Foto : Net
Foto : Net

Perhimpunan Bank- Bank Umum Nasional (Perbanas) meminta Bank Indonesia (BI) untuk merelaksasi dua hal penting terkait kredit pemilikan rumah (KPR). Yaitu melonggar­kan aturan KPR rumah kedua dan ketiga untuk diperbole­hkan berstatus inden. Serta menghentikan pemakaian ap­praisal dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) baik untuk price list rumah dan juga progress pembangunan properti.

Penggunaan jasa appraisal tersebut menurut bankir mort­gage mengerek biaya pembangunan KPR menjadi tinggi. “Kami menghimbau dan akan mengirimkan kembali surat kepada Bank Indonesia un­tuk mengoreksi kebijakannya terkait KPR inden,” kata Sigit di Jakarta, Kamis (29/10).

Joice Farida, Senior Vice President Consumer Credit Division Bank Rakyat Indo­nesia (BRI) mengungkapkan, relaksasi inden KPR untuk rumah kedua dan ketiga ber­tujuan untuk mempercepat roda perekonomian. Dengan dilarangnya KPR inden untuk hunian kedua dan seterusnya, kata Joice, mengakibatkan terjadi pergeseran komposisi cara bayar beli rumah oleh masyarakat.

Jika sebelumnya komposisi cara bayar rumah didominasi oleh KPR yang mencapai 85% selanjutnya pembayaran cici­lan bertahap 10% dan tunai 5%, pasca BI mengeluarkan aturan pelarangan inden untuk rumah ke-dua dan seterusnya, pola masyarakat membayar KPR jadi didominasi oleh cicilan bertahap yang mencapai 60%, tunai tetap 5% dan KPR hanya 35%. “Ini yang membuat per­tumbuhan KPR di perbankan kecil,” kata Joice.

Selain itu, tujuan utama diberlakukannya pelarangan inden bagi hunian ke-dua dan seterusnya telah membuat tu­juan pengereman bubble harga properti oleh Bank Indonesia, tercapai. Meski pada kenyataannya, kata Joice, sampai saat ini tidak terjadi bubble harga properti. Selain itu, pen­gereman selama lebih dari dua tahun ini dirasa sudah lebih dari cukup oleh industri per­bankan.

BACA JUGA :  Wajib Cobain Ini! Resep Sambal Teri Cabe Hijau yang Mantul

Relaksasi lain yang diper­lukan adalah penghentian pemakaian appraisal dari KJPP yang membuat high cost dan harus ditanggung oleh kon­sumen. Penggunaan appraisal yang ada di PBI nomor 17, menurut perbankan sedikit over dosis, lantaran selama ini, pe­nilaian yang dilakukan oleh ap­praisal independen mengacu atas barang jadi.

“Tapi dengan ketentuan LTV ini, KJPP dipaksa untuk menilai barang yang belum jadi yaitu price list KPR dan KPR indent. Menilai harga properti inden berbeda dengan menilai objek yang su­dah progress. Rumus penila­ian properti inden menurut kami sebagai praktisi, menjadi tidak sesuai dengan praktik di Indonesia, karena situasinya belum memungkinkan untuk diterapkan secara langsung,” jelas Joice.

Ia mencontohkan, kewa­jiban prasyarat dokumen harus lengkap di awal. Padahal pada kenyataannya saat ini di Indo­nesia, IMB untuk apartemen baru terbit setelah bangunan fisik apartemen sudah jadi. Selain itu, memecah sertifikat dari sertifikat induk pun me­merlukan waktu.

Menurutnya, over dosis pemakaian apresal ini me­nyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena satu kali menilai mengeluarkan biaya Rp 1 juta. Padahal, kata Joice, perban­kan pun memiliki SDM yang ditunjuk sebagai appraisal. “Kami mengusulkan kepada BI kalau boleh gunakan saja SDM perbankan yang memiliki ser­tifikasi. Kalau perlu dilakukan uji sertifikasi setiap dua tahun sekali,” ujarnya.

Sebab, kata Joice, SDM per­bankan pun tak kalah dengan appraisal independen dari KJPP. Sebab, SDM perbankan pun memiliki kredibilitas, in­dependensi serta integritas. Se­lain itu, sebaran KJPP di Indo­nesia pun masih belum merata. Sedangkan SDM perbankan ada disetiap kantor cabang.

BACA JUGA :  Buah dan Sayur Segar dan Tahan Lama dengan 5 Cara Menyimpan yang Baik dan Benar

“Kami butuh tanggapan segera dari BI untuk relak­sasi ini. Kalau dulu appraisal hanya digunakan saat bangu­nan sudah jadi, sekarang saat price list dan progress bangu­nan pun dinilai. Ini membuat ekonomi menjadi tinggi dan biayanya harus ditanggung oleh konsumen,” ungkap Joice.

Dalam kesempatan yang sama, Djojo Boentoro, Head Mortgage Division Maybank Indonesia mengungkapkan, sejak aturan pelarangan KPR inden untuk hunian kedua dan seterusnya dikeluarkan oleh BI mulai September 2013 lalu, kredit properti mengalami pe­nurunan baik dan hingga Agus­tus 2015, kredit properti hanya tumbuh 4,1% secara year to date dan 7,5% secara tahunan.

“Perlambatan pertumbu­han sektor properti masih ter­jadi sampai sekarang meski BI telah menerbitkan SE BI untuk relaksasi besaran LTV. Yang menyandera pertumbuhan sebetulnya adalah inden yang diperbolehkan hanya untuk KPR pertama. Ini yang perlu relaksasi lanjutan,” jelas Boen­toro.

Himbauan seluruh bankir mortgage ini, kata Boentoro dapat mempercepat pertum­buhan kredit dan juga per­tumbuhan ekonomi secara nasional. Relaksasi ini perlu cepat dikeluarkan oleh bank sentral Indonesia, karena do industri properti, ada 137 sek­tor industri lain yang terkait dengan properti dan saat ini mengalami penurunan jumlah hanya menjadi 120 subsektor industri lain. “Kalau propertinya bisa bergerak sedikit maka akan mempengaruhi yang lain. Itu yang kami harapkan,” ung­kapnya.

Oleh : Adilla Prasetyo
[email protected]

============================================================
============================================================
============================================================