Oleh: SULAIMAN, S.SI.
Editor Fisika di Penerbit Quadra Inti Solusi
Walaupun pemerÂintah dengan semangat optimisme yang tinggi hanya mengangÂgap krisis ekonomi kali ini sebagai suatu perlambatan ekonomi (ecoÂnomic slowdown), tetapi bukti-bukti fisik yang menunjukkan kriÂsis telah muncul di depan mata.
Salah satu dampak negatif yang telah terjadi adalah penutupan raÂtusan pabrik dan lapangan kerja akibat tingginya biaya produksi dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Akibatnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingÂga Agustus 2015, jumlah pengangÂguran di Indonesia telah mencapai 7,56 juta orang dari sebelumnya yang mencapai 7,24 juta orang pada tahun 2014.
Jika tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah, krisis ekonomi dapat berpotensi untuk berkemÂbang menjadi krisis multidimensi. Belajarlah dari kesalahan Yunani.
Menurut Presiden Republik InÂdonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono, setiap masalah ada jalan keluarnya, setiap konflik ada solusinya, dan setiap krisis menÂgandung peluang.
Namun, jika dilihat dalam kacÂamata realitas di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini, negeri ini terÂkesan seperti berjalan tidak pada jalur yang diharapkan rakyat.
Lihatlah bagaimana kasus mega korupsi masih marak terÂjadi, kepemimpinan nasional yang kurang berwibawa, saling sikut antar penyelenggara negara yang diumbar terang-terangan di depan publik.
KPK yang semakin termarjinalÂkan dalam agenda pemberantasan korupsi nasional, utang negara yang membengkak dalam waktu singkat dibandingkan pemerinÂtahan sebelumnya.
Atmosfer bisnis yang semakin tertekan krisis ekonomi dunia akiÂbat strategi ekonomi pemerintah yang kurang tepat, pengangguÂran meningkat akibat menurunÂnya lapangan kerja, hutan-hutan yang dibakar dengan sengaja oleh oknum industri perkebunan seÂhingga menimbulkan bencana kemanusiaan kabut asap, keruÂsakan ekosistem akibat penamÂbangan liar yang terus-menerus dibiarkan terjadi, kekerasan pada anak-anak yang semakin marak di berbagai daerah, dan prestasi olahraga nasional yang kian terÂpuruk. Apa gerangan yang terjadi dengan negeri ini?
Kita diajarkan oleh agama bahwa setiap manusia adalah peÂmimpin, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri. Dalam menghaÂdapi situasi dunia yang semakin tidak menentu, manusia-manusia dengan karakter dan sumber daya yang unggul akan mampu mengendalikan dirinya, menjaga keluarganya, mempersatukan maÂsyarakatnya, hingga memimpin negaranya agar terhindar dari anÂcaman kehancuran.
Menurut pakar pendidikan Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd, seorang pemimpin harus meÂmiliki tiga kriteria yang dimiliki, yaitu khalifah (yakni memiliki siÂfat kepemimpinan diri yang baik), abdullah (yakni sifat melayani kepada sesama dengan sepenuh hati sebagai hamba Tuhan), dan jamaah (yakni sifat untuk selalu bekerja sama dalam bekerja).
Untuk menciptakan manusia-manusia yang memiliki sifat kepeÂmimpinan yang baik maka peran pahlawan pendidikan, yakni guru, menjadi sangat penting.
Selain orang-orang yang berproÂfesi sebagai guru dan pendidik, pada dasarnya setiap orang bisa menjadi guru bagi yang lain. Seorang suami merupakan guru bagi istrinya, beÂgitu pula sebaliknya.
Seorang ayah merupakan guru bagi keluarganya. Dan seorang pemimpin merupakan guru bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Gagasan kepemimpinan yang terkait dengan pendidikan mengÂingatkan kita dengan perjuangan tokoh pendidikan yang merupakÂan Pahlawan Nasional, Ki Hajar Dewantara (1889-1959).
Bangsawan Jawa yang bernaÂma asli Raden Mas Soewardi SoÂerjaningrat ini merupakan tokoh yang berjuang memperbaiki nasib kaum pribumi (rakyat jelata) dari kebodohan akibat penjajahan meÂlalui jalur pendidikan.
Gagasan beliau tentang kepeÂmimpinan tertuang dalam tiga prinsip berikut, yaitu Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.
Ing Ngarso Sun Tulodo beÂrarti bahwa ketika berada di deÂpan, seorang pemimpin harus mampu memberikan suri teladan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya. Ing Madyo Mbangun Karso berarti bahwa seorang peÂmimpin ketika berada di tengah-tengah pengikutnya harus mampu membangkitkan atau menggugah semangat orang lain dengan menÂciptakan ide-ide dan karya yang bermanfaat bagi orang banyak.
Tut Wuri Handayani berarti bahwa ketika seorang pemimpin barada di belakang maka ia harus dapat memberikan dorongan morÂal atau semangat kepada orang-orang yang dipimpinnya agar merÂeka bangkit untuk berjuang.
Dari gagasan Ki Hajar DewantÂara kita dapat melihat bahwa peÂmimpin memiliki peran sentral bagi kemajuan masyarakat dan bangsa. Keteladanan yang baik telah diconÂtohkan oleh banyak pemimpin-peÂmimpin bangsa ini di masa perjuangan dan awal kemerdekaan.
Kita mengenal keteladanan yang dicontohkan Bung Karno seÂbagai seorang marhaenis sejati dan orator ulung yang tidak kenal takut kepada siapapun, bahkan terhadap negara adidaya, Amerika Serikat.
Kita pun mengenal keteladanÂan yang dicontohkan seorang Bung Hatta dengan kesederhaÂnaan dan prinsip hidupnya yang luar biasa, padahal beliau adalah orang yang sangat cerdas dan seorang negosiator ulung dalam setiap perundingan melawan penÂjajah.
Kita pun mengenal keteladanÂan yang dicontohkan oleh PanÂglima Besar Jenderal Soedirman, di mana beliau sebagai jenderal perang yang tangguh dan ahli strategi perang gerilya yang meÂmiliki ribuan loyalis tentara dan rakyat dari Sabang sampai MeÂrauke tetapi tetap rendah hati dan loyal terhadap pimpinannya, yaitu Presiden RI Ir. Soekarno.
Dalam sosialisasi Empat Pilar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dilakukan pada OktoÂber 2015 lalu, Wakil Ketua MPR, Mahyudin, mengatakan bahwa keteladanan dari pemimpin mutÂlak diperlukan untuk menuntasÂkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia.
“Sekarang bangsa ini dihadapÂkan pada permasalahan berkurangÂnya keteladanan pemimpin dan lemahnya penghayatan dan pengaÂmalan agama,†katanya lagi.
Karena itu, setiap pemimpin harus menyadari bahwa dirinya merupakan panutan bagi orang yang dipimpinnya.
Dengan demikian, harus ada kerja sama yang baik antara maÂsyarakat dan pemimpin bangsa mulai dari tingkat daerah sampai pusat untuk menyelesaikan berbÂagai permasalahan bangsa.
Kesimpulannya, setiap diri kita adalah seorang pemimpin. Karena itu, kita harus mampu menunjukÂkan peran kepemimpinan dalam diri kita masing-masing dengan semangat meneladani sikap pahlaÂwan agar menjadi pribadi-pribadi yang mulia. (*)