Oleh: RONNY P SASMITA
Analis ekonomi-politik internasional Financeroll Indonesia
Utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal III tahun ini tampaknya semakin berisiko. Pasalnya, raÂsio pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang serta pembayaran bunga atas utang jangÂka pendek atau debt service ratio (DSR) triwulan naik menjadi 60,40 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan DSR triwulan II/2015 yang tercatat 59,90 persen. SemenÂtara itu, DSR tahunan pada triwuÂlan III/2015 tercatat 57,47; naik dari posisinya di triwulan sebelumnya yang terhitung 53,42 persen.
Menurut sebagian besar anaÂlis, kondisi utang saat ini memang menggambarkan kemampuan membayar utang RI yang kian melemah. Pasalnya, rasio beban utang yang ditanggung Indonesia ternyata dua kali lipat dari batas wajar yang ditentukan InternaÂtional Monetary Fund (IMF). Batas wajar DSR yang ditentukan IMF berkisar 30-33 persen.
Mau tak mau, tekanan depresiÂasi rupiah dan kinerja ekspor yang kian melemah akan menjadi double hit pressure atas pembayaran ULN. Kenaikan DSR hingga 60,45 persen memiliki arti, penerimaan ekspor barang, jasa, dan transfer pendapaÂtan akan habis untuk membayar ULN. Jika ekspor terus melambat, ini tentu membahayakan.
Bahayanya lagi, dalam kondisi yang bersamaan, realisasi peneriÂmaan pajak masih sangat rendah. Tentu kedua hal ini menjadi perÂingatan bagi pemerintah dalam mencari pinjaman guna menutup defisit fiskal hingga akhir tahun. Pasalnya, membesarnya DSR akan memberikan sentimen negatif bagi investor.
Kekhawatiran atas default huÂtang dan ketakutan atas semakin memburuknya ekonomi domestik tentu menjadi pertimbangan utaÂma investor dalam memutar uangÂnya di dalam negeri. Ditambah pula, instabilitas mata uang ruÂpiah akan memperparah tingkat bahaya ekonomi domestik karena akan langsung menekan industri yang berbasiskan barang impor beserta harga-harganya.
Jika diselisik secara detail, berÂdasarkan laporan statistik ULN Bank Indonesia (BI), posisi ULN Indonesia triwulan III/2015 turun US$ 2,1 miliar menjadi US$ 302,4 miliar dibandingkan utang luar negeri kuartal II/2015. Pelambatan pergerakan utang ini didorong menurunya ULN swasta senilai US$ 1,7 miliar, terutama ULN dari sektor bank. Sementara itu, ULN sektor publik juga tercatat turun US$ 0,4 miliar, terutama ULN dari pemerintah.
Pada triwulan III/2015, pangsa ULN sektor swasta masih lebih tinggi dibandingkan sektor publik. ULN swasta tercatat 55,6 persen atau seÂbanyak US$ 168,2 miliar. Sementara itu, pangsa ULN sektor publik menÂcapai 44,4 persen atau US$ 134,2 miliar. Pada triwulan III, BI juga melÂaporkan perlambatan pertumbuÂhan utang RI dibandingkan triwulan sebelumnya; dari 6,2 persen (yoy) menjadi 2,7 persen (yoy).
Tak bisa dimungkiri, perlamÂbatan ULN Indonesia, terutama dari pihak swasta, merupakan imÂbas depresiasi nilai tukar rupiah yang cukup dalam selama SeptemÂber 2015. Meski ekonomi mulai membaik pada kuartal III, swasta masih menahan posisi ULN.
Selain faktor depresiasi mata uang, perlambatan ULN swasta terjadi seiring pelonggaran monÂeter BI yang menurunkan giro waÂjib minimum (GWM) dari 8 persen menjadi 7,5 persen. Kebijakan ini diperkirakan membuat swasta melakukan pinjaman di dalam negeri karena likuiditas perbankan mulai meningkat.
Jika dicermati dari sisi BI, perkembangan ULN pada triwulan III/2015 dianggap masih cukup seÂhat. Setidaknya demikian yang perÂnah disampaikan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara, beberapa waktu lalu. NaÂmun demikian, sebagaimana yang juga dikhawatirkan Tirta Segara, meningkatnya risiko ULN terhadap perekonomian (produk domestik bruto/PDB) layak diwaspadai jika rupiah semakin tak terkendali.
Optimisme
Dari sisi mata uang rupiah, ternyata belum ada kepastian karena masih terombang-ambing berbagai faktor yang berkaitan satu sama lain. Selain faktor ancaÂman melandainya harga komoditas global akibat terseok-seoknya harga minyak dunia, membaiknya data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang dirilis awal bulan November lalu benar-benar menjadi ujian bagi rupiah menjelang Desember ini.
Pasalnya,gembar-gembor rencana kebijakan kenaikan suku bunga kredit AS terus berhmbus. Optimisme bukan saja terlontar dari para petinggi The Fed yang masuk dalam komite pengambil kebijakan, melainkan juga oleh para ekonom dan pelaku pasar. Mereka mewanti-wanti ancaman ekonomi domestik AS yang akan mengalami overheating jika suku bunga tidak juga dinaikan.
Jadi, penguatan sementara mata uang rupiah sejak akhir SepÂtember lebih disebabkan sentiÂmen teknikal yang juga bersifat sementara. Karena jika dilihat dari persepktif yang lebih luas, rupiah justru sedang berada di bawah bayang-bayang yang mengkhawatÂirkan, yakni kenaikan suku bunga The Fed, perlambatan ekonomi Tiongkok yang kian mencemaskan, dan tertekannya harga komoditas ekspor andalan Indonesia akibat melandainya harga minyak dunia.
Ketiga bayang-bayang gelap ini berjalin kelindan satu sama lain. Kebijakan pengetatan moneter AS akan menambah otot dolar terhadap semua mata uang rivalÂnya dan menekan harga minyak dunia. Nah, harga minyak dunia yang kian melantai akan menekan harga komoditas ekspor andalan Indonesia. Ini serta-merta meÂmangkas pemasukan negara dari sisi pajak komoditas nonmigas.
Demikian pula dengan perÂlambatan ekonomi Tiongkok, mau tak mau ini mengancam stabilitas neraca perdagangan Indonesia- Tiongkok karena memburuknya prospek permintaan atas komoÂditas nonmigas dari Negeri Tirai Bambu. Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, Tiongkok adalah negara mitra dagang kedua terbesar IndoÂnesia untuk komoditas nonmigas, setelah AS. Kondisi ini serta-merta meregangkan otot rupiah, menÂjulangkan nilai mata uang Negeri Paman Sam, dan mempertebal anÂcaman capital outflow yang pada ujungnya meningkatkan level risiko ULN terhadap PDB (depth ratio to PDB). (*)
sumber:sinarharapan.co