TIDAK terasa, Indonesia bertambah semakin tua. Dua bulan kedepan, tahun 2015 akan ditanggalkan. Berdinamisasi memasuki tantangan global 2016. Ada satu kasus klasik yang kerap saya dengar dan bahas dalam beragam perhelatan diskusi selama kurun waktu 2015 ini. “Sampai kapan terorisme di Indonesia akan berakhir?â€
Oleh: YUSKA APITYA AJI ISWANTO
Analis Sosial Kota Bogor
Apa yang dilakukan Leopard Wisnu Kumala (29), pekerja IT yang berhasil meneror Mall Alam Sutera dengan bom ciptaannya sendiri, yakni jenis Triaceton Triperoxide (TATP), tentunya menggelitik nurani kita bahwa terorisme bukan saja melibatkan jaringan tingkat dunia. Pelaku-pelaku teror baru bermunculan dengan modus operandi klasik, yakni ekonomi. Menapak asumsi bahwa terorisme bukan saja menÂjadi komoditi politik bagi pihak tertentu.
Ada sebagian yang optimis karena melihat komitmen pemerÂintah melalui seluruh instrumen terkait yang dimilikinya, terlihat berkerja secara masif sistemik bahkan dengan kekuatan yang sangat eksesif.
Menurut analisa saya, dalam tataran konsep secara sederÂhana terorisme akan berakhir atau minimal teredam jika fakÂtor (akar) dan sebab-sebab peÂmicunya juga hilang. Namun soal “terorisme†di Indonesia bukan hal sederhana. Karena perang melawan terorisme dalam sepuÂluh tahun terakhir di Indonesia adalah produk kebijakan politik keamanan Nasional, resonansi dari politik keamanan global diÂmana Barat menjadi episentrum pemegang kepentingan.
Kebijakan politik keamanan yang berdiri diatas “doktrin†tenÂdensius dan tidak obyektif serta tidak jujur, karenanya ditahun-tahun mendatang isu terorisme akan terus menyeruak eksis.
Tahun 2014 bukan akhir ceriÂta terorisme di Indonesia, bahkan ditataran global terorisme telah menjadi judul baku sebuah “draÂma†panjang imperialisme Barat. Kenapa saya katakan “doktrin†tendensius, tidak obyektif dan tidak jujur?. Karena kebijakan politik keamanan telah terpasung dalam mindset (paradigma) yang menempatkan Islam Ideologis sebagai akar terorisme. SederÂhananya, radikalisme pemikiran dalam Islam adalah akar terorÂisme. Dan membuat simplikasi aksi-aksi terorisme terkait denÂgan nilai kayakinan radikal yang berkembang di Indonesia.
Ini adalah realita mindset yang tendensius dan berimplikasi kepada pemahaman tentang terÂorisme dan solusinya tidak tepat.
Padahal jika mau jujur dan obyektif sejatinya terorisme adalah fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap repreÂsif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter keÂlompok dan budaya.
Ada faktor internasional sepÂerti ketidak-adilan global, poliÂtik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia IsÂlam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestiÂnya (unipolar).
Menurut saya kontra terorisme di Indonesia berangkat dari perspektif konyol, semua piranti dan perangkatnya (khususnya Densus88 dan BNPT) telah menÂempatkan Islam dan sebagian kelompok umatnya sebagai muÂsuh. Dan ketika Indonesia diangÂgap sebagai negara yang berdiri tidak berdasarkan agama maka otomatis menempatkan Islam Ideologis dan pengusungnya seÂcara diametrikal sebagai musuh terhadap eksistensi NKRI.
Dan “doktrin†ini menjadi energi untuk terus menerus meÂmangkas setiap geliat kebangkiÂtan Islam Ideologis di IndoneÂsia. Menjadi legitimasi “drama†perang melawan terorisme untuk di lembagakan dan dilesÂtarikan dengan beragam makar (muslihat)-nya. Dan terlihat sekali bahwa target jangka panjang dibalik proyek perang melawan terorisme adalah membungkam kebangkitan kekuatan politik IsÂlam dan umatnya, serta dalam rangka menjaga Indonesia dalam bingkai sekulerisme dan menjadi ordinat kepentingan imperialÂisme modern Barat.
Di Indonesia perang melawan “terorisme†berdiri diatas dua strategi utama yaitu hard power; dengan melakukan penindakan dan penegakkan hukum. MengÂgerakkan aparat kepolisian (khuÂsusnya Densus88) dan Satgas Penindakan BNPT. Dan soft powÂer; dengan membuat banyak regÂulasi (UU) untuk menjadi payung dan legitimasi tindakan kontra terorisme lebih efektif. Bahkan langkah kontra ideologi (deradiÂkalisasi) juga dilaksanakan. Tapi keduanya terjebak dalam frameÂwork kultural (paradigm enÂtrapment), mengidentifikasi keÂkerasan dan teror inheren dalam Islam dan kelompok-kelompok yang di cap radikal. Akibatnya baik strategi hard power maupun soft power yang diemban DenÂsus 88 dan BNPT seperti menÂjadi pemantik kekerasan demi kekerasan. Karena menempatÂkan kelompok-kelompok radikal secara general sebagai ancaman aktual dan potensial. Pendekatan soft power-nya melahirkan konÂtraksi pemikiran dan membuat kutub radikal-liberal makin konÂtradiksi diametrikal. Pendekatan hard power yang mengesampÂingkan kaidah-kaidah hukum makin membuat antipati dan distrush terhadap nilai keadilan. Jelas dua strategi utama tersebut justru seperti “produsen†spiral kekerasan menggeliat tanpa kenÂdali.
Dari pernyataan BNPT (AnsyÂaad Mbai), sejak tahun 2000 suÂdah 900 orang ditangkap terkait aksi teror. 600 orang di vonis berÂsalah dan dipenjara dan ada yang di eksekusi mati. Sementara data dari kepolisian sejak tahun 2000 hingga 30 April 2013 dipaparkan 845 orang sudah ditangkap. 83 orang meninggal dunia,11 orang meninggal dengan aksi bom bunuh diri dan 5 orang dieksekuÂsi mati. 6 orang divonis seumur hidup, masih dalam proses perÂsidangan 47 orang, proses penyiÂdikan 10 orang dan yang sudah di vonis 618 orang. Ada 65 orang dikembalikan ke keluarganya karena tidak terbukti.
Dari “prestasi†angka diatas apakah menunjukkan keberhasiÂlan? Dan apakah langkah DenÂsus88 dan BNPT dengan proyek counter ideologinya berhasil mematikan “terorismeâ€? Saya jawab, belum.
Saya mengeja, jika perÂang melawan terorisme dalam jangka pendek dan jangka panjang diarahkan kepada keÂlompok Islam dengan cita-cita tegaknya Islam ideologis-nya maka langkah ini telah dan akan mengalami kegagalan. Lantas, bagaimana langÂkah proyek deradikalisasi tentang keterlibatan kelompok radikal dalam wadah dan mekanisme sistem politik yang ada tidak digubris, dan merasa strategi kaÂnalisasi gagal, bahkan kesepuluh langkah startegi diatas juga tidak menyelesaikan masalah maka mau tidak mau kedepan yang paling menonjol adalah mengÂhancurkan lawan dari dalam (inÂflitrasi dan penetrasi). (*)