145690_04135726062015_indriyanto-seno-adji

Oleh: INDRIYANTO SENO ADJI
Plt Wakil Ketua KPK; Guru Besar Hukum Pidana UI

Betapa tidak, pen­egakan hukum di alam demokrasi ini akan se­lalu melihat orientasi balanced of interest di antara tiga pilarnya: masyarakat, negara, dan penegak hukum itu sendiri. Eksistensi tiga pilar itu memiliki fungsi checks and bal­ances untuk memperoleh hasil akhir berupa penegakan hukum yang adil dan sejati.

Korupsi Sistemik

Sebelum membahas isu po­kok perspektif hukum ini, perlu dikedepankan bahwa persoalan korupsi tetap akan menjadi fokus monopoli penegakan hukum, khususnya terkait peran strategis Kejaksaan Agung, Polri, KPK, mau­pun pengadilan. Korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan meru­pakan bukti bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya yang tumbuh subur sejalan dengan kekuasaan ekonomi, hukum, dan politik. Layaknya penyakit, maka korupsi jenis ini dikategorikan sebagai penyakit misterius yang kadar penyembuhannya sangat minim dan selalu jadi uji coba bagi penanggulangannya. Hasil­nya pun kadang kala sudah dapat diprediksi secara pesimistis, yaitu tidak searah dengan kebijakan masyarakat untuk memberantas korupsi.

Secara konseptual-pada nega­ra berkembang-pemikiran bahwa korupsi sistemik atau kelem­bagaan adalah bagian dari kekua­saan, bahkan bagian dari sistem itu sendiri. Karena itu, ada yang berpendapat, penanggulangan terpadu adalah dengan memper­baiki sistem yang ada.

Penegasan itu terlihat pada Kongres Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang “Prevention of Crime and the Treatment of Of­fenders” di Milan tahun 1985, membicarakan suatu tema yang tidak klasik sifatnya, yaitu “Di­mensi Baru Kejahatan dalam Kon­teks Pembangunan”. Dalam salah satu hasil pembicaraan tentang “dimensi baru” ini, yang disorot adalah tentang terjadi dan menin­gkatnya “penyalahgunaan kekua­saan”. Penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang ekonomi ini melibat­kan pihak-pihak “upper economic class” (para konglomerat) mau­pun “upper power class” (peny­elenggara tinggi negara). Mereka berkonspirasi dan bertujuan un­tuk kepentingan ekonomi, bahkan kepentingan politik dari kelompok tertentu. Alhasil, dalih mereka mendukung pemberantasan ko­rupsi sekadar gerakan simbolis kelembagaan, dengan tujuan akhir pada akhirnya melakukan pelema­han terhadap penegakan hukum.

Dalam menyikapi proses hu­kum tersebut, polemik menjadi wajar bila masyarakat memiliki harapan berkelebihan searah dengan kewenangan progresif dari peradilan tersebut. Segala bentuk, cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bagian dari tatanan pemberantasan korupsi. Namun demikian, independensi haruslah diselaraskan dengan tata cara norma regulasi, mengingat komunikasi diharapkan searah tanpa adanya miskomunikasi yang justru akan menciptakan disinte­grasi kelembagaan.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Kejahatan Struktural

Bentuk kejahatan struktural sebagai korupsi sistemik inilah yang memasukkan format korupsi sebagai bagian dari kejahatan ter­organisir. Korupsi yang melanda hampir seluruh dunia ini meru­pakan kejahatan struktural yang meliputi sistem serta organisasi dan struktur yang baik. Oleh kare­na itu, korupsi menjadi begitu san­gat kuat dalam konteks perilaku politik dan sosial.

Dalam kaitan ini perlu diper­hatikan beberapa pendekatan antisipasi perspektif korupsi, khu­susnya usaha dan metode pelema­han kelembagaan dengan berlind­ung di balik penguatan KPK, yaitu inisiatif DPR bagi revisi UU KPK.

