AMSTERDAM TODAYÂ – Konflik Laut China Selatan kian memanas. Setelah Amerika Serikat memutusÂkan akan mensabotase kawasan laut ini, kini giliran Filipina yang meminÂta keetgas Pengadilan Tetap ArbiÂtrase Belanda. Kemarin, diputuskan bahwa otoritas China berkewajiban mendengar klaim teritorial yang diajukan Filipina melawan China di Laut China Selatan.
Manila mengajukan kasus itu pada 2013 demi mendapatkan haknya untuk mengeksploitasi zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut, atau sekitar 370k m di Laut ChiÂna Selatan, seperti yang diizinkan Konvensi PBB untuk Hukum KelauÂtan, UNCLOS.
Dilansir dari Reuters pada Jumat (30/10/2015), Pengadilan Tetap ArbiÂtrase di kota Den Haag, Belanda itu menolak klaim Beijing perihal keÂdaulatan teritorial dan mengatakan akan menggelar audiensi tambahan untuk mendengar argumen Filipina.
Sementara itu, China memÂboikot hasil tersebut dan menolak kewenangan pengadilan dalam kaÂsusnya. Beijing mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan sebagai miliknya, tanpa mengindahÂkan klaim dari Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei DarusÂsalam. Menurut pengadilan, mereka berwenang untuk mendengarkan tujuh gugatan Manila di bawah UNÂCLOS. Penolakan China untuk berÂpartisipasi “tidak menghilangkan yurisdiksi pengadilan.â€
Menteri Luar Negeri China, Liu Zhenmin, menyatakan pemerinÂtahnya tidak akan berpartisipasi maupun menerima hasil pengadiÂlan. “Hasil arbitrase ini tidak akan berdampak pada kedaulatan, hak, ataupun yurisdiksi China atas Laut China Selatan di bawah fakta historis dan hukum internasional,†kata Liu menerangkan.
“Dari keputusan ini, Anda dapat melihat bahwa tujuan Filipina bukan untuk menyelesaikan sengketa, tetaÂpi menolak hak China di Laut China Selatan dan membenarkan haknya sendiri,†ujar Liu.
Sementara, pemerintah Filipina menyambut baik hasil tersebut. PenÂgacara Jenderal Florin Hilbay, kepala pengacara Manila untuk kasus itu mengatakan keputusan pengadilan menunjukkan “langkah signifikan bagi usaha Filipina dalam mencari resolusi damai dan imbang untuk perselisihan antarpihak, serta klariÂfikasi haknya di bawah UNCLOS.â€
Sementara ahli Laut China SeÂlatan di Pusat Studi Strategis dan Internasional, Washington D.C., menyebutnya “tamparan keras bagi China, mengingat opini tersebut secara eksplisit menolak argumen China bahwa Filipina tidak cukup bernegosiasi tentang isu itu dengan China.â€
Amerika Serikat, aliansi dekat Filipina yang pekan ini menantang klaim teritorial Beijing dengan berÂlayar dekat pulau buatan mereka di Laut China Selatan turut menyamÂbut keputusan ini, menurut pejabat senior pertahanan AS.
“Ini menunjukkan isu peradilan berdasarkan hukum dan praktik inÂternasional seperti ini merupakan cara yang layak untuk setidaknya mengelola konflik teritorial bila beÂlum bisa menyelesaikannya,†tutur pejabat yang enggan mengungkap identitasnya.
Pejabat AS lainnya mengatakan keputusan ini berhasil memotong klaim China atas 90 persen wilayah Laut China Selatan, atau seluas 3,5 juta kilometer persegi.
Batasan yang kabur itu dipubÂlikasi secara resmi pada peta milik pemerintah nasionalis China tahun 1947, dan telah disertakan pada peta pemerintah komunis. “Anda tidak bisa mengatakan batasan itu tidak dapat disangkal lagi, karena dengan mengakui yurisdiksi, pengadilan telah menunjukkan bahwa memang ada sengketa,†kata pejabat AS terseÂbut. “Bagi saya, hasil pengadilan ini menyasar tepat di jantung klaim baÂtasan itu,†ujarnya.
Hasil pengadilan tersebut bersiÂfat mengikat, meskipun pengadilan tidak berhak memaksakannya dan tidak diindahkan oleh sejumlah negara.
Mengenai tujuh gugatan Filipina, salah satunya terkait pelanggaran China atas hak kedaulatan Filipina untuk mengeksploitasi wilayah lautÂnya, pengadilan menyebut akan meÂnampung penilaian tersebut hingga dapat menentukan arah kasus ini. Pengadilan belum menetapkan tangÂgal untuk audiensi berikutnya.
Pengadilan Tetap Arbitrase didirikan di Belanda pada tahun 1899 untuk mendorong resolusi daÂmai bagi percekcokan antarnegara, organisasi, dan pihak swasta. China dan Filipina adalah dua dari 117 negÂara anggotanya.
(Yuska Apitya/net)