Oleh : PARNI HADI
KESETARAAN jender, pelecehan seksual, kuota perempuan di Parlemen, tingkat kematian ibu waktu melahirkan yang tinggi, poligami, kawin siri, nikah usia dini dan tingkat perÂceraian yang tinggi adalah sejumlah masalah yang harus diÂcarikan solusinya keÂtika Bangsa Indonesia memperingati Hari Ibu ke 87, 22 Desember, 2015.
“Perlu laki-laki baruâ€, jawab Gusti KanÂjeng Ratu (GKR) Hemas, wakil Ketua DPD RI (2014-2019)dan istri Sultan Hamengku BuÂwono X, dalam seminar untuk memaknai Hari IBU yang diselenggarakan KOWANI di AuditoÂrium Adhiyana, Wisma ANTARA, Jakarta, 14 Desember lalu.
Diperlukan laki-laki yang lebih peduli keÂpada perempuan, jelas Ratu Hemas dalam seminar yang sekaligus acara tatap muka para pelaku sejarah, tokoh perempuan dan pimpiÂnan organisasi perempuan.
Untuk mencapai kesetaraan jender negÂeri ini perlu waktu 100 tahun, katanya, seraya menyebut telah muncul diskriminasi baru terhadap perempuan dengan berlakunya jam malam di Purwakarta.
Ia mengapresiasi terpilihnya delapan perempuan sebagai menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK dan sejumlah perempuan sebagai bupati dan walikota dalam Pilkada serentak, 9 Desember lalu. Namun, kaÂtanya, jumlah perempuan anggota ParÂlemen 2014-2019 menurun ketimbang sebelumnya. Kuota yang diperjuangÂkan: 30 persen.
“Parpol perlu mendidik lebih banyak calon perempuanâ€, katanya seraya mengritik media massa, teruÂtama tv, yang banyak mempertonÂtonkan pelecehan perempuan. Harus diakui, jumlah perempuan yang menÂjadi pimpinan redaksi media massa memang masih sedikit.
Moderator seminar adalah Fifi AleyÂda Yahya, presenter TV. Dan, Prof. Dr. Nasaudin Umar, MA, mantan WameÂnag, tampil sebagai satu-satunya naraÂsumber pria.
Prof Nasarudin berharap budaya, terutama bahasa, dan agama dapat lebih adil kepada perempuan. Contohnya, kata history (bahasa Inggris), yang beÂrarti sejarah. Mengapa tidak herstory? Budaya dan agama menjadi faktor legitiÂmasi tentang apa yang disebut kodrat. SeÂlama ini telah tertanam anggapan: kodrat perempuan untuk urusan domestik (ruÂmah tangga/dapur), sedangkan kodrat pria untuk urusan publik. “Konco wingkÂing “ adalah sebutan istri dalam bahasa Jawa. Artinya, teman belakang.
Nasarudin berpendapat perlu peÂnafsiran baru tentang ayat-ayat yang bias jender. Contohnya, tafsir bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Seorang feminis pernah mengatakan, tidak ada perbedaan kodrat antara pria dan wanita, kecuali haid, mengandung, melahirkan dan menyusui. Selebihnya adalah “rekayasa sosialâ€.
Atas pertanyaan tentang hukum nikah siri, Nasarudin menyarankan KOWANI menemui MUI (Majelis Ulama Indonesia). Ia mengakui, anak yang laÂhir dari nikah siri mengalami kesulitan untuk membuat akte kelahiran karena dianggap tidak sah.
Tentang nikah siri dan poligami, ia menyebut alasan “daripada berzinaâ€, yang biasa dipakai para pelakunya. Mahalnya biaya nikah juga disebut seÂbagai penyebab nikah siri. Pernikahan usia dini, katanya, banyak disebabkan faktor ekonomi. Sebuah daerah di Jawa Barat, menganggap janda lebih berharÂga daripada gadis. Alasannya, dengan status penah menikah, janda bisa bekÂerja sebagai TKW di luar negeri.
UU Perkawinan menyebut seorang anak perempuan berusia 16 tahun suÂdah boleh menikah, sementara menuÂrut UU Perlindungan Anak, usia itu masih termasuk anak-anak.
Prof. Nasarudin prihatin atas tingÂkat perceraian yang tinggi, yakni 215 ribu dari 2 juta pernikahan dalam usia perkawinan di bawah lima tahun. AkiÂbatnya: kemiskinan yang harus ditangÂgung perempuan dan anak-anak.
Sebagai pria anggota tim ahli KOWÂANI, saya pernah usul agar sebutan “Bapak-bapak Pendiri Bangsa†dilengÂkapi menjadi “Bapak-bapak dan Ibu-ibu Pendiri bangsaâ€. Alhamdulillah, usul itu diterima. (*)