BOGOR, TODAY — Institut PerÂtanian Bogor (IPB) menginforÂmasikan, masih terdapat 13 orang mahasiswa pengidap hepatitis A yang saat ini masih menjalani perawatan di rumah sakit. Belasan lainnya telah dinyatakan sembuh dan puÂlang ke rumah masing-masing.
“Sebanyak 12 orang dirawat di Rumah Sakit Karya Bhakti PratiÂwi dan satu orang di RS Medika Dramaga,†ungkap Direktur Kemahasiswaan IPB Sugeng Santoso, Senin (14/12/2015).
Ia mengatakan, tim Pokja IPB bekerja sama dengan DiÂnas Kesehatan Kabupaten BoÂgor masih menyelidiki kondisi para mahasiswa lain yang berÂstatus suspect atau terduga hepatitis A. Dalam pemerikÂsaan kesehatan massal selama dua hari, Jumat-Sabtu (11/12-12/12) lalu, terdeteksi 46 orang suspect hepatitis A dari total 609 civitas IPB yang menjalani pemeriksaan.
Para suspect tersebut telah dirujuk ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan fungsi hati secara signifikan. SelanÂjutnya, apabila mahasiswa dinÂyatakan positif hepatitis A, pasien akan menjalani rawat inap.
Bupati Bogor Hj Nurhayanti mengaku siap bertanggung jawÂab untuk mengembalikan para suspect yang terserang hepatitis A di masa Kejadian Luar Biasa (KLB). “Kami harap masyarakat memeriksakan kesehatannya. Tidak perlu sakit baru memerikÂsakan. Pemerintah daerah pun siap bertanggung jawab karena ini memang bukan sesuatu yang kita harapkan,†kata Yanti.
Kepala Dinas Kesehatan KabuÂpaten Bogor, dr. Camalia Wilayat Sumaryana mengungkapka, status KLB Hepatitis A ini akan berlangsung setidaknya hingga pertengahan Februari 2016 menÂdatang. “Karena tim kami masih akan terus melakukan pemanÂtauan dalam tempo dua kali masa inkubasi (satu masa inkubasi palÂing lama 50 hari, red). Pokoknya pemantauan masih akan dilakuÂkan hingga tidak ada penambaÂhan suspect,†tegasnya.
Camalia pun akan berkoordiÂnasi dengan IPB untuk memaksiÂmalkan klinik-kilinik di kampus tersebut agar jika ada kejadian seÂrupa, bisa ditangani lebih cepat. “Untuk orang yang terjangkit diÂmasa KLB ini, biaya pengobatan kami gratiskan. Kedepannya, saya minta IPB mewajibkan mahaÂsiswa baru untuk memiliki BPJS Kesehatan. Ini untuk memudahÂkan jika terjadi sesuatu,†urainya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P2PKL) Dinas Kesehatan Kabupaten BoÂgor dr.Kusnadi menyebutkan rawat inap tersebut sangat diperÂlukan. Meski hepatitis A termaÂsuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya, perawatan intensif diperlukan agar pasien tak menulari orang-orang di sekiÂtarnya.
Dinkes Kabupaten Bogor, ujarnya, telah melakukan penyeliÂdikan epidemiologis untuk menÂgetahui akar masalah hepatitis A di IPB dan memutus rantai penuÂlaran. Faktor kebersihan lingÂkungan yang ditengarai sebagai penyebab harus diketahui secara pasti dan bukan sekadar menduÂga-duga. “Kami belum bisa meÂnyebutkan apakah penyebab ada di dalam atau luar kampus,†kata Kusnadi.
Ia menjabarkan, masa inkubaÂsi penyakit yang menular secara fecal-oral itu berlangsung selama 15-50 hari. Investigasi sampel cuÂkup sulit dilakukan mengingat riÂbuan mahasiswa IPB makan dan tinggal di lokasi yang berbeda-beda.
