Oleh: M BAMBANG PRANOWO
Guru besar UIN Jakarta, Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten.

Kawasan Asia Teng­gara tampaknya menjadi lahan subur perekrutan anggota NIIS. Kuala Lumpur pun khawatir militan Malaysia yang bersembunyi di Filipina Se­latan membentuk jaringan NIIS di Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Pertengahan November lalu, Kelompok Santoso di Poso me­nyebarkan ancaman melalui video (internet) terhadap Kepoli­sian RI dan Pemerintah RI. Meski kekuatan kelompok Santoso ini kecil dibandingkan NIIS, tapi an­caman teroris bersenjata tetap harus diwaspadai. Apalagi, ke­lompok Santoso jauh sebelumnya sudah berbaiat kepada Abu Bakar Al-Baghdadi, pimpinan NIIS.

Sydney Jones, Direktur Insti­tute for Policy Analysis of Con­flict, mengatakan ada keinginan kuat dari para pendukung NIIS di Indonesia dan Filipina untuk mendirikan semacam provinsi NIIS di Asia Tenggara, meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Sejauh ini para pen­dukung NIIS di Indonesia, kata Jones, cukup kompeten menjadi teroris, sementara teroris Filipina lebih termotivasi uang. Baik Syd­ney Jones maupun Datuk Nur Ja­zlan menengarai, cepat atau lam­bat, NISS akan menjadikan Asia Tenggara sebagai provinsi bagian NIIS.

LSI dalam laporan surveinya di Jakarta (19/11) menyatakan 86,11 persen rakyat Indonesia mengaku khawatir jaringan NIIS menja­dikan Indonesia sebagai target serangan berikut setelah Paris. Empat alasan mendasari kekha­watiran itu.

Pertama, gencarnya berita ter­orisme NIIS di Indonesia yang di­kaitkan dengan gerakan-gerakan Islam radikal setempat. Kedua, peristiwa terorisme sudah kerap terjadi di Indonesia dan pemerin­tah belum berhasil membasminya hingga ke akar-akarnya. Ketiga, faktor ekonomi yang labil dan memburuk, menyebabkan ban­yak orang frustrasi dan bergabung dengan NIIS melakukan aksi ter­orisme. (Faktor ketiga ini, menu­rut LSI, diyakini 83,78 persen re­sponden) Keempat, 59,62 persen responden khawatir menguatnya radikalisme dan sekterianisme bisa memicu aksi terorisme.

Empat alasan di atas mungkin masih bisa diperdebatkan, tapi kekhawatiran terhadap ancaman NIIS di Indonesia tetap sulit dini­hilkan. Kekhawatiran ini bila di­tarik ke belakang serupa dengan kekhawatiran masyarakat terha­dap ancaman DI/NII zaman Kar­tosuwiro dan Kelompok Mujahi­din (Afghanistan). DI/NII pernah menimbulkan aksi perampokan dan pembunuhan di Malangbong (Garut) tahun 1960-an, kemudian pembunuhan Wakil Rektor UNS di Solo tahun 1979, selanjutnya aksi-aksi terorisme kelompok Mu­jahidin (yang berafiliasi dengan gerakan NII) menjelang dan awal 2000-an.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Kelompok Mujahidin den­gan tokoh-tokohnya, Abu Bakar Ba’asyir, Imam Samudera, Am­roji, Umar Patek, Dulmatin, dan lain-lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, terli­bat dalam aksi terorisme di Bali, Kedutaan Australia, Hotel JW Marriot, Hotel Ritz Carlton dan sejumlah pemboman gereja. Ke­lompok Mujahidin ini sebagian di antaranya adalah alumni per­ang Afghanistan. Jumlah mereka, menurut catatan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), Ja­karta, sekitar 600 orang. Dengan jumlah 600 orang saja, kelompok ini bisa menimbulkan kecemasan di mana-mana, mulai di ibu kota sampai kota-kota kecil di luar Jawa.

Menurut peneliti terorisme, Ahmad Syafi’i Mufid, dari 600 alumni Afghanistan ini sebet­ulnya belum pernah ada yang terlibat langsung dalam peper­angan dengan Uni Soviet (Rusia) di Afghanistan. Mereka hanya jadi tentara cadangan yang ikut latihan di kamp-kamp militer Af­ghanistan. Sebagian lagi mengi­kuti sekolah militer di Akademi Kemiliteran Afghanistan. Ketika sampai di Indonesia, suasana per­ang dan jihad itu memicu mereka untuk melakukan ‘jihad’ mela­wan pemerintahan kafir. Dan, pemerintahan kafir itu dicirikan antara lain pemerintah yang tidak menerapkan syariat Islam.

Jika aksi mereka saja menim­bulkan kecemasan yang luar bi­asa, bagaimana dengan serbuan alumni NIIS yang pernah terlibat perang langsung di Irak dan Su­riah jika kembali di Indonesia? Dari gambaran itu kecemasan masyarakat Indonesia terhadap ancaman NIIS seperti dilansir sur­vei LSI sangat beralasan. Apalagi, kehadiran NIIS membawa hara­pan kemunculan kembali sistem khilafah yang selama ini diidam-idamkan kelompok radikal Islam di seluruh dunia. Itulah sebabnya dukungan terhadap NIIS terus membesar.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Baiat dan dukungan terhadap khalifah Abu Bakar Al Baghdadi datang dari tokoh-tokoh Al Qaid­ah seperti Syaikh Anas Ali Al-Nas­wan (Dewan Syari’ah al Qaidah Afganistan), Syaikh Abdullah Os­man (Dewan Syari’ah Al Qaidah Is­lamiyah Maghrib (AQIM), dan ke­lompok Jabhah Nushrah wilayah Damaskus. Dukungan juga datang dari kelompok radikal di Yaman, Mindano di Filipina Selatan, Boko Haram di Afrika, dan As Shabab di Somalia. Di Indonesia, dukungan datang dari Khilafatul Muslimin pimpinan Abdul Kadir Baraja, ke­lompok Bima, Sulsel, Tangerang, Malang, Bekasi, Serpong, Solo, dan narapidana teroris di Pulau Nusa Kambangan. (Mufid, 2015)

Dari gambaran tersebut, jelas keberadaan NIIS tetap perlu di­waspadai. Melihat fenomena ini pemerintah hendaknya bersi­kap tegas. Bagaimana hukum­nya bila WNI menjadi tentara ‘negara lain’? Apakah mereka masih berhak menyebut dirinya sebagai WNI, atau mereka ke­hilangan hak kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam UU Ke­warganegaraan No.12/2006 pasal 23? Masalah-masalah tersebut perlu segera diantisipasi untuk mencegah kemungkinan muncul­nya aksi terorisme alumni NIIS – sebagaimana pernah dilakukan alumni Afghanistan.

Dari gambaran di atas, semuanya menggambarkan bah­wa NIIS bisa menjadi ancaman terhadap Asia Tenggara. Organ­isasi-organisasi Islam besar di In­donesia seperti NU, Muhammadi­yah, PUI, Mathla’ul Anwar, Persis, dan lain-lain harus memperkuat barisan untuk menghadapi anca­man tersebut. Pemasyarakatan program-program deradikalisasi hendaknya menyeluruh, mulai dari tingkat elite hingga akar rum­put. Di pihak lain, pemberdayaan sosial, ekonomi, dan penegakan keadilan pemerintah harus diting­katkan untuk mencegah penetrasi janji-janji muluk NIIS. ***

============================================================
============================================================
============================================================