Oleh: FACHRY ALI
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia
Dengan mengacu pada krisis finansial global 2008, Rana Foroohar menulis di Newsweek (19/1/2009), â€TiongÂkok adalah satu-satunya ekonomi utama yang mungkin memperÂlihatkan pertumbuhan berarti tahun ini karena negara ini satu-satunya yang secara rutin melangÂgar aturan-aturan ekonomi dalam buku teksâ€. Apa yang dimaksudÂkan dengan â€pelanggaran†di sini? Jawabannya adalah karena kebiÂjakan ekonomi Tiongkok lebih mengandalkan badan usaha miÂlik negara (BUMN) daripada meÂkanisme pasar. Dan justru karena itu, perekonomian Tiongkok tidak saja sintas (survive), tetapi juga terus tumbuh.
Pernyataan ini berjalan seiring analisis sejarawan keuangan Niall Ferguson. Dalam karyanya, The Great Degeneration (2012), FerguÂson memperkenalkan frasa stationÂary state, negara kaya yang telah berhenti tumbuh. Dengan terus terang Ferguson menyatakan, â€It is we Westerners who are in the stationary state.†Lalu, bagaimana dengan Tiongkok? Ferguson menÂjawab, â€Tiongkok tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomiÂan utama dunia. Kepemimpinan sejarah ekonomi beralih kepada pihak lain.â€
Peralihan Model Pertumbuhan
Di dalam beberapa hal, peraliÂhan kepemimpinan ekonomi duÂnia kepada Tiongkok ini tidak saja ditandai bahwa negara itu menÂjadi aktor utama kedua setelah Amerika Serikat dalam perekonoÂmian dunia sejak reformasi ekonomi Deng Xiaoping pada 1979. Peralihan itu juga karena perannya sebagai penarik gerbong perekonomian global akibat ReÂsesi Besar (The Great Recession) 2008 dengan menyerap ekspor berbagai belahan dunia. Dalam tuÂlisannya di The Jakarta Post (6/9), Leonid Bershidsky menyatakan, di samping menyerap ekspor negÂara-negara G-20, Tiongkok juga telah membuat ekspor Australia, Brasil, dan Afrika Selatan sangat tergantung kepadanya.
Persoalannya adalah mengapa perekonomian Tiongkok lesu deÂwasa ini? Menurut Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) ChrisÂtine Lagarde dalam pidatonya di Universitas Indonesia (1/9), adalah penyesuaian perekonomian TiongÂkok ke dalam model pertumbuhan ekonomi baru (a new economic growth model) yang lebih didasarÂkan pada mekanisme pasar. LaÂgarde tak menjelaskan mengapa penyesuaian ini harus dilakukan. Dalam spekulasi saya, strategi pertumbuhan ekonomi yang diÂdorong ekspor (export-led growth strategy) yang dilaksanakan seÂlama ini membuat perekonomian Tiongkok rentan terhadap Dutch disease (â€penyakit Belandaâ€).
Penyakit Belanda ini adalah gejala kemakmuran ekonomi seÂbuah negara akibat pertumbuhan ekspor yang mendongkrak kenaiÂkan upah dalam negeri dan, akhÂirnya, membuat produk negara itu tak kompetitif di pasar global. Ini cocok dengan data upah yang disodorkan Bershidsky dalam tuÂlisan terkutip di atas. Sampai akhir 2014, upah buruh Tiongkok menÂcapai 770 dollar AS per bulan. AnÂgka ini tergolong tinggi mengingat upah buruh di Rusia dan Romania masing-masing 591 dollar AS dan 632 dollar AS per bulan. Dengan fakta ini, Bershidsky menulis, â€Made in China isn’t always the best option nowâ€.
Inilah yang mendorong peÂnyesuaian model pertumbuhan Tiongkok yang, merunut kemÂbali kepada Bershidsky, diwujudÂkan pada services-driven growth (pertumbuhan yang dihela sektor jasa). Namun, peralihan ini probÂlematik karena sumbangan sekÂtor industri dalam pertumbuhan Tiongkok menurun. Celakanya, kendatipun meningkat (di atas 10 persen pada semester pertama dibandingkan tahun lalu), ekspanÂsi konsumsi dalam negeri melamÂbat dibandingkan lima tahun lalu ketika pertumbuhan penjualan eceran (retail sale growth) mencaÂpai 20 persen.