Cukup banyaknya mahasiswa di Institut Pertanian Bogor yang terjangkit virus hepatitis menjadi trending topic di berbagai media beberapa hari terakhir.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Management (FEM) yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Amil Zakat IPB Prof Dr Muhammad Firdaus mengatakan, kejadian hepatitis merupakan tamparan keras buat lembaga perguruan tinggi negeri sekelas IPB.
Tamparan yang dimaksud, kata Firdaus, karena belum lama ini, dia mengisi kegiatan promosi IPB kepada siswa SMA swasta yang memiliki akreditasi tertinggi di Depok. Saat memberikan kata penutup bersama dengan calon Walikota, ada Ibu Ketua Yayasan mendadak mengucap peristiwa merebaknya penyakit hepatitis karena sanitasi.
Terlebih kejadian ini, mendapat tanggapan dari MenÂteri Kesehatan yang menyatakan penyebab hepatitis karena saniÂtasi di lingkungan kampus IPB buÂruk atau kantinnya kumuh.
“Tapi pernyataan tersebut sudah dibantah resmi oleh HuÂmas IPB, bahkan untuk kantin di dalam kampus, yang saya sendiri hampir setiap hari makan di sana, rasanya sudah jauh lebih higienis dari kantin di pasar, atau bahkan dibandingkan beberapa kantin kampus besar lainnya di IndoneÂsia,†katanya, Senin (14/12/2015).
Ia pun menilai, akar persoaÂlan utama bukan karena sanitasi yang buruk. Menurutnya, ada tiga faktor penyebab terjadi virus hepÂatitis menjangkit puluhan mahaÂsiswa IPB hingga harus menjalani perawatan.
Pertama, IPB adalah salah satu kampus besar yang diminati oleh siswa SMA yang berasal dari kalangan berpendapatan rendah. Penerima beasiswa bidik misi, program beasiswa kebanggaan Kementerian Pendidikan, salah satu yang terbesar ada di IPB.
Jumlah penerima beasiswa ini bisa mencapai hampir seperÂtiga dari total sekitar 3.500 yang masuk ke IPB setiap tahun. SeÂlain dibebaskan dari biaya kuliah, sejak 2010, setiap mahasiswa mendapatkan tunjangan biaya hidup Rp 600.000/bulan.
Jadi, lanjut dia, tidak sedikit mahasiswa IPB, terutama di tingkat pertama, yang kadang harus makan sekali sehari karena kondisi beasiswa yang diterima. “Bagaimana tidak hepatitis saat kemudian musim hujan di Bogor tiba? Rentannya tubuh mahasiswa ditambah karena asupan zat yang kurang baik bagi kesehatan. PenÂgawet atau pewarna seperti RhoÂdamin B adalah makanan sehari-hari mahasiswa IPB,†jelasnya.
Faktor kedua adalah terdapat sejumlah mahasiswa di IPB yang bukan penerima beasiswa biÂdik misi, tetapi kondisinya sama bahkan lebih memprihatinkan. Dengan beban perkuliahan dan praktikum di IPB yang mempunÂyai standar terbaik di Indonesia, “Aktivitas ekstrakurikuler tentuÂnya akan memakan energi. MungÂkin inilah faktor lain yang menyeÂbabkan mudahnya mahasiswa terserang penyakit seperti tifus dan hepatitis,†ujarnya.
Kemudian faktor ketiga, lingÂkungan sekitar kampus dijadikan masyarakat untuk membuka usaÂha. Bisa dibayangkan kondisi temÂpat tinggal mereka: padat, tanpa ventilasi atau septic tank yang berada di sisi dapur. “Sedangkan mahasiswa yang lebih mampu, akan memilih tinggal di perumaÂhan-perumahan di sekitar kamÂpus, lengkaplah sudah. Kondisi makan yang kurang gizi, aktivitas luar biasa kemudian beristirahat di kamar kost yang sangat minim kondisinya,†tandasnya.
(Rishad Noviansyah|Yuska Apitya)