MANTAN Ketua Umum PSSI, Agum Gumelar mengaku sudah berulangkali menginstruksikan pengurus PSSI pimpinan La Nyalla Matalitti berkoordinasi dengan pemerintah agar bisa bergandengan tanganmelakukan pembinaan sepakbola. Namun, upaya itu selalu gagal terealÂisasi karena Menpora Imam Nahrawi tidak perÂnah bersedia menemui La Nyalla Matalitti.
Oleh : Adilla Prasetyo Wibowo
La Nyalla sudah tiga kali saya instruksikan menemui MenÂpora tetapi tidak pernah berÂhasil dengan alasan sibuk. Bahkan, saat PSSI memenangkan gugatan di PTUN tentang SK pemÂbekuan Menpora pun saya juga meÂmintanya menemui tetap saja tidak ditemui,†kata mantan Ketua Umum PSSI, Agum Gumelar seperti dikutip dari Suara Karya.
Di tengah kondisi sepakbola yang semakin terpuruk, Agum mengaku sedih dan juga telah bosan mengÂingatkan tentang statuta FIFA yang mengharamkan intervensi pemerÂintah. Makanya, dia menyebut PSSI menghadapi orang-orang yang tidak paham tentang aturan yang berlaku di sepakbola. Apalagi, ada upaya memÂbuat Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI dan wacana pembentukan organisasi sepakbola baru pengganti PSSI.
“Saya minta masyarakat sepakbola bersatu untuk mempertahankan PSSI yang merupakan rumah masyarakat sepakbola. Perlu diketahui bahwa PSSI itu sudah berdiri 15 tahun sebeÂlum Indonesia Merdeka. Dan, PSSI juga dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia,†katanya.
“Saya bukan membela La Nyalla, tapi La Nyalla itu terpilih secara resmi sebagai Ketua Umum PSSI dan telah diakui FIFA. Janganlah dunia olahraga di bawah ke ranah politik. Kalau tidak suka La Nyalla jangan organisasinya diamputasi,†tambahnya.
Menurut Agum Gumelar, sanksi FIFA dipastikan akan terus berlanjut jika Menpora tidak mencabut SK pemÂbekuan PSSI. Bahkan, mantan Ketua Komite Normalisasi FIFA ini menjaÂmin FIFA juga akan menjelaskan hal yang sama pada saat melakukan kunÂjungan ke Indonesia untuk bertemu dengan Presiden Jokowi yang dijadÂwalkan Oktober atau Nopember menÂdatang. “Janganlah terus memboÂhongi masyarakat sepakbola dengan menyebut bisa melobi FIFA atau meÂnyebut akan ada KLB tanpa melalui mekanisme yang ada. KLB itu bisa dilaksanakan jika 2/3 anggota PSSI menginginkan dan untuk mendapat pengakuan FIFA harus PSSI mengajuÂkan surat enam bulan sebelum pelakÂsanaan,†jelasnya.
Agum juga menegaskan bahwa FIFA tidak mau berhubungan dengan orang yang berada di luar sepakbola seperti Tim Transisi. “Kalau urusan sepakbola, FIFA itu hanya mau berÂhubungan dengan PSSI dan tiga orang yang dikenalnya di Indonesia yakni Rita Subowo (Ketua Umum KOI), Dali Tahir (Mantan Komite Etik FIFA) dan saya sendiri. Dan, saya bisa memastiÂkan bahwa FIFA tidak akan mengubah keputusan terhadap sanksi PSSI jika memang pemerintah tetap melakuÂkan intervensi. Itu sudah menjadi statÂutanya dan tidak akan dilanggar siapa pun Presiden FIFA nanti,†ujarnya.
Lebih jauh, Agum mengungkapÂkan, bahwa Asian Games 2018 di InÂdonesia tidak akan mempertandingÂkan cabang sepakbola karena dalam statuta FIFA jelas disebutkan negara yang terkena sanksi tidak diperboleÂhkan menggelar pertandingan interÂnasional.
“Sepakbola Asian Games itu kan menggunakan wasit dan perangkat pertandingan dari AFC yang meruÂpakan perpanjangan tangan FIFA. Jadi, sepakbola pasti tidak dipertandÂingkan di Indonesia kalau PSSI masih terkena sanksi,†tambahnya.
Mantan Menteri Perhubungan ini juga semakin bingung adanya laranÂgan Kemenpora untuk pelaksanaan Pra PON yang akan digelar PSSI. PasÂalnya, dalam UU SKN pasal 1 (ayat 25), pasal 51 (ayat 2) dan pasal 89 (ayat 1) dijelaskan bahwa penyelenggara KeÂjuaraan Olah raga yang medatangkan masa penonton, wajib mendapatkan rekomendasi dari ‘Induk Cabang Olah Raga’ yang terdaftar pada ‘federasi InÂternasional’ (sesuai cabornya). Jika diÂlanggar, maka akan dikenakan sanksi pidana dua tahun penjara atau maksiÂmal denda satu miliar rupiah.
“Kalau sudah mengambil kepuÂtusan yang salah maka akan terus melakukan kesalahan. Perlu dicatat, pelaksanaan Pra PON itu merupakan wewenang PSSI selaku induk organÂisasi sepakbola. Jadi, kalau Pra PON tiÂdak digelar dan semua daerah mengiÂkuti pelaksanaan PON Jabar 2016 itu jelas pelanggaran,†tandasnya.
Di era globalisasi ini, kata Agum, peran pemerintah bukan dengan pendekatan kekuasaan. Tetapi, pemerintah harus menjadi fasilitator, regulator dan melayani.