JAKARTA, TODAY — AlhamdulilÂlahirobil alamin, dolar Amerika Serikat (USD) akhirnya lengser dari level Rp 14.000-an ke angka Rp 13.600. Bahkan para pengamat pasar uang memperkirakan, uang Paman Sam itu masih akan terus melemah terhadap mata uang GaÂruda sampai akhir tahun ini.
Rabu siang (7/102015), USD suÂdah lengser ke level Rp 13.880 dari penutupan pasar sehari sebelumÂnya di level Rp 14.170. Akhir tahun dolar AS bisa turun ke Rp 13.500.
Menurut analis OSO Securities Supriyadi kepada detikFinance, Rabu (7/10/2015), penguatan rupiÂah tersebut terjadi karena adanya keyakinan dari para investor bahÂwa The Federal Reserve (The Fed) tidak jadi menaikkan tingkat suku bunganya di tahun ini.
Sentimen positif tersebut akan mendorong penguatan rupiah atau pelemahan USD ke level Rp 13.000-an dengan asumsi staÂbilitas market luar negeri terÂjaga dan penyerapan anggaÂran pemerintah bisa dicapai sesuai target.
Namun, kata Supriyadi, USD akan kembali menguat jika bank sentral AS The Fed ternyata menaikkan tingkat suku bunganya di tahun ini. NaiÂknya suku bunga AS bisa menÂgerek USD ke level Rp 14.300 di akhir tahun. “Kalau Fed fund rate tahun ini naik, dolar AS menguat lagi, bisa sampa Rp 14.300,†ujar Supriyadi.
Kian perkasanya rupiah terhadap USD juga mengundang komentar Menko Perekonomian Darmin Nasution. Menurut dia, kondisi ini merupakan efek psikologis di pasar keuangan. InÂvestor menyambut baik dari paket keÂbijakan jilid II yang sudah diluncurkan pemerintah.
“So what? Bagus kan? Ini psikologis saja, artinya orang melihat kebijakan-kebijakan yang diambil, orang melihat macam-macam bahwa ini serius baik, itu membuat orang lebih optimistis,†ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Rabu (7/10/2015)
Meski demikian, sinyal penguatan rupiah sudah dimulai sejak The Fed memutuskan untuk tidak menaikan tingkat suku bunga acuan pada pekan lalu. “Sebetulnya sejak sebulan lalu, itu apalagi terutama setelah sudah pasti tidak ada kenaikan tingkat bunga The Fed itu sudah benar-benar lebih ke speÂkulasi itu,†ujarnya.
Menurut Darmin, kondisi penguaÂtan yang terjadi secara tajam, sama seperti ketika terjadinya pelemahan. Investor berbondong-bondong meletakÂkan dananya ke dalam negeri dan menÂdorong penguatan nilai tukar. “Begitu tembus Rp 14.000 orang ramai-ramai kemudian beli dolar. Nah, kira-kira kareÂna itu spekulasi ya sekarang juga begitu psikologisnya melihat wah ini menguat dia bergerak agak cepat,†pungkasnya.
Lengsernya USD dari level Rp 14.000-an ke level Rp 13.000-an sudah terjadi sejak Rabu pagi. Ternyata, otoÂritas moneter Indonesia butuh waktu satu bulan setengah untuk mendongkel USD dari angka Rp 14.000 ke angka Rp 13.000-an.
Seperti dikutip dari data perdaÂgangan Reuters, Rabu (7/10/2015), perÂtama kali USD menembus Rp 14.000-an adalah pada perdagangan Senin 24 Agustus 2015 lalu. Waktu itu, USD ditutup di Rp 14.047, dibandingkan posisi pada perdagangan akhir pekan sebelumnya Rp 13.950. Seperti terlihat dalam grafik ini.
Pada waktu itu, China dengan senÂgaja melemahkan mata uang yuan terhadap USD. Akibatnya, USD makin menguat dan ‘menghantam’ mata uang negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Penguatan USD waktu itu juga dipengaruhi oleh spekulasi naiknya tingkat suku bunga acuan AS oleh The Federal Reserve (The Fed) pada SepÂtember.
Nyatanya, Gubernur The Fed Janet Yellen malah menahan tingkat suku bunga AS tetap rendah di 0,25%. AkiÂbatnya, dana asing yang sebelumnya diÂtarik dari Indonesia sekarang balik lagi.
Dana-dana asing ini mulai masuk ke berbagai tempat, salah satunya adalah pasar modal. Pada perdagangan kemaÂrin, dan asing Rp 844,8 miliar masuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI).
(Alfian Mujani|detik)