Opini-2-Agus-Widjojo

 SETIAP menjelang 30 September, selalu muncul wacana tentang tragedi Gerakan 30 September 1965. Namun, wacana yang muncul masih terbagi dalam dua kelompok.

Oleh: AGUS WIDJOJO
Anak Pahlawan Revolusi

Kelompok pertama berpihak kepada kor­ban dari eks anggota Partai Komunis Indo­nesia (PKI) dengan pengembangannya berbentuk berbagai tuntutan: dimulai dari proses pengadilan bagi pelaku, reparasi bagi korban, hingga pem­bersihan nama PKI dengan dalih peristiwa ini akibat dari gejolak internal yang ada dalam TNI AD. Masih ada variasi kembangan bah­wa peristiwa ini berkaitan dengan peran asing, khususnya intelijen Amerika Serikat, yang berada di belakang TNI AD.

Di sisi lain, ada kelompok yang menyatakan PKI dalang dan bera­da di belakang peristiwa ini dalam rangka perebutan kekuasaan poli­tik dengan melakukan aksi ofensif terhadap TNI AD. Ini yang men­gakibatkan gugurnya tujuh pahla­wan revolusi yang jenazahnya ditemukan di lubang sebuah su­mur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, serta dua perwira menengah di Yogyakarta. Kelom­pok ini menolak keberadaan sega­la sesuatu yang berbau dan berkai­tan dengan komunisme dalam bentuk apa pun di Indonesia.

Rekonsiliasi Nasional

Keadaan ini menunjukkan, masyarakat dan bangsa kita masih belum dapat berdamai dan me­nutup masa lalunya. Kelompok-kelompok masyarakat yang punya kedekatan hubungan emosional, seperti anggota keluarga yang ter­libat dengan peristiwa tersebut, masih belum bisa mengadakan refleksi dan memberi jarak pada peristiwa tersebut. Pada dasarnya posisi kedua kelompok ini masih belum berubah dari posisi mereka ketika peristiwa ini terjadi pada 1965. Dapat kita katakan, dilihat dari perspektif tragedi 1965 kedua kelompok ini, Indonesia masih be­rada dalam tahun 1965.

Telah ada tanda-tanda upaya pemerintah untuk mencari pe­nyelesaian atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Namun, semua upaya terse­but tidak sampai berwujud pada bentuk konkret. Telah ada per­nyataan publik Jaksa Agung yang menyatakan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan melalui cara non-yudisial dalam bentuk rekonsiliasi. Terlepas dari benar atau tidaknya rumor, pernah bere­dar juga bahwa pemerintah akan minta maaf, khususnya kepada korban dari keluarga eks anggota PKI. Kesimpangsiuran informasi yang ada dan belum berkembang­nya rencana pemerintah dapat di­katakan disebabkan oleh tidak ad­anya pemahaman tentang konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, khususnya yang akan diselesaikan melalui rekonsiliasi.

Sebagai prinsip, pertama-tama dapat dikatakan bahwa semua tindakan pelanggaran HAM berat idealnya diselesaikan melalui pen­gadilan. Hanya pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan— karena tak memenuhi syarat— yang dapat diselesaikan melalui penyelesaian non-yudisial dalam bentuk rekonsiliasi. Mandat untuk penyelesaian melalui rekonsiliasi ini kita dapatkan dalam Pasal 47 a Bab X Ketentuan Penutup UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Dalam UU tersebut din­yatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang ter­jadi sebelum berlakunya UU ini tidak menutup kemungkinan di­lakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Juga dalam UU itu dinyatakan, pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Walaupun dise­butkan terdapat 10 bentuk keja­hatan terhadap kemanusiaan, din­yatakan bahwa pelanggaran HAM berat dipersyaratkan memenuhi ketentuan perbuatan yang dilaku­kan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui ditujukan langsung terh­adap penduduk sipil. Oleh karena itu, pelanggaran HAM berat meru­pakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang spesifik.

Agar rekonsiliasi dapat terca­pai, perlu dipenuhi beberapa per­syaratan. Berbeda dengan tujuan proses pengadilan untuk mem­buktikan seseorang bersalah atau tidak, rekonsiliasi lebih bersifat berimbang dari upaya pembuk­tian suatu kesalahan dengan per­hatian yang perlu diberikan ke­pada korban serta tidak terulang kembalinya peristiwa serupa pada generasi anak-cucu kita di masa depan. Pada akhirnya, rekonsiliasi bertujuan untuk memulihkan har­kat dan martabat manusia dalam masyarakat baru Indonesia yang telah berdamai dan menutup masa lalunya.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Untuk mencapai tujuan itu, rekonsiliasi terdiri atas empat elemen yang perlu dicapai se­cara seimbang. Elemen tersebut adalah keadilan, pencarian ke­benaran, reformasi kelembagaan, dan reparasi. Dalam negara yang tengah mengalami masa transisi dari rezim pemerintahan otoritar­ian menuju demokrasi, terkadang lebih realistis untuk memilih opsi yang mungkin dilaksanakan dari­pada opsi yang ideal, tetapi tak mungkin diwujudkan. Memak­sakan penyelesaian suatu kasus pelanggaran HAM yang berat melalui proses pengadilan dalam masa transisi mengandung risiko tak mencapai tujuan keadilan re­tributif, malah bisa berakibat seba­liknya. Negara-negara dalam masa transisi menghadapi pilihan berat dalam upaya memberi keseimban­gan antara imperatif keadilan dan rekonsiliasi dengan realitas politik untuk mengendalikan impunitas.

