BOGOR saat ini sudah tidak terasa nyaman dan tidak indah. Banjir dan kemacetan menjadi bumbu keruwetan sehari-hari. Bahkan Bogor sudah kehilangan julukannya sebagai kota hujan dan tidak tampak lagi keteraturan yang bisa menjadi daya tarik wisatawan dan investor.
ALFIAN MUJANI
[email protected]
Padahal Bogor ini punya sejarah sebagai kota modern yang sangat nyaman dan teratur pada zamannya,’’ ujar pakar Kehutanan dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dr Gun Gun Hidayat MSc kepada Bogor Today di sela acara Gerakan Menanam Pohon untuk Menyelamatkan Air dan Udara di Bantaran Sungai Cipakancilan Jalan Paledang Kota Bogor, Minggu (22/11/2015)
Karena itu, menurut Gun Gun, Bogor harus direkonstruksi dengan berbasis sejarah dan alam. Membangun Kota Bogor, katanya, tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa memahami sejarah dan realitas alam di masa lalu. ‘’Tanpa pemahaÂman sejarah dan alam yang benar, Bogor akan hancur. Dan, Jakarta pun akan ikut hancur,’’ katanya.
Gun Gun putra Bogor alumnus Fahutan E28 yang meraih gelar doktor di Hokkaido University Jepang ini menÂguraikan beberapa fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Bogor pernah menjadi kota modern dan teratur pada masa kejayaannya. ‘’Sebagai salah satu fakta yang bisa disebut sebagai contoh adalah pada masa Kerajaan Pakuan dan masa Pemerintahan Belanda,’’ ujar doktor lulusan Jepang ini.
Diakui oleh Gun Gun, kembali ke romantisme dan sentimental zaman Kerajaan Pakuan dan Pemerintahan Belanda, tidak sepenuhnya tepat. ‘’Tetapi setidaknya simbol-simbol sosial budaya, religi, dan alam masih relevan dijadikan sebagai pembangun kesadaran (pendekatan semiotika) seÂbagai bagia dari proses rekonstruksi yang memungkinkan,’’ ujarnya.
Mengacu pada konsep semioÂtika (tanda), pemanfaatan simbol-simbol alam seperti lokasi mata air sebagai media komunikasi nonverbal, menurut Gun Gun, merupakan suatu inovasi yang potensial dalam upaya penyadaran masyarakat tentang konÂservasi hutan, tanah dan air. ‘’Jika ini bisa dilakukan, maka Bogor akan hijau kembali dan rakyat bisa makmur. BoÂgor hejo, rayat ngejo,’’ ujar Gun Gun.
Sebagai ilustrasi, Gun Gun memÂberikan gambaran bangsa Jepang yang masih menerapkan prinsip TrihiÂta Karana seperti ajaran Hindu di Bali, di mana simbol-simbol pelestarian alam seperti mata air, hutan berada bersama dengan kuil-kuil ibadahnya.
‘’Demikian juga dengan Islam, di banyak tempat, masjid atau musala dan pondok pesantren dibangun berdekatan dengan mata air,’’ ujar Gun Gun yang dilahirkan, dibesarkan dan hingga kini tingal di Bogor.
Menurut Gun Gun, Bogor yang memiliki jejak sejarah sebagai pusat Kerajaan Pakuan dan Kota Besar pada zaman Pemerintahan Kolonial BelanÂda, memiliki simbol-simbol itu.
Salah satu jejak sejarah dan simÂbol Kerajaan Pakuan Pajajaran seperti Alun-alun Empang, sempadan Sungai Ciliwung wilayah Tajur pada zaman dahulu merupakan kebun buah raja di batas kota. ‘’Fakta sejarah dan simbol-simbol ini bisa menjadi inspirasi untuk mengembalikan Kota Bogor sebagai kota modern yang teratur dan nyaÂman,’’ ujar teman sekolah Walikota Bogor Bima Arya ini.
Sombol-simbol pengaturan tata ruang Belanda, menurut Gun Gun, juga dapat dijadikan panduan dalam merekonstruksi Bogor. Seperti jalan poros utama dari gerbang Istana BoÂgor sampai Air Mancur, berlanjut ke wilayah Tanah Sareal dengan mencipÂtakan jalan penuh dengan kerindanÂgan pohon sebagaimana jalan orchard alias kebun bibit. ‘’Saat ini kita lihat, keindahan jalan ini dirusak oleh bilÂboard raksasa di Air Mancur dan banÂgunan di sepanjang Jalan Sudirman yang sampai menggerus pedestrian. Ini menyedihkan,’’ katanya.
Untuk sampai pada tahap rekonÂstruksi Kota Bogor berbasih sejarah dan alam, menurut Gun Gun, diperÂlukan upaya penyadaran sejarah Kota Bogor sebagai basis rekonstruksi, baik dari segi alam maupun sosbud, denÂgan membuka kembali sejarah.
‘’Selanjutnya untuk implemenÂtasi, titik mulainya dapat dilakukan pendekatan rekonstruksi atau repÂlikasi dari simbol-simbol tersebut, seperti membuat lapangan-lapangan terbuka, terutama alun-alun menjadi lebih hijau,’’ ujar Gun Gun.
Selanjutnya, kata dia, menghiÂjaukan kembali garis sepadan jalan atau ruang terbuka antara jalan raya dan trotoar di Jalan A Yani, Jenderal Sudirman. Menggerakkan ponpes dan sarana pendidikan untuk menjadikan lingkungannya lebih hijau dengan menanam pohon-pohon, membuatÂkan monument dan taman sederhana untuk sejumlah mata air yang tersisa di Kota Bogor. ‘’Mata air di Kampung Sawah Pacilong, Ciburial, CiparahiyanÂgan Komplek IPB Baranangsiang, mata air depan Dinas Pengairan Paledang, dan masih banyak lagi,’’ katanya.
Menurut Gun Gun, inisiatif penaÂnaman pohon oleh sejumlah alumni Fakultas Kehutanan IPB bersama koÂran harian Bogor Today dan komuÂnitas lain, serta personil aparat di TK Kemuning minggu lalu dan di sepadan Kali Cipakancilan, Kebon Manggis, diÂharapkan dapat menjadi embrio dan terus berkembang. ‘’Kita harus yakin kalau Bogor hejo rayat pasti ngejo. Kalau Bogor hijau, bukan hanya Bogor yang indah dan makmur, tetapi Jakarta sebagai daerah hilir juga akan terbebas dari bencana banjir,’’ ujarnya. (*)