BOGOR, Today – Anak-anak Indonesia telah terpapar asap rokok sejak mereka kecil. MuÂdah terlihatnya para perokok di lingkungan sekitar dan genÂcarnya iklan rokok, mendoÂrong mereka kemudian menÂjadi perokok aktif.
Global Youth Tobacco Survey 2014 menunjukkan, 20,3 persen anak umur 13-15 tahun atau usia sekolah menengah pertama (SMP) sudah jadi perokok aktif. Jumlah itu setara 36,2 persen anak lelaki dan 4,3 persen anak perempuan. Sebagian besar di antaranya terpapar rokok di rumah ataupun tempat umum.
Sifat adiksi rokok membuat anak sulit berhenti merokok. Karena itu, sesuai Riset KesehatÂan Dasar 2013, kian bertambah umur, makin tinggi prevalensi perokok. Pada 2013, 65 juta atau 28 persen orang Indonesia merokok, terbesar ketiga di duÂnia setelah Tiongkok dan India.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular KementeriÂan Kesehatan Lily S Sulistyowati, dalam inisiasi program Generasi Kreatif: Penggerak Nusantara di Jakarta, Kamis (17/12/2015), menÂgatakan, tingginya prevalensi perokok harus jadi perhatian. Pengendalian tembakau perlu jadi prioritas kesehatan nasiÂonal karena buruknya dampak rokok.
Kemenkes berupaya menÂgatasi hal itu, tapi dukungan kementerian lain amat minim karena pertentangan kepentÂingan kesehatan dan industri. Hal itu diperparah masifnya iklan dan dukungan industri rokok pada kegiatan yang meliÂbatkan remaja.
Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Soewarta Kosen meÂnyebut kerugian akibat rokok 2013 Rp 378,75 triliun. RincianÂnya, pembelian rokok Rp 138 triliun; hilangnya produktivitas karena sakit, disabilitas, dan kematian prematur usia Rp 235,4 triliun; serta biaya beroÂbat akibat penyakit terkait roÂkok Rp 5,35 triliun.
“Jumlah itu 3,7 kali lebih besar daripada cukai temÂbakau yang diperoleh negara di tahun sama, Rp 103,02 triliÂun,†ujarnya.
Kawasan Tanpa Rokok
Sekolah termasuk kawasan tanpa rokok. Meski demikian, Kepala Bidang SMP Dinas PenÂdidikan DKI Jakarta TadjuÂdin Nur mengakui masih ada orang merokok di lingkungan sekolah, baik itu guru, penjaÂga keamanan, maupun petuÂgas kebersihan. Namun, guru yang merokok di sekolah tak bisa diberi tugas tambahan seÂbagai kepala sekolah.
Meski sekolah aman, paÂparan rokok jauh lebih masif ada di luar sekolah dan sulit dikendalikan. Kawasan tanpa rokok (KTR) di luar sekolah ada di angkutan umum, fasiliÂtas kesehatan, tempat bermain anak, tempat ibadah, kantor, dan tempat umum lain yang ditetapkan pemerintah.
Kepala Subdirektorat PenÂgendalian Penyakit Kronik dan Degeneratif Kemenkes ThereÂsia Sandra, di Kuta, Bali, menÂgatakan, 195 daerah punya reguÂlasi KTR, tetapi baru 60 daerah di antaranya yang aturannya berupa peraturan daerah. SiÂsanya masih berupa peraturan bupati atau peraturan wali kota. “Kami dorong aturan KTR berÂbentuk perda,†ujarnya.
Meski ada aturan KTR, tingkat kepatuhannya di seÂjumlah daerah rendah. PengaÂwasan Smoke Free Jakarta berÂsama Pemerintah DKI Jakarta menunjukkan, rata-rata tingkat kepatuhan KTR di Jakarta 45 persen.
Jakarta Barat jadi daerah dengan kepatuhan tertinggi, sedangkan terendah di Jakarta Timur. “Kepatuhan terendah ada di mal, restoran, dan hoÂtel,†kata Koordinator SFJ BerÂnadette Fellarika Nusarrivera.
Di Kota Bogor, kepatuhan aturan KTR turun karena berkurangnya frekuensi penÂindakan pelanggaran KTR yang masuk tindak pidana ringan. Pada Maret 2012, kepatuhan 81 persen, dan Juli berikut tinggal 68 persen. Jika semula penindakan sebulan sekali, bulan berikutnya tak dilakukan sama sekali.
“Jika penegakan pidana turun, inspeksi mendadak di KTR jadi alternatif meningÂkatkan kepatuhan,†kata Staf Pengawasan dan Evaluasi No Tobacco Community Kota BoÂgor Bambang Priyono.
Menurut Koordinator PenÂgendalian Tembakau Pusaka Indonesia Medan OK SyahÂputra Harianda, lembaganya mengembangkan aplikasi Lapor KTR yang bisa diunduh lewat Android atau iOS. DenÂgan aplikasi itu, warga bisa melaporkan pelanggaran KTR kepada pemerintah sehingga kepatuhan KTR di Medan yang 20 persen bisa naik.
(Yuska Apitya/*)