Keadilan, perdamaian, dan demokrasi bukan merupakan sasaran yang eksklusif terpisah satu dengan yang lain, tetapi merupakan imperatif yang saling memperkuat dan memerlukan perencanaan strategis, kesatuan rencana, dan penahapan yang cer­mat. Elemen pencarian kebenaran jadi penting sebagai wujud dari hak korban atas kebenaran. Pen­carian kebenaran cara yang pent­ing untuk menyembuhkan luka lama, mengidentifikasi korban, meningkatkan akuntabilitas terha­dap para pelaku, dan mengiden­tifikasi kelemahan dalam sistem atau pembuatan kebijakan untuk dapat kita perbaiki dalam elemen reformasi kelembagaan sebagai bagian keadilan transisional.

Reparasi merupakan proyek pemerintah yang dapat me­nyatakan pengakuan kepada mer­eka yang hak-hak dasarnya telah dilanggar, meliputi pengakuan atas pelanggaran atas hak korban, pengakuan atas tanggung jawab negara, dan pengakuan terhadap cedera yang diderita korban seb­agai akibat dari tindak kekerasan. Reparasi simbolis dapat ber­bentuk pernyataan penyesalan, penentuan hari-hari peringatan, pembangunan monumen atau museum. Yang terpenting di sini adalah bahwa semua tentang kes­alahan apa yang dilakukan dalam kaitan dengan kewenangan ber­bagai lembaga, hubungan antara kewenangan lembaga, serta kewa­jiban untuk patuh pada berbagai peraturan perundang-undangan yang ada perlu diidentifikasi se­hingga menjelaskan mengapa sampai terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan ter­hadap kemanusiaan pada sesama bangsa. Kelemahan dan kesala­han itulah yang perlu kita koreksi dalam elemen reformasi kelem­bagaan untuk menjamin agar peristiwa serupa tidak terulang.

Demi Kepentingan Bangsa

Dari uraian di atas, jelas bah­wa rekonsiliasi bukanlah konsep upaya mementingkan salah satu kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan. Rekonsiliasi bukan untuk membuktikan siapa salah dan benar. Rekonsiliasi juga bukan untuk menjustifikasi tun­tutan salah satu pihak terhadap pihak lain. Rekonsiliasi adalah upaya penyelesaian konflik yang selalu berpihak pada kepentingan bangsa. Rekonsiliasi pada hakikat­nya harus lahir dari kesepakatan dan kemauan kuat untuk menu­tup masa lalu dan membangun masa depan. Menutup masa lalu dengan memaafkan, tetapi tidak melupakan. Tidak melupakan di sini diartikan tidak serta-merta meninggalkan ingatan terhadap peristiwa, tetapi kita harus dapat menarik pelajaran dari kesalahan masa lalu, memperbaikinya, dan menjamin agar peristiwa serupa tidak terulang.

Menjadi jelas, menutup masa lalu tidaklah sesederhana hanya dengan permintaan maaf pemer­intah kepada korban PKI. Logika dari kebijakan seperti ini hanya akan melahirkan pertanyaan apakah kesalahan hanya terle­tak pada pemerintah sehingga pemerintah yang berkewajiban meminta maaf? Apakah korban hanya di pihak eks anggota PKI sehingga permintaan maaf hanya ditujukan kepada korban eks anggota PKI? Rekonsiliasi ini bu­kan diadakan untuk kepentingan korban eks anggota PKI dan ke­luarganya. Rekonsiliasi memiliki lingkup bangsa dan jika kita ingat bahwa tragedi 1965 merupakan puncak perebutan kekuasaan politik dari tiga kekuatan politik terbesar pada saat itu, yaitu Pres­iden Soekarno, PKI, dan TNI AD, di sini kita harus melawan lupa terhadap memori institusional tiga kekuatan politik tersebut un­tuk membuka jalan bagi rekonsi­liasi nasional tragedi 1965.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Tidak boleh kita lupakan, proses politik yang memuncak pada tragedi 1965 merupakan proses sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelum 1 Oktober 1965. Oleh karena itu, apabila kita men­guji kemampuan bangsa untuk melaksanakan rekonsiliasi nasi­onal berdasarkan model tragedi 1965, kita tidak bisa berawal han­ya dari tanggal 1 Oktober 1965. Untuk melawan lupa, kita pun perlu melihat yang diperbuat PKI pada 1948 di Madiun. Tragedi 1965 dapat dilihat sebagai pengulangan perjuangan ideologis PKI dengan menggunakan metode dan cara yang sama. Tentu hal ini berlaku juga bagi TNI AD dalam catatan institusionalnya. Namun, jangan dilupakan, TNI AD saat ini telah melaksanakan reformasi kelem­bagaan sehingga apabila dipenuhi persyaratan otoritas politik yang kompeten dan efektif, tindakan yang dilakukan TNI AD pada masa lalu—khususnya pasca tragedi 1965—tidak dapat diulangi. Hal ini merupakan jaminan tidak beru­langnya peristiwa serupa di masa mendatang.

