Oleh: EKO PRASOJO
Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Kita dapat mengatakan bahwa reshuffle kabiÂnet adalah sebuah evaluasi tentang kualiÂtas dan soliditas tim pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan; evaluasi tenÂtang orkestrasi pemerintahan, apakah konduktor, alat musik, para pemain musik, lagu, dan juga para penyanyi telah benar berfungsi sehingga dapat menghibur penonÂton? Apakah para pemain musik memainkan alat sesuai partitur?
Orkestra Simfoni
Pemerintahan dapat diibaratÂkan sebagai orkestra simfoni yang sangat besar (gigantic simphony). Bukan hanya melibatkan banyak sekali pemain musik, melainkan juga beragam jumlah alat musik dan penonton yang sangat banÂyak pula. Para penonton orkestra pemerintahan adalah rakyat yang memiliki tidak saja hak, tetapi juga harapan dan kebutuhan. TenÂtu saja penonton sangat beragam dan kritis, serta memiliki berbagai kepentingan.
Sebagai sebuah orkestra simÂfoni, konduktor memainkan perÂan sangat penting. Dalam hal ini, presiden merupakan konduktor pemerintahan secara nasional. Perannya sangat strategis dan kritikal, terutama untuk menenÂtukan lagu apa yang akan dimainÂkan, kapan harus dimulai dan diakhiri, serta harmoni keseluÂruhan pemain dengan alat musik yang dimainkan. Para pemain alat musik dalam pemerintahan terdiri atas para menteri sebagai pembantu utama presiden, para pimpinan lembaga pemerintahan non-kementerian, para gubernur, bupati, wali kota, dan keseluÂruhan pejabat birokrasi, baik di pusat maupun daerah.
Problem orkestrasi pemerinÂtahan pada tingkat dasar adalah apakah semua pemain musik telah memahami lagu yang dimainÂkan dalam pertunjukan orkestra? Dalam hal ini, Rencana PembanÂgunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan susunan lagu-lagu pembangunan, pelayanan dan fungsi pemerintahan yang akan dipimpin oleh presiden sebagai konduktor di tingkat nasional. Kita dapat memastikan bahwa lagu-lagu pembangunan itu sudah disusun sesuai dengan program Nawacita yang dikampanyekan Presiden Joko Widodo dalam pilÂpres lalu. Di sini terbentang satu persoalan, apakah lagu-lagu pemÂbangunan tersebut sudah ditulis dengan partitur yang benar dan bisa dipahami sehingga setiap peÂmain alat musik, yaitu menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, dan seluruh peÂjabat birokrasi dapat memainkanÂnya dengan baik.
Dalam pemerintahan yang terdesentralisasi dan terfragmenÂtasi seperti Indonesia, partitur lagu-lagu pembangunan sering bermasalah dalam keselarasan (alignment) program pembanguÂnan antarkementerian, juga maÂsalah dalam penjabaran (cascadÂing) dari RPJM Nasional ke RPJM Daerah. Disharmoni lagu tersebut terjadi karena beberapa hal, (1) seÂtiap kementerian/ lembaga memiÂliki cara pandang dan kepentingan masing masing, (2) program pemÂbangunan yang ditetapkan oleh gubernur dan bupati/wali kota tiÂdak memiliki irisan periode waktu pembangunan yang sama, dan (3) tidak bersambungnya program-program pembangunan nasional yang sudah ditetapkan oleh RPJM dengan program pembangunan daerah dalam RPJMD.
Kondisi Perlu
Persoalan dasar kedua dalam orkestrasi pemerintahan di IndoÂnesia adalah banyak sekali pemain alat musik yang bukan saja tidak bisa membaca partitur yang sudah ditulis dalam rencana pembanguÂnan, melainkan juga banyak yang tidak bisa memainkan alat musik pembangunan. Persoalan ini meÂnyangkut kompetensi, kapasitas, dan keahlian. Meskipun tidak semua, banyak pejabat politik dan pejabat karier pemerintahan yang tidak memahami rencana pemÂbangunan dan bagaimana strategi serta cara untuk mencapai target kinerja dengan kewenangan yang dimilikinya. Sebagai penonton, dalam hal ini rakyat, bisa dibayÂangkan bagaimana sebuah perÂtunjukan orkestra pembangunan yang para pemain alat musiknya tidak bisa membaca partitur lagu-lagu pembangunan dan tidak bisa memainkan alat musik pemÂbangunan. Sebagian pemain alat musik pembangunan di Indonesia sebenarnya saat ini hanya lip sync (alias tidak berperan apa pun).
Kondisi ini semakin buruk karena, di samping tidak memiliki kompetensi, kapasitas, dan keahlÂian, sebagian pemain alat musik pembangunan justru mengganggu para pemain alat musik lain dan mengganggu harmoni orkestrasi pemerintahan secara keseluruhan dengan perilaku korup, nepotis, dan kolutif. Dalam hal ini orkesÂtra pemerintahan (atau negara) dirugikan dengan tiga hal sekaÂligus, yakni gaji dan tunjangan yang sudah dibayarkan tanpa haÂsil (free rider), kerugian keuangan negara yang sebagian hilang kareÂna perilaku korup (rent seeking mentality), serta distorsi pemain musik yang membuat orkestrasi pemerintahan keseluruhan jadi sumbang (failed government).
Alat Musik Rusak
Masalah ketiga dalam orkestra pemerintahan di Indonesia adalah banyaknya alat musik yang tidak bisa dimainkan. Jika pun bisa, akan terdengar sumbang saat dimainÂkan. Alat musik orkestra pemerÂintahan dan pembangunan adalah berbagai kelengkapan birokrasi pemerintahan, seperti struktur, proses, serta nilai dan budaya. Struktur birokrasi yang gemuk meÂnyebabkan pemain alat musik sulit menggerakkan dan memainkan alat musik secara benar menurut arahan konduktor dan sesuai dengan partitur yang dituliskan.
Struktur birokrasi yang ada saat ini tidak mencerminkan keÂbutuhan terhadap rencana dan tuÂjuan pembangunan. Para pemain musik yang andal pun jika mengÂgunakan alat musik birokrasi akan mengalami kesulitan luar biasa. SeÂtiap upaya merestrukturisasi (meÂnyetel) alat musik akan mendapat perlawanan dari dalam birokrasi (lock power of bureaucracy). Demikian pula proses bisnis (tata laksana) pemerintahan dan pemÂbangunan sebagai irama orkestrasi pemerintahan mengalami disharÂmoni serius. Banyak lagu pembanÂgunan yang dimainkan dengan tempo dan irama yang tidak sama. Proses pengurusan izin usaha, misÂalnya, melibatkan banyak sekali kantor pemerintahan yang tidak saling terkait dengan tempo (lama waktu) dan irama (alur kerja) yang berbeda-beda. (*)