Pelambatan ini tidak bisa terÂgantikan secara penuh karena meÂlemahnya ekspor. Jalan tercepat pemulihan konsumsi dalam negeri ini adalah kembali pada export-driven model. Maka, pelemahan mata uang yuan adalah jalan terÂcepat mencapai tujuan itu. Walau pada tingkat dunia devaluasi mata uang Tiongkok itu telah menyebabÂkan pelarian modal, seperti dinÂyatakan The Economist (29 AgusÂtus), sebesar 5 triliun dollar AS dari pasar modal dunia demi kembali pada export-driven model, tindaÂkan itu harus dilakukan Tiongkok untuk menggenjot ekspor.
Sementara menunggu akhir cerita ini, ada pertanyaan pentÂing menyangkut struktur dan sistem ekonomi global. Apakah ekonomi di bawah kepemimpinan negara (state-led economy) yang dimotori BUMN secara struktural menjadi tidak relevan sehingga mendorong penyesuaian strategi pertumbuhan ekonomi Tiongkok dewasa ini? Ini diajukan karena realitas ekonomi global lebih mencerminkan artikulasi kekuaÂtan modal swasta daripada negÂara. Demi menciptakan efisiensi, produktivitas dan kontrol atas inflasi, menurut David Harvey dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism (2005), justru negara-negara di seluruh dunia harus mengorganisasikan diri guna memberi kesempatan kebeÂbasan modal swasta mengalir ke berbagai belahan dunia. Dalam arti kata lain, sebagai non-market actor, negara harus mundur dari ekonomi. BUMN, dengan demikiÂan, termasuk di dalamnya.
Dalam terbitan 19 September, The Economist, majalah ekonomi yang lahir di Inggris pada 1843 (dan karena itu berpengaruh), menyatakan, salah urus BUMN berkaitan dengan masalah ekoÂnomi Tiongkok dewasa ini. Itulah sebabnya, The Economist menÂjuluki BUMN negara itu sebagai bloated behemoths (monster rakÂsasa bengkak). Contohnya China National Erzhong Group, BUMN permesinan, yang akhir-akhir ini berpotensi gagal membayar bunÂga pinjamannya 150 juta dollar AS. Tak perlu dijelaskan, dengan ini The Economist lantas menyeruÂkan pemberlakuan sistem ekonoÂmi pasar bagi Tiongkok.
Dalam faktanya, justru BUMN-BUMN Tiongkok yang memperÂlihatkan kemampuan ekspansif tingkat global. The Wall Street Journal (31 Agustus-2 September 2012) melukiskan gerak ekspansi China National Offshore Oil CorpoÂration (CNOOC) dengan kemamÂpuan modal raksasa dan karena itu berani melakukan blockbuster deal (tindakan bisnis besar). UnÂtuk membeli perusahaan energi Kanada, Nexen Inc, misalnya, CNOOC mampu menyediakan dana 15 miliar dollar AS. Bahkan, The Economist sendiri mengakui kemampuan ekspansi BUMN ini.
Dalam terbitan 4 Agustus 2012, majalah ini melukiskan dua BUMN telekomunikasi Tiongkok, Huawei dan ZTE, telah berekÂspansi dari pasar dalam negerÂinya yang luas untuk menjadi pemain global. Ekspansi ini diÂtandai kemampuan menangguk untung besar. Melebihi perusaÂhaan telekomunikasi yang lebih â€seniorâ€, seperti Ericsson (dengan pendapatan 15,5 miliar dollar AS) pada Juli 2012, Huawei berhasil menangguk pendapatan 16 miliar dollar AS pada periode yang sama. Sementara data mutakhir Huawei tidak diketahui, kekayaan total CNOOC adalah 671,8 miliar yuan atau kira-kira 97 miliar dollar AS pada pertengahan 2015. Dan, sepÂerti dinyatakan Jonathan R WoetÂzel dalam Reassessing China’s State-Owned Enterprises (2008), terdapat 150 BUMN Tiongkok yang berkemampuan setingkat ini.
Inilah, antara lain, pelajaran yang terpetik dari pengalaman ekonomi Tiongkok dewasa ini. Bahwa perkembangan BUMN Tiongkok dengan kemampuan ekspansi modal mencengangkan pada tingkat global itu mencerÂminkan kekuatan sektor riil dalam perekonomian negara itu. Karena tegak di sektor riil, BUMN TiongÂkok bisa disebut sebagai jangkar kokoh yang mampu mencegah terombang-ambingnya perekonoÂmian nasional dalam sistem finanÂsial yang sangat fluktuatif itu. (*)