Pertama, artikulasi “sistem” ini memiliki makna yang kompre­hensif, bahkan dapat dikatakan se­bagai suatu proses yang signifikan. “Korupsi” sudah jadi bagian dari “sistem” yang ada, dan karena itu usaha maksimal bagi penegakan hukum, khususnya pemberan­tasan tindak pidana korupsi, ha­rus dilakukan dengan pendekatan sistem. Terlebih bila pendekatan sistem ini dikaitkan dengan peran­an institusi negara, seperti halnya DPR sebagai salah satu institusi kenegaraan yang sangat menen­tukan dalam proses regulasi akhir pemberantasan korupsi.

Di satu sisi KPK mendapat soro­tan tajam dari DPR terkait tindakan upaya paksa, seperti penyadapan oleh KPK. Di sisi lain KPK mendapat apresiasi dari masyarakat manakala terjadi kontroversi tentang KPK ter­kait operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota eksekutif, yudi­katif, legislatif, maupun lembaga negara. Oleh karena itu, marwah dan front-gate KPK pada proses pe­nyelidikan-termasuk penyadapan-adalah sangat esensial.

Kedua, revisi UU KPK atas inisi­atif DPR akan memengaruhi eksis­tensi KPK sebagai penegak hukum. Perlu dipahami bahwa keberadaan KPK adalah sebagai lembaga pemi­cu terhadap kondisi koruptif nega­ra yang sudah sangat mengkhawat­irkan. Oleh karena itulah, dibentuk KPK sebagai lembaga khusus den­gan regulasi dan kewenangan yang juga bersifat khusus.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Kewenangan khusus me­mang menjadi basis kelembagaan KPK, antara lain terkait Pasal 44 UU KPK, yang menempatkan KPK dalam tahap penyelidikan berwenang memperoleh bukti permulaan yang cukup dengan minimum dua alat bukti. Proses penyelidikan sebagai “front gate” inilah yang membuat KPK dengan kewenangan penyadapan dapat mengembangkan perolehan dua alat bukti tersebut, yang ditindak­lanjuti dengan OTT.

Penyadapan oleh KPK ber­dasarkan suatu legal by regulated khusus yang tetap perlu adanya suatu kewajiban evaluasi atas tin­dakan ini. Tentunya ini berlainan dengan penyadapan yang didasar­kan pada legal by court order dengan kewajiban memerlukan izin pengadilan. Dibenarkan per­bedaan sebagai lembaga khusus dan kewenangan khusus sebagai perluasan dan justifikasi dari asas “the clear and present danger” terhadap korupsi yang sangat mengkhawatirkan dan menjadi genggaman wewenang KPK.

Mereduksi Kewenangan

Ketiga, sikap diferensial DPR yang justru akan melemahkan kewenangan-kewenangan khusus kelembagaan KPK sangat tegas bermakna pada, antara lain, soal penyadapan yang harus seizin pengadilan (Pasal 14 RUU KPK); penerbitan SP3 (Pasal 42); pen­gangkatan/penghentian penyeli­dik KPK (Pasal 45 Ayat 2); penyita­an dengan bukti permulaan yang cukup pada tahap penyidikan (Pasal 49); kewajiban KPK mem­buat laporan kepada Polri dan kejaksaan apabila KPK menangani penyidikan terlebih dahulu (Pasal 52 Ayat 2); penuntutan diserah­kan kepada jaksa pada kejaksaan (Pasal 53 Ayat 1); asumsi durasi kelembagaan KPK hanya 12 tahun (Pasal 73). Pasal-pasal tersebut hanya sedikit di antara yang lang­sung maupun tidak langsung akan mereduksi kewenangan KPK.

Keempat, suatu revisi atas UU KPK memerlukan pembahasan dengan pola sinkronisasi dan harmonisasi dengan RUU ter­kait, seperti RUU KUHP, KUHAP, Tipikor, RUU Perampasan Aset, dan RUU Pencucian Uang. Karena itu, usulan revisi UU KPK secara parsial ini justru menimbulkan stigma kelembagaan regulasi dari penginisiatif, yang tentunya jus­tru terkesan adanya tujuan nega­tif terhadap dampak eksistensi kelembagaan penegak hukum, termasuk KPK. (*)

============================================================
============================================================
============================================================