhan, lebih logis kalau warga Indonesia berharap— tanpa politÂical meddling—Hillary memenanÂgi piplres AS, 8 November 2016. Hillary jauh lebih memahami dan lebih berempati kepada InÂdonesia daripada Trump karena mantan Menlu AS ini tahu banyak hal tentang negara dan masyaraÂkat negeri ini. Bagaimanapun, pejabat tinggi seperti Ketua DPR sepatutnya tidak meddling dalam politik AS dalam bentuk apa pun. Tidak elok!
Hal sama berlaku bagi IndoÂnesia. Pastilah warga, pejabat, dan politisi Indonesia sangat guÂsar dan heboh jika dalam pilpres Indonesia ada pejabat tinggi AS mengadakan pertemuan denÂgan salah satu capres Indonesia. Karena itu, meddling pejabat publik Indonesia dalam politik AS bisa jadi dapat alasan tambaÂhan bagi pihak tertentu AS untuk meddling dalam politik IndoneÂsia, khususnya pilpres 2019 dan seterusnya.
# Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat UN DemocÂracy Fund, New York (2006- 2008) dan International IDEA Stockholm (2007-2013)