Terhadap perspektif korban eks anggota PKI dan keluarganya bahwa banyak di antara mer­eka telah jadi korban—baik kor­ban jiwa maupun dirampasnya hak-hak dasar mereka sebagai warga negara tanpa pengadilan dan hak membela diri—apabila memang terjadi, mengapa itu ti­dak dicatat sebagai pengalaman pahit bangsa dan diakui sebagai kenyataan? Akan tetapi, dalam rekonsiliasi, persoalannya tidak berhenti di situ. Rekonsiliasi ti­dak hanya untuk mencari akunt­abilitas dan memberi justifikasi terhadap tuntutan korban, tetapi juga untuk kepentingan bangsa. Rekonsiliasi mencari penyelesaian yang melampaui itu semua, yaitu mencari jawaban atas pertanyaan: mengapa saling bunuh antarsesa­ma anak bangsa bisa terjadi?

Terhadap tuntutan golongan yang menyatakan tidak ada tem­pat bagi ideologi komunis di bumi Indonesia, sebenarnya itu sudah otomatis mengandung kebenaran. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pan­casila dan Pembukaan UUD 1945 memang tidak ada tempat bukan saja bagi komunis, melainkan juga ideologi lain. Rekonsiliasi meru­pakan kesepakatan bangsa untuk belajar dari kesalahan yang dilaku­kan oleh bangsa ini di masa lalu guna menutup masa lalu tanpa melupakan, mengawali era baru untuk menatap masa depan yang tidak memberi kemungkinan bagi terulangnya peristiwa kelam bang­sa di masa lalu.

Membuat Lembaran Baru

Oleh karena itu, rekonsiliasi tidak bisa dibangun atas pendeka­tan hitam-putih dan zero-sum game. Untuk itu, diperlukan kese­diaan berkorban dari setiap pihak untuk menggantikan mitos-mitos lama yang berawal dari konflik dengan nilai-nilai baru berdasar­kan orientasi ke masa depan dan kesepakatan untuk membuat lem­baran membangun masyarakat baru melalui pemulihan harkat dan martabat manusia.

Rekonsiliasi bagi masyarakat dan bangsa Indonesia masih sulit dimulai. Salah satu sebab utaman­ya, pengertian rekonsiliasi dipa­hami secara awam oleh golongan yang terlibat konflik: masih digu­nakan untuk kepentingan setiap pihak. Keadaan seperti ini tak menguntungkan bagi terlaksanan­ya rekonsiliasi. Apabila rekonsilia­si tidak mampu kita laksanakan, hal itu hanya akan mencoreng ci­tra bangsa Indonesia yang bukan saja tidak punya keberanian untuk berdamai dengan masa lalunya, melainkan juga menunjukkan tingkat keadaban bangsa yang rendah. Hanya dengan melakukan rekonsiliasi nasional yang berawal dari introspeksi pihak-pihak ter­kait, melalui kejujuran untuk meli­hat kesalahan yang dilakukan oleh golongan sendiri, kita bisa melihat derajat dan martabat keadaban bangsa untuk sama dengan bang­sa-bangsa lain yang telah berusaha menutup masa lalunya, seperti Jerman, Afrika Selatan, Kamboja, dan Timor Leste.

Tragedi 1965 merupakan sebuah model yang dapat di­jadikan ujian bagi masyarakat Indonesia apakah kita mampu melaksanakan rekonsiliasi nasi­onal guna memulihkan martabat bangsa agar sejajar dengan marta­bat dan peradaban bangsa-bangsa lain di dunia. Perlu kejernihan hati, kebesaran jiwa, dan kebera­nian untuk melakukan itu. (*)

============================================================
============================================================
============================================================