Oleh: Yane Adrian
SEPULUH tahun yang lalu seorang sahabat saya melahirkan putri pertamanya. setelah lepas ASI dan muÂlai diberi makanan pendamping ASI saÂhabat saya tersebut tidak memberikan gula dan garam ke dalam makanan yang ia olah untuk buah hatinya. Menurutnya gula dan garam adalah racun. Hingga anak tersebut kini berusia 10 tahun ia tidak pernah merasakan manisnya gula dan asinnya garam. Bahkan keÂtika suatu hari anak tersebut sakit dan dokter memberi nya obat puyer yang pahit, ia hanya berkata, “Hmm.. enak, Bunda.â€
Saya ingat betul ketika Ayah saya (alm) mendengar cerita tersebut ia berkata, “Anak kok jadi percobaan..â€
Jadi percobaan atau tidak yang pasti sahabat saya itu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Karena baginya anak adalah investasi. Begitu pula dengan sahabat saya yang lain, ia tidak mau anaknya terserang penyakit apapun sekalipun hanya batuk pilek. setiap bulan ia membawa anaknya kontrol ke dokter hanya untuk memastiÂkan anaknya baik-baik saja. Karena baginya anak adalah investasi.
Anak adalah investasi.. berbagai cara dilakukan orang tua untuk memenuhi kewÂajibannya merawat dan mendidik putra puÂtri nya agar kelak menjadi insan paripurna.
Begitu pula dengan saya. Saya pun ingin putra-putri saya menjadi aset tak ternilai harganya 10-20 tahun yang akan datang. Karena bagi saya anak adalah inÂvestasi.
Semua orang tua pasti ingin memÂberikan yang terbaik pada putra-putri nya. Tapi kita dan anak-anak kita adalah mahÂluk sosial. kita tidak hidup sendiri. sebagai mahluk sosial kita tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada saat kita menjaga pola makan anak sehat dan seimbang di rumah, di sekolah anak-anak kita bersama teman-temannya malah jaÂjan makanan yang tidak terkontrol gizinya. Pada saat kita mendidik anak-anak kita mengurangi pemakaian gadget, teman-teÂmannya masih bersahabat dengan gadget bahkan anak kita menjadi anak-anak yang kudet (kurang update).
Di sinilah tantangan terbesar kita sebÂagai orangtua, mengelola hubungan baik dengan anak. Agar nilai-nilai yang kita tanamkan kepada anak mudah menyerap dan tidak terjadi tawar menawar, bahkan tidak terjadi pelanggaran.
Ketika pertama kali saya menerapkan peraturan bahwa putra-putri saya tidak boleh menggunakan gadget, yang diuji adalah konsistensi dan komitmen saya dalam menjalankan peraturan tersebut. Bagaimana saya harus terus kreatif menÂgalihkan perhatian putra-putri saya agar tidak tertuju pada gadget. Bagaimana saya harus terus mengingatkan mereka tentang dampak buruk gadget pada anak. Bagaimana saya menjelaskan perbedaan fungsi dan kerja otak manusia yang dipenÂgaruhi oleh gadget dan tidak. Bagaimana saya melatih meningkatkan empati merÂeka sebagai dampak positif hidup tanpa gadget. Bagaimana saya harus terus berÂjuang sendiri di antara jutaan orang tua yang msih membiarkan anak-anaknya berÂsahabat dengan gadget mereka.
Saya sebagai orangtua yang tidak memberikan gadget pada anak tidak sendÂirian. Saya bersama Steve Jobs (penemu Apple) yang tidak memberikan ipad kepaÂda anak-anaknya, alasan Steve Jobs adalah ia tidak ingin kehilangan waktu bermain bersama anak mereka. Ketika anak sudah asyik bermain gadget ia khawatir anak mereka tidak lagi peduli dengan lingkunÂgan dan sesama.
Semoga para orangtua di Kota Bogor bisa sama-sama menyelamatkan putra-putri mereka dari dampak negatif pengÂgunaan gadget terutama bagi anak-anak dibawah 15 tahun.
Awalnya memang sulit, tapi saya suÂdah melewatinya.
Saya bisa, Saya percaya orangtua yang lain pasti bisa. Karena anak adalah investaÂsi. (*)