JAKARTA TODAY – Manajer Adovasi Forum Indonesia un­tuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi menya­takan, Kementerian Keuangan (Kemkeu) merupakan kemen­terian yang paling merugikan negara. Kemkeu juga dinilai berpotensi besar merugikan negara di masa mendatang.

Apung mengungkapkan hal tersebut berdasarkan lapo­ran Badan Pemeriksa Keuan­gan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2015.

IHPS I 2015 disusun dari 10.154 temuan yang memuat 15.434 permasalahan, yang meliputi 7.544 (48,88 persen) permasalahan kelemahan Sis­tem Pengendalian Internal (SPI) dan 7.890 (51,12 persen) permasalahan ketidakpatu­han terhadap ketentuan pera­turan perundang-undangan senilai Rp 33,46 triliun. Dari permasalahan ketidakpatuhan itu, sebanyak 4.609 atau 58,42 persen merupakan permasala­han berdampak finansial se­nilai Rp 21,62 triliun.

Laporan BPK tersebut dib­agi menjadi tiga kategori, yaitu kerugian negara, potensi keru­gian negara, dan kekurangan penerimaan negara.

Kerugian negara tercatat sebanyak 3.030 (65,74 persen) permasalahan senilai Rp 2,26 triliun; potensi kerugian ne­gara 444 (9,63 persen) per­masalahan senilai Rp 11,51 triliun; dan kekurangan pen­erimaan negara sebanyak 1.135 (24,63 persen) permasalahan senilai Rp 7,85 triliun.

“Dari laporan BPK ini, kami kaji lagi dan dapat disimpulkan bahwa Kemenkeu merupakan kementerian paling merugikan negara, dengan total Rp 111,57 miliar. Ini berarti pengeluaran Kemenkeu dengan nilai terse­but tidak dapat dipertang­gungjawabkan oleh mereka,” kata Apung saat konferensi pers di Kantor FITRA, Jakarta Selatan, Kamis (8/10).

BACA JUGA :  Kecelakaan Toyota Innova di Lampung Terjun ke Jurang

Posisi selanjutnya sebagai kementerian paling merugikan negara diduduki oleh Kemente­rian Hukum dan Hak Asasi Ma­nusia sebesar Rp 32,45 miliar; Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp 19,30 miliar; Kementerian Per­hubungan Rp 16,35 miliar; dan Kementerian Energi dan Sum­ber Daya Mineral Rp 11,49 miliar.

“Ini berarti tata kelola keuangan kementerian terse­but tidak bagus. Ternyata just­ru Kemenkeu yang paling tidak bagus dalam mengelola keuan­gannya,” kata Apung.

Sementara itu, lima ke­menterian yang paling berpo­tensi merugikan negara, yaitu Kementerian Sosial Rp 267,95 miliar; Kemkeu Rp 248,41 mil­iar; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 218,94 miliar; Kementerian Pertanian Rp 65,33 miliar; dan Kemente­rian Luar Negeri Rp 8,21 miliar.

“Ini berarti sudah ditemu­kan ada kerugian negara di kementerian tersebut namun masih ditunggu pertanggung­jawabannya,” tutur Apung.

Bukan hanya dapat “nilai merah” dalam dua laporan itu, Kemkeu juga menduduki per­ingkat teratas dalam rapor buruk kekurangan penerimaan negara.

BACA JUGA :  Penemuan Mayat Lansia Terlungkap Gegerkan Warga Kota Padang

Tercatat ada lima kemen­terian yang dapat nilai buruk dalam laporan tersebut, yaitu Kemkeu Rp 3,745 triliun; Ke­menterian ESDM Rp 358,64 miliar; Kementerian Tenaga Kerja Rp 116,23 miliar; dan Ke­menterian PU-Pera Rp 16,36 miliar.

“Berarti masih banyak pe­rusahaan yang belum ditarik pajaknya oleh Kemkeu,” ujar Apung.

Apung berpendapat, te­muan ini harus ditindaklan­juti oleh Presiden Joko Widodo dengan mengevaluasi kinerja menteri Kabinet Kerja. Pen­egak hukum juga harus mem­proses temuan BPK tersebut.

“Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga harus memanggil kementerian-kementerian dan mempertanyakan mengapa samapi merugikan negara. BPK juga harus independen, apalagi melihat anggotanya sekarang banyak yang bekas politisi,” kata Apung.

Ia menyayangkan telah dibubarkan Badan Akuntabili­tas Keuangan Negara (BAKN) beberapa bulan lalu. Padahal BAKN dapat menindaklanjuti penyimpangan yang berujung pada kerugian negara tersebut.

“Dulu bisa langsung diusut BAKN. Sekarang karena sudah tidak ada BAKN, kerugian ne­gara cenderung didiamkan be­gitu saja. Sudah dilimpahkan ke polisi tetapi belum tentu ditindaklanjuti,” katanya.

(Yuska Apitya/net)

============================================================
============================================================
============================================================