Oleh: dr. ADELIA RAHMI, MARS
Dokter fungsional di Puskesmas Kedung Badak dan Koordinator Humas IDI Kota Bogor
Dalam undang-unÂdang nomor 24 taÂhun 2007 tentang penanggulangan bencana menyebutÂkan definisi bencana yaitu peristiÂwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan maÂsyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan non alam maupun manusia sehingga menÂgakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkunÂgan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Berdasarkan definisi diatas, Lingkup kesehatan dikategorikan pada bencana non alam, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian perisÂtiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik dan waÂbah penyakit.
Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2014 terdapat sebanÂyak 1.030.720 orang yang terdiri atas 523.479 orang laki-laki dan sebanyak 507.241 perempuan.
Dimana didalamnya terdapat persentase penduduk dengan perilaku resiko, yakni sebagai pengguna narkoba maupun pelaku seks bebas baik dengan laÂwan jenis maupun sesama jenis.
Tak heran jika Kota Bogor maÂsuk dalam peringkat ke 3 di Jawa Barat untuk kasus HIV/AIDS (HuÂman Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome).
Data dari Dinas kesehatan Kota Bogor hingga bulan Oktober 2015 (termasuk penduduk mauÂpun bukan penduduk Kota BoÂgor), ada sebanyak 25.646 orang yang pernah dikonseling dan di test HIV, dan ditemukan jumlah pengidap HIV positif sebanyak 383 orang.
Jika ditambahkan dengan angka pengidap HIV positif yang perÂnah dideteksi di tahun 2014 maka totalnya menjadi 2.833 orang.
Artinya, dari keseluruhan orang tersebut terus membawa virus HIV dalam tubuhnya dan dapat menularkan virus tersebut jika tidak dilakukan upaya penceÂgahan penularan baik kepada pasangannya maupun pada anak yang dilahirkan dari seorang ibu dengan HIV positif.
Kunci antisipasi bencana kesehatan akibat HIV/AIDS dan Infeksi menular akibat seksual adalah jika kita mampu mendeÂteksi dini para pelaku resiko mauÂpun pasangannya.
Sehingga rantai penularan viÂrus HIV dapat kita cegah. Disini akan tampak dari berapa banÂyak masyarakat Kota bogor yang “berani†membuka diri unÂtuk melakukan test darah HIV di Klinik VCT (Voluntary CouncelÂling and Testing) dan datang ke Klinik IMS di 24 Puskesmas induk di Kota Bogor.
“Keberanian†klien untuk datang ke klinik VCT, berbandÂing lurus dengan peningkatan pemahaman tentang penyakit HIV/AIDS, perjalanan penyakitÂnya dan cara penularannya yang disampaikan baik oleh petugas kesehatan maupun para penggiat kesehatan.
Sehingga peningkatan ilmu diharapkan dapat meningkatkan kemauan mereka untuk menÂdatangi klinik VCT, karena hingga hari ini, belum ada obat untuk meÂnyembuhkan penyakit HIV/AIDS.
Fasilitas VCT dan Klinik IMS (Infeksi Menular seksual) unÂtuk masyarakat tidak diÂpungut biaya alias Gratis. Pasien hanya memÂb a y a r biaya pendaftaran sesÂuai PERDA yang berlaku yakni sebesar Rp.3000,- (tiga ribu rupiah).
Oleh petugas, klien diambil contoh darahnya untuk diketahui apakah dalam darah klien telah mengandung virus HIV atau beÂlum, juga apakah ada penyakit menular akibat perilaku seksual yang positif telah diidap oleh klien, seperti sifilis.
Selain itu, untuk melengkapi pemeriksaan, pasien akan diamÂbil duh tubuhnya (cairan vagina/ sperma) agar betul-betul dapat terdeteksi jenis kuman apa saja yang ada didalam cairan tersebut.
Adapun kuman yang kerap terdeteksi adalah Neisseria gonÂorrhoea (pencetus penyakit GO/ kencing nanah), Trichomonas vagÂinalis (pencetus penyakit TrichoÂmoniasis), Treponema pallidum (pencetus penyakit sifilis), StreptoÂbacillus ducreyi (pencetus penyaÂkit Ulkus Mole) dll.
Pada beberapa orang, mereka tidak mengalami gejala kllinis sama sekali walaupun d a l a m cairan tubuhÂnya terdapat kuman-kuman tersebut. Disinilah kita mesti mengingatkan maÂsyarakat untuk segera memerikÂsakan diri jika terdapat keputihan (pada wanita) atau ada keluar caiÂran dari kemaluannya.
Tidak banyak yang memahaÂmi bahwa ada “window period†dalam perjalanan penyakit HIV. Klien sering menganggap mereka sehat jika telah dilakukan VCT pertama. Padahal, bisa saja hasil tes tersebut negatif karena saat itu sedang dalam masa “window period†atau masa jendela.
Dimana disaat tersebut, virus HIV sudah masuk ke dalam tubuh klien hanya saja jumlahnya baru sedikit, sehingga belum dapat terdeteksi dan belum dapat dinÂyatakan positif saat dilakukan tes laboratorium pada VCT pertama.
Oleh karena itu, sangat pentÂing disampaikan kepada klien unÂtuk tes VCT ulang pada 3 hingga 6 bulan setelah tes VCT pertama dilakukan.
Sedangkan jika pada duh tuÂbuh (cairan tubuh) klien terdetekÂsi kuman, fasilitas layanan primer yaitu puskesmas sudah dapat melakukan terapi/pengobatan seÂcara tuntas, sehingga diharapkan penyakit menular akibat perilaku seksual tersebut tidak ditularkan kepada pasangan klien.
Edukasi yang dilandasi keterbukaan dan kejujuran dalam menyampaikan inÂformasi kesehatan, memeÂgang peranan keberhasilan upaya promotif dan prevenÂtif untuk mencegah timbulÂnya bencana kesehatan ini.
Bahkan upaya dialog dengan seluruh lapisan tidak akan berhaÂsil jika aparat tidak memahami dan mengangkat kewaspadaan hingga keakar rumput. Perlu kerjasama lintas sektoral dan dukunÂgan semua pihak agak masyaraÂkat tidak malu dan t i d a k takut untuk memeriksakan dirinya.
Terus berupaya mencari pelaku resiko dan membawanya ke klinik VCT dan klinik IMS. Maka diharapkan tidak ada lagi penularan HIV yang terjadi dan penderita infeksi menular sekÂsual dapat segera diobati secara tuntas. (*)