Oleh: M. RIZKI PRATAMA
Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Awardee BPI-LPDP & Pemerhati Pelayanan Publik
Selain itu krisis Eropa akiÂbat gagal bayar Yunani membuka mata dunia bahwa interdependesi antar negara semakin tinggi bahkan impossible bagi suatu negara untuk memÂbuat policy tanpa memperhaÂtikan determinan di luar negara dan negara lain.
Indonesia sendiri sebagai negÂara yang terdampak pada perlamÂbatan ekonomi dunia yang sedikit dapat terlihat dari semakin meroÂsotnya nilai tukar rupiah terhaÂdap dollar Amerika, pemerintah bersikap dengan menurunkan target pertumbuhan ekonomi yang artinya produktivitas ekoÂnomi rakyat Indonesia dipastikan menurun. Kuartal II 2015 ini saja hanya mencapai 4,67% yang lebÂih rendah dari periode sebelumÂnya di 4,71%(Kompas, 9/10/15).
Kini masalah kebijakan pemerintah masih terlampau panjang dan pelik sebab selain tak optimalnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia juga masih diperparah dengan tingginya anÂgka kesenjangan ekonomi yang menurut prediksi akan mencapai 0,44 pada tahun ini.
Hal tersebut tentu memicu ketakutan bahwa kue ekonomi yang sudah terlampau kecil ternyata juga tidak terdistribusiÂkan secara merata.
Proyeksi ekonomi tersebut diÂpastikan selalu diperhatikan oleh pemerintah akan tetapi seharusÂnya tidak cukup bertumpu pada hal-hal ekonomi semata, fenomeÂna rendahnya pertumbuhan dan tingginya kesenjangan kini harus dianggap sebagai fenomena mulÂtidimensional, bervariasi dan tak hanya berbicara persoalan ekoÂnomi semata alias non-ekonomi.
Memang dalam skala internaÂsional seperti analisis dari Piketty (The Capital 21 Century, 2014) menunjukkan trend kesenjangan ekonomi di dunia yang semakin tajam dari tahun ke tahun.
Urusan kesenjangan ekonomi inilah yang sudah sering kali diÂperdebatkan akan tetapi sejauh ini aspek kesenjangan non-ekoÂnomi masih belum mendapatkan tempat utama, cenderung mainÂstream kesenjangan ekonomilah yang terlalu panjang diperdebatÂkan dan berusaha dikurangi denÂgan berbagai usaha akan tetapi nilai kesenjangan belum dapat diturunkan.
Kekeliruan memahami kesÂenjangan ekonomi dengan hal yang bersifat ekonomi hanya akan membuat kebijakan kian tak efektif sebab ketika kesenjangan tengah dialami masyarakat yang kompleks jelas sifat-sifat ekonomi hanya akan menjadi bagian parÂsial untuk itu perlu memahami aspek lain berupa kesenjangan non-ekonomi.
Kesenjangan non-ekonomi tak melulu membahas soal distriÂbusi pendapatan serta turunanÂnya, hal yang lebih substansial untuk mendorong masyarakat lepas dari kesenjangan yang bersifat struktural harus menjadi perhatian utama.
Misalnya jika terjadi masyaraÂkat yang rentan konflik gara-gara hanya dilihat sebagai fenomena ekonomi semata maka konflik tidak akan mampu diatasi secara damai.
Nilai prediksi kerugian non-ekonomi konflik sosial tidak akan mampu diukur secara matematis akan tetapi jelas kerugian yang diderita akan terlampau dalam untuk diobati.
Masyarakat rentan konflik bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti social cleavages yang membagi masyarakat pada berbagai kelompok identitas. (Susan, 2012). Analisis lain juga menunjukkan kesenjangan sosial dan ekonomi adalah gambaran nyata dari sistem kapitalisme-neoliberal yang dominan dan heÂgemonik saat ini. (Pontoh, 2014)
Tahun lalu Bappenas merilis tentang kesenjangan non-ekonoÂmi yang dinilai cukup berbahaya apabila tidak ada langkah serius yang dilakukan oleh pemerintah sekarang.
Misalnya kesenjangan pendiÂdikan penduduk miskin atau keÂlompok 40% ekonomi terbawah, kesenjangan akses pendidikan pada usia 13-15 dan usia lebih tua, kesenjangan akses pada pelayÂanan kesehatan ibu dan anak, 24 juta anak atau 29% tidak memiliki akte lahir serta kesenjangan terÂhadap akses infrastruktur penerangan, air bersih dan sanitasi.
Selain itu hasil studi dari World Bank pada Desember 2014 juga menemukan fakta kesejanÂgan di sektor kesehatan seperti jarak rata-rata menuju fasilitas kesehatan di Indonesia memang hanya 5 km pada tahun 2011, akan tetapi di provinsi seperti Papua Barat, Papua, dan Maluku jarak rata-rata lebih dari 30 km.
Lebih dari 40 persen maÂsyarakat di Sulawesi Barat, MaÂluku dan Kalimantan Barat memÂbutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk mencapai rumah sakit umum, dibandingkan dengan 18 persen secara nasional.
Hanya 2 persen dari populasi membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk mencapai PuskesÂmas, tetapi jumlah tersebut jauh lebih tinggi di Papua (28 persen), Nusa Tenggara Timur (11 persen), dan Kalimantan Barat (11 persen).
Parahnya di tingkat layanan yang seharusnya paling dekat menjangkau masyarakat tidak ada satupun Puskesmas di IndoÂnesia yang dilaporkan memiliki keseluruh 38 indikator tracer (standar tindakan) untuk kesiaÂpan pelayanan umum. Layanan kesehatan mengalami kesenjanÂgan dan sama sekali tidak terÂkait dengan sistem layanan lain seperti infrastruktur yang dapat menunjang hidup mati individu.
Meluruskan Agenda Pemerataan
Pemerintah rezim saat ini tenÂgah mengejar ketertinggalan sepÂerti menggalakan program pemÂbangunan infrastruktur utama di seluruh daerah yang langsung mendapatkan supervisi blusukan ala presiden Jokowi.
Hal ini penting karena pada dasarnya pengawasan pembanguÂnan di Republik ini masih lemah untuk itu kepemimpinan perlu untuk langsung turun ke bawah.
Sekali lagi Jokowi harus memÂperhitungkan tidak hanya nilai ekonomi untuk meredakan kesÂenjangan akan tetapi bagaimana memberikan kebijakan struktural yang tepat guna meredakan kesÂenjangan non-ekonomi lainnya.
Penekatan developmentalism tentu sangat tidak tepat dijadikan satu-satunya senjata. MemerÂatakan pembangunan penting akan tetapi bukan satu-satunya jalan, perlu kebijakan yang lebih membumikan nilai-nilai sosial lain untuk memeratakan kesÂejahteraan dan keadilan.
Di Nawacita Jokowi-JK sudah tertulis jelas keinginan untuk memeratakan pembangunan akan tetapi jangan salah cara dengan justru memaksakan kebiÂjakan yang hendak memeratakan akan tetapi justru menggali juÂrang kesenjangan yang lain, keÂbijakan yang akan dilakukan dilarang keras untuk merusak kondisi yang sudah ada.
Pemerintah harus mengÂhindari paradoks pemerataan seperti asuransi kesehatan seÂmesta BPJS jangan sampai muÂrah dalam pembiayaan akan tetapi timpang dalam kualitas, dana desa yang mengkayakan desa akan tetapi memiskinkan orang ataupun kaya di laut tapi miskin di darat. Pelurusan arah kebijakan secara struktual perlu dilakukan pemerintah, jangan sampai elemen kebijakan lagi-lagi menjadi kejahatan merusak.
sumber: Koranopini.com