Opini-2-Agus

Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
Praktisi Pendidikan di MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor & Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengangguran umumnya disebabkan karena jum­lah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jum­lah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengang­guran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menye­babkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Se­bagaimana Sudirman Nasir menye­butkan bahwa terjadinya kemiski­nan, pengangguran dan kesenjangan pendapatan dapat memicu dan memperburuk masalah sosial bah­kan menimbulkan tindakan krimi­nalitas dan perilaku berisiko seperti kekerasan dan penyalahgunaan nar­kotika dan zat adiktif lainnya yang bisa berujung pada pemenjaraan, cedera kesakitan, hingga kematian. (Republika, 14/9/2015)

Angka pengangguran di Indo­nesia, sampai dengan Februari 2015 mencapai 5,81% dari total jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak 128,3 juta orang yang bertambah sebanyak 6,4 juta orang dibanding Agustus 2014 atau bertambah sebanyak 3,0 juta orang dibanding Februari 2014 (bps.go.oi.2015) hal tersebut ti­dak menutup kemungkinan untuk terus memperbesar angka persen­tase akibat pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah 255 juta jiwa dan terus meningkat setiap tahunnya.

Yang lebih memprihatinkan lagi, 30% dari jumlah tersebut adalah masyarakat yang bergelar diploma dan sarjana yang notabene memiliki kapasitas lebih diband­ingkan dengan lulusan SMA/SMK sederajat dan jenjang dibawahnya. Padahal setiap tahunnya, berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta telah mencetak ratusan ribu lulusan dengan berbagai kon­sentrasi ilmu. Sehingga julukan “pencetak pengangguran terdidik” pun seringkali disematkan kepada perguruan tinggi di Indonesia. Selain itu terbatasnya jumlah la­pangan kerja yang tersedia kerap dijadikan alasan mengapa lulusan sarjana dengan titel fresh graduate kesulitan dalam mencari peker­jaan. Tentunya informasi-informa­si di atas menggambarkan suatu masalah serius yang berdampak panjang pada tingkat kesejahter­aan masyarakat, pendapatan per kapita, maupun pertumbuhan eko­nomi secara nasional.

Berdasarkan fenomena di atas, menurut hemat penulis salah satu upaya yang dapat dilakukan un­tuk meminimalisasi penganggu­ran tersebut adalah memberikan pendidikan kewirausahaan (entre­preneurship) di sekolah semenjak dini. Sehingga para siswa memiliki bekal spirit yang tinggi yaitu man­diri, berani menanggung resiko dan mampu memanfaatkan pelu­ang sekecil apapun serta memiliki jiwa tidak mudah menyerah.

Pendidikan Entrepreneurship

Pendidikan yang diberikan kepada anak didik di sekolah haruslah mencakup tiga aspek yaitu: kognitif, afektif, dan psiko­motorik. Kecenderungan pendi­dikan kita sekarang adalah lebih tertumpu kepada aspek kognitif, seperti hafalan dan kurang mem­perhatikan kedua aspek lainnya, sehingga makin membuat anak didik kurang tanggap dan tangguh dalam menghadapi sesuatu ma­salah yang baru. Akibatnya, peser­ta didik cenderung mengejar nilai yang tinggi dan lulus dengan baik, tetapi mereka kurang mengerti akan subtansi keilmuannya.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Keberhasilan seseorang dalam kehidupannya bukan semata-mata ditentukan oleh tingkat in­telegensinya yang tinggi, akan tetapi juga oleh faktor-faktor lain­nya. Tingkat kecerdasan kira-kira hanya menyumbang 20-30 persen keberhasilan, selebihnya diten­tukan oleh soft skills. Penelitian NACE (National Association of Col­leges and Employers) pada tahun 2005 menunjukkan hal tersebut, di mana pengguna tenaga kerja membutuhkan keahlian kerja berupa 82 persen soft skill dan 18 persen hard skills (misal nilai atau indeks prestasi yang tinggi).

Soft skills menurut Berthall (dalam Diknas, 2008) adalah tingkah laku personal dan inter­personal yang dapat mengem­bangkan dan memaksimumkan kinerja seseorang manusia (misal pelatihan, pengembangan kerja sama tim, inisiatif, pengambilan keputusan dll). Dengan demikian kemampuan soft skills tercermin dalam perilaku seseorang yang memiliki kepribadian, sikap dan perilaku yang dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Selaras dengan kemampuan soft skills, maka para peserta didik per­lu dibekali dengan pendidikan ke­mampuan kewirausahaan (entre­preneurship) yang handal. Dengan dibekali pengetahuan kewirausa­haan yang cukup, maka para lulu­san mempunyai kemauan, kebera­nian dan kemandirian, sehingga tidak merasa kebingungan ketika harus memasuki pasaran kerja.

Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pendidikan kewirausahaan ini sudah terstruktur di dalam kurikulum sejak tahun 1999. Bah­kan Departemen Pendidikan Nasi­onal melalui Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan meluncurkan suatu program khusus yaitu Pro­gram Kelas Wirausaha. Program ini dikembangkan di SMK sesuai dengan program keahliannya masing-masing. Sehingga masing-masing sekolah dapat memilih program keahlian yang menjadi unggulan yang paling memung­kinkan untuk mengembangkan po­tensi wirausaha siswa. Penekanan utama program kelas wirausaha/ entrepreneurship ini adalah pada proses membangun dan mengem­bangkan jiwa wirausaha dimana di dalamnya para siswa SMK belajar menekuni suatu jenis usaha den­gan mengelola usaha sendiri, men­gatasi masalah, menemukan kiat-kiat dalam usaha meraih sukses secara kompetitif. Dalam program ini siswa di dorong untuk berani melihat peluang usaha, merancang dan mencoba sesuatu jenis usaha yang ingin dibangunnya. Untuk merealisasikan gagasannya dalam membangun bidang usaha, siswa dilatih dan dibina oleh para guru atau tenaga praktisi maupun pa­kar yang berpengalaman di bidang kewirausahaan/entrepreneurship.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Pendidikan kewirausahaan/ entrepreneurship ini perlu juga ki­ranya dikembangkan mulai dari SD, SMP, SMA dan bahkan sampai Per­guruan Tinggi. Apalagi dengan Kuri­kulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dipakai sekarang ini dimana sekolah dapat menyusun sendiri kurikulumnya sesuai den­gan kebutuhan masing-masing, dan Kurikulum 2013 yang lebih menitik­beratkan pada penggalian minat, bakat dan potensi siswa, maka san­gat memungkinkan sekali pendidi­kan kewirausahaan/entrepreneur­ship diintegrasikan di dalamnya. Dalam pelaksanaannya pendidikan kewirausahaan/entrepreneurship tersebut bisa dimasukkan ke dalam pelajaran muatan lokal atau melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler.

Di beberapa sekolah SMP dan SMA misalnya, mereka sudah mu­lai menerapkan pendidikan kewi­rausahaan tersebut. Ternyata siswa-siswanya sangat antusias sekali untuk mengikutinya karena pendi­dikan kewirausaan/entrepreneur­ship tersebut dapat mengembang­kan kemampuan soft skills mereka.

Dengan diterapkannya pen­didikan kewirausahaan/entrepre­neurship di sekolah-sekolah, maka para siswanya mendapatkan bekal pengetahuan yang cukup tentang berwirausaha. Dengan bekal pen­getahuan tersebut setelah tamat nanti mereka diharapkan dapat memanfaatkannya untuk melaku­kan usaha secara mandiri, sehingga mereka tidak perlu sibuk melamar pekerjaan kesana-kemari dengan menyodorkan ijazah mereka. Kalau pendidikan kewirausahaan ini ber­hasil, maka akan muncul wirausa­hawan-wirausahawan baru yang memberikan kesempatan kerja kepada orang lain sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja.

Dengan demikian maka secara tidak langsung akan dapat men­gurangi angka pengangguran dan membantu pemerintah dalam mengembangkan dan memperkuat perekonomian negara. Untuk men­jadi negara maju maka negara kita harus banyak melahirkan wirausa­hawan-wirausahawan baru, sebab sebuah negara dikatakan maju apa­bila memiliki dua persen wirausa­hawan dari jumlah penduduknya.

Di Amerika Serikat, misalnya, terdapat sekitar 11 persen wirausa­hawan dari jumlah penduduk, Singapura, sekitar 7 persen, dan Indonesia baru sekitar 0,18 pers­en. Oleh sebab itu maka sudah saatnya sekolah-sekolah mulai menanamkan pendidikan kewi­rausahaan atau entrepreneurship sejak dini kepada siswa-siswanya sehingga nanti akan banyak la­hir wirausahawan-wirausahawan muda yang tangguh dan mandiri yang sangat dibutuhkan untuk membangun negeri tercinta ini.

Dengan pendidikan kewi­rausahaan (entrepreneurship) sejak dini dan masuk pada kuri­kulum pendidikan, maka diharap­kan akan melahirkan pengusaha-pengusaha muda yang tidak lagi kesulitan dalam mencari peker­jaan namun mampu menciptakan lapangan kerja sendiri sehingga mampu menyerap tenaga kerja secara lokal maupun interlokal. Bahkan dirinya akan siap meng­hadapi persaingan global seperti MEA (Masyarakat Ekonomi ASE­AN) yang sudah di depan mata. (*)

============================================================
============================================================
============================================================