Antibiotik adalah obat untuk mengatasi infeksi akibat bakteri. Namun bila dosis pemakaian berlebihan, bisa menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik.
Oleh : ADILLA PRASETYO W
[email protected]
Untuk pertama kalinya, dunia memperingati Pekan Peduli AntibioÂtik Sedunia pada 16-22 November 2015. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran mengenai bahaya resistensi antibiÂotik yang kini menjadi masalah di dunia, termasuk Indonesia.
Perlu ditegaskan, antibiotik adalah obat untuk mengatasi inÂfeksi yang disebabkan oleh bakteri. Ketika sudah resisten, maka bakteri penyebab penyakit tak lagi ampuh dilawan menggunakan antibiotik.
Banyak faktor yang menyebabÂkan resistensi antibiotik seperti dijelaskan Penanggungjawab ReÂsistensi Antimikroba WHO IndoÂnesia, Dewi Indriani dalam acara Media Briefing Peringatan Pekan Peduli Antibiotik Sedunia beberaÂpa waktu lalu.
Pemakaian antibiotik yang berÂlebihan
Dewi mengungkapkan, sebanÂyak 50 persen antibiotik yang direÂsepkan tidak tepat. Artinya, dokter memberikan resep antibiotik keÂpada pasien yang sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik. MisalÂnya, memberikan antibiotik pada anak-anak yang sakit flu dan batuk. Padahal, kedua penyakit tersebut umumnya disebabkan oleh virus sehingga tak perlu antibiotik.
Selain itu, sejumlah kebiasaan masyarakat di Indonesia meyimÂpan antibiotik di rumah. AkibatÂnya, antibiotik digunakan sesuka hati saat sakit tanpa resep dokter. Antibiotik juga dijual bebas di apotek atau toko obat. Kebiasaan menggunakan antibiotik secara berlebihan ini lama-kelamaan membuat bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik.
Tidak mematuhi aturan pakai antbiotik
Ketika diresepkan antibiotik oleh dokter, pasien harus memaÂtuhi aturan pakainya. Jika diminta menghabiskan antibiotik selama lima hari, maka minumlah selama lima hari. Kebanyakan pasien berÂhenti minum antibiotik ketika suÂdah merasa sakitnya membaik.
Padahal, saat berhenti minum obat antibiotik, bisa saja masih ada sisa bakteri penyebab penyakit. Bakteri kemudian kembali berkemÂbang biak dan berubah menjadi reÂsisten terhadap antibiotik.
Jika antibiotik tidak dihabisÂkan, pasien juga tidak bisa kemÂbali menggunaan antibiotik sisa maupun antibiotik yang diresepÂkan untuk orang lain. “Sebanyak 50 persen pasien tidak mematuhi aturan pemakaian antibiotik,†kata Dewi.
Antibiotik digunakan untuk terÂnak
Masalah lainnya, yaitu ketika antibiotik juga digunakan untuk hewan ternak. Dewi mengatakan, penyuntikan antibiotik pada heÂwan ternak dilakukan dengan alasan untuk mempercepat perÂtumbuhan ternak dan mencegah hewan tersebut sakit.
Dewi mengatakan, sebanyak 50 persen antibiotik digunakan oleh beberapa negara untuk sektor perÂtanian, peternakan, dan perikanan. Seharusnya, pemakaian antibiotik hanya untuk mengobati penyaÂkit infeksi bakteri pada hewan di bawah pengawasan dokter hewan.
Pemakaian antibiotik yang berÂlebihan pada hewan maupun sektor pertanian ini juga bisa menyebabÂkan terjadinya resistensi antibiotik. Jika manusia tertular bakteri yang telah resisten, maka infeksi akibat bakteri tersebut tidak bisa dilawan dengan antibiotik.
Dalam Pekan Peduli Antibiotik Sedunia ini, masyarakat diajak unÂtuk bijak menggunakan antibiotik. Selain itu, cegahlah infeksi dengan rajin mencuci tangan pakai sabun. Imbauan ini juga ditujukan untuk petugas kesehatan untuk menceÂgah penyebaran infeksi bakteri di rumah sakit. “Gunakan antibiotik dengan bijak agar tetap ampuh melawan bakteri penyebab penyaÂkit dan manfaatnya dapat terus kita rasakan hingga generasi menÂdatang,†imbuh Dewi.
Dokter Spesialis Anak Nurul I Hariadi yang juga dari Yayasan Orantua Peduli menambahkan, hanya butuh waktu dua tahun terÂjadi resistensi antibiotik setelah antibiotik pertama digunakan, seÂdangkan untuk mengembangkan antibiotik yang baru, butuh waktu 10-15 tahun.
Jika tidak ditangani mulai sekaÂrang, resistensi antibiotik akan seÂmakin meluas. Akibatnya, infeksi bakteri akan sulit disembuhkan sehingga pengobatan membutuhÂkan waktu yang sangat lama dan meningkatkan angka kematian